Jumat, 09 Maret 2012

Metode Gramatika-Terjemah



(طريقة القواعد وطريقة الترجمة )
Berbicara tentang b.arab tentu kita tahu yang bahwa Sebagai salah satu rumpun bahasa,bahasa Arab memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain.Perbedaan karakter tersebut tentu saja melahirkan metode-metode yang banyak dalam pengajarannya.      
Diantara karakteristik bahasa Arab adalah sebagai berikut :
1)      Memiliki kosa kata (mufradat) yang sangat banyak disamping adanya kata-kata yang sinonim (mutaradif)
2)      Memiliki sistem gramatika
3)      Bahasa Arab mengharuskan pemahaman terlebih dahulu sebelum membacanya (terkait dengan kemahiran membaca). Dengan kalimat lain “seseorang harus lebih dahulu mengetahui konteks sebelum membaca teks”.
Asal usul metode grametika-tarjammah kita dapat merujuk ke sejarah abad pertengahan (abad ke-15) ketika banyak sekolah dan universitas di Eropa mengharuskan siswanya mempelajari bahasa Latin guna mempelajari teks-teks klasik.Namun nama metode ini baru dikenal pada abad ke-19.Metode ini juga banyak digunakan untuk pengajaran bahasa Arab,baik di negara-negara Arab sendiri maupun di negara-negara Islam termasuk Indonesia.
Pada dasarnya metode gramatika-terjemah merupakan metode yang menekankan pada pemahaman tata bahasa untuk mencapai ketrampilan membaca,menulis dan menerjemah.Metode gramatika-terjemah ini merupakan kombinasi metode gramatika dan metode terjemah (Sumardi, 1975 : 37) yakni yang memulai cara pengajaran dengan menghafal aturan-aturan tata bahasa kemudian menyusun daftar kata dan menerjemahkan kalimat demi kalimat yang terdapat dalam wacana atau bahan bacaan .
Di antara ciri-ciri khas metode ini adalah (1).Perhatian yang mendalam pada ketrampilan membaca, menulis dan menerjemah,kurang memperhatiakan aspek menyimak dan berbicara.(2).Menggunakan bahasa Ibu sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, (3).Memperhatikan hukum-hukum nahwu,(4).Basis pembelajarannya adalah penghafalan kaidah tata bahasa dan kosa kata, kemudian penerjemahan secara harfiah dari bahasa target ke bahasa pelajar dan sebaliknya,dan (5).Peran pendidik dalam proses belajar mengajar lebih aktif daripada peserta didik yang senantiasa menerima materi secara pasif.
Metode ini sering menerima kritik karena tidak memperdalam bahasa sebagai sebuah ketrampilan,karena ia melalaikan ketrampilan bicara dan menyimak. Namun ia tetap bernilai sebagai metode,tergantung pada penekanan dari tujuan pembelajarannya sendiri.Di antara kelebihan dari metode ini adalah ia dapat memperkuat kemampuan para peserta didik dalam mengingat,sehingga mereka dapat menguasai dalam arti hafal di luar kepala kaidah-kaidah tata bahasa, karakteristiknya,serta isi detail bahan bacaan yang dipelajarinya.Di samping itu tentu saja metode ini dapat dilaksanakan dalam kelas besar dan tidak menuntut interaksi aktif dari peserta didik (Radliyah Zaenuddin, 2005 : 37-38).
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa metode ini mempunyai beberapa karakteristik antara lain
1) Mempelajari bahasa asing bertujuan agar seseorang mampu membaca buku atau naskah dalam bahasa arab.
2) Materi pelajaran terdiri atas buku tata bahasa, kamus dan teks bacaan.
3) Tata bahasa disajikan secara detail,yakni dimulai dengan penyajian kaidah diikuti dengan contoh-contoh.
4) Kosa kata diajarkan dalam bentuk kamus dwibahasa,atau daftar kosa kata beserta terjemahannya.
5) Proses pembelajarannya sangat menekankan penghafalan kaidah bahasa dan kosa kata,kemudian penerjemahan harfiah dari bahasa sasaran ke bahasa siswa atau sebaliknya.
6) Bahasa ibu digunakan sebagai bahasa pengantar.
7) Peran guru sangat aktif sebagai penyaji materi,sementara siswa berperan pasif sebagai penerima materi.

Di antara kelebihan metode ini adalah:
1) Siswa menguasai dalam arti menghafal di luar kepala kaidah atau tata bahasa dari bahasa yang dipelajarinya.
2) Siswa memahami bahan bacaan yang dipelajarinya secara mendetail dan mampu menerjemahkannya.
3) Metode ini memperkuat kemampuan siswa dalam mengingat dan menghafal.
4)  Metode ini bisa diterapkan dalam kelas besar dan tidak menuntut kemampuan guru yang ideal.
Sedangkan kelemahan metode ini antara lain :
1) Metode ini lebih banyak mengajarkan tentang bahasa bukan mengajarkan kemahiran berbahasa.
2).Metode ini hanya menekankan kemahiran membaca dan menerjemah,sedangkan kemahiran bahasa yang lain diabaikan.
3) Siswa hanya mengenal satu ragam bahasa sasaran,yaitu ragam bahasa tulis klasik,sedangkan ragam bahasa tulis modern dan bahasa percakapan tidak diketahui.
4)  Disebabkan otak siswa dipenuhi dengan qawa'id,maka tidak tersisa lagi tempat untuk ekspresi dan kreasi bahasa.
Meskipun terdapat beberapa kelemahan mendasar yang ada didalamnya, metode ini dianggap masih cocok digunakan terutama bagi pelajar tingkat lanjutan yang telah memiliki bekal yang cukup dari tingkat sebelumnya (dasar dan menengah).
Alternatif pengembangan metode gramatika-tarjamah
Kemungkinan penggabungan metode gramatika-terjemah dengan metode lain menjadi suatu hal yang mungkin dilaksanakan.Hal ini karena dalam pembelajaran bahasa Arab para pengajar tidak mesti berpegang teguh pada satu metode,tetapi mereka lebih memilih metode yang relevan yang sesuai dengan sifat materi yang diajarkan.Metode yang dapat digunakan sebagai pelengkap dari metode gramatika-terjemah  adalah  metode  langsung  (طريقة المباشر).
Pemilihan metode langsung (طريقة المباشر) sebagai pelengkap atau secara bergantian sebagai metode pokok dilihat dari orientasi pengajarannya_ didasarkan pertimbangan kelemahan metode gramatika-terjemah yang terlalu mengabaikan sisi ketrampilan yang salah satunya dapat dipenuhi oleh metode langsung.Dengan demikian seorang pengajar masih dapat mempertimbangkan penggunaan metode gramatika-terjemah yang divariasikan dengan metode langsung.Dalam hai ini ada beberapa alasan dimungkinkannya penggunaan metode gramatika-terjemah.Alasan tersebut sebagai berikut
(1) Input mahasiswa yang beraneka ragam menyulitkan penentuan metode                                                                                                      pengajarannya.
(2).Pemaduan metode gramatika-terjemah dengan metode langsung akan menutupi kelemahan metode gramatika-terjemah dalam pemenuhan                 4 kemahiran berbahasa.
Kedua argumen di atas dapat dijadikan penguat dalam pemilihan metode gramatika-terjemah yang divariasikan bersama metode langsung dengan catatan pengajaran di tingkat lanjutan tetap memperhatikan orientasi yang dituju.







Penutup
Bahasa Arab adalah bahasa quran.Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri dari bahasa lain.Mempelajari bahasa arab peserta didik membutuhkan ketekunan dan kesabaran dalam  menghafal,Baik menghafal qawaid-qawaid atau menghafal mufradat dengan artinya.
Tanpa qawaid-qawaid bahasa arab tidak akan sempurna.Begitu pula menterjemahkan bahasa arab harus berdasarkan qawaid-qawaid.
Dengan menguasai qawaid-qawaid bahasa arab dan dapat menerjemahkan dalam  bahasa ibu peserta didik,Maka peserta didik akan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih ,Terutama ilmu pengetahuan tentang islam.

"Metode Tarjih Nawawi dalam Menyelesaikan Perbedaan Pendapat dalam Mazhab Syafi'i"


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar  Belakang Masalah
Munculnya periode taqlid[1] merupakan salah satu faktor kemunduran umat Islam dalam pengembangan hukum Islam. Pada masa itu ulama-ulama lebih cenderung mengikuti pendapat yang ada tanpa bersusah payah untuk berijtihad kembali.[2] Mereka terpaku kepada teks yang sudah di tulis oleh ulama-ulama sebelumnya. Keterpakuan pada teks-teks yang telah di tulis ulama sebelumnya mengakibatkan hilangnya kebebasan berpikir dan keterbelengguan akal dan pikiran di samping itu juga pemaksaan aliran mazhab tertentu oleh penguasa. Seperti yang terjadi pada masa khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Wathiq.[3]
Pada periode taqlid ini juga muncul anggapan bahwa pendapat imam mazhab sepadan dan sejalan dengan nash al-Qur'an dan Hadits, tidak dapat dirubah, digugat dan diganti,[4] serta munculnya pendapat-pendapat ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup (insidad al-ijtihad), yaitu pada abad ke IV. Hal ini  berdasarkan kepada fakta sejarah yang mengatakan bahwa Ibnu Jarir al- Tabari (wafat 310 H),[5] sebagai ulama yang terakhir, dan sesudah itu tidak ada lagi  ulama yang memiliki kualifikasi mujtahid mustaqil (mujtahid mutlaq).[6] Tetapi vang ada hanyalah mujtahid muqayyah (al-mutanasib). Terdapat beberapa  analisa yang mengatakan bahwa munculnya pendapat pintu ijtihad itu telah  tertutup disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: munculnya hubb al-dunya (kecintaan kepada dunia) di kalangan ulama, adanya perpecahan politik karena pada periode ke III Dinasti  Abbasiyah, khalifah menjadi boneka dan negara bagian yang saling berselisih, serta  timbulnya perpecahan aliran-aliran mazhab.
Pembukuan mazhab mengkultuskan imam mereka setinggi-tinnginya pada akhirnya mereka memperluas dan memperjelas  pendapat imam mereka, dengan beberapa cara yaitu :
1.  Menjelaskan dan mencari `illat (alasan) hukum yang telah di istimbatkan oleh imam-imam mujtahid.
2. Munculnya pentarjihan-pentarjihan antara pendapat yang berbeda dalam mazhab mujtahid.
Adapun bentuk pentarjihan yang mereka lakukan pada periode ini terdiri dari dua bentuk, yaitu :
  1. Tarjih al-riwayah, yaitu tarjih di mana bila terjadi perbedaan dalam penukilan-penukilan dari imam mereka terhadap berbagai kasus dalam fiqh, ulama-ulama berikutnya mentarjih riwayat orang terkenal kemasyhuran dan kecermatannya, seperti dikuatkan al-Rabi'i (w. 270 H), yang apabila bertentangan dengan riwayat al-Muzanni (w. 264 H) dalam men-tarjih perbedaan pendapat imam al-Syafi’i.[7]
  2. Tarjih al-dirayah (tarjih pemikiran). Dalam melakukan pentarjihan pemikiran ini, mereka mentarjih pendapat imam mereka sendiri apabila terjadi perbedaan pendapat atau antara pendapat imamnya dengan pendapat para murid dan pengikutnya. Mereka mentarjih pendapat yang lebih sesuai dengan usul imamnya dan yang lebih dekat kepada al-Qur’an, Hadith dan qiyas.[8]
Pentarjihan[9] ini muncul sesudah tidak ada lagi orang yang dianggap sanggup berijtihad secara bebas, bahkan di waktu sebahagian ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, maka yang muncul kemudian
adalah orang berbondong-bondong untuk melakukan tarjih bila tarjih perbedaan pendapat antara satu ulama dengan ulama lainnya. Anggapan tidak ada lagi mujtahid mutlaq terus berkembang. Ini terlihat dari komentar ulama terkenal seperti at-Ghazali “sesungguhnya tidak terisi zaman ini dengan mujtahid mutlaq juga imam Abu Ishaq at-Syairazi mengatakan “Tidak boleh kosong zaman harus ada seorang mujtahid” dan banyak lagi komentar ulama yang lainnya.[10] Dari berbagai komentar ulama terdahulu tidak secara tegas mengatakan pintu ijtihad telah tertutup, juga dalam sejarah tidak ditemukan data otentik tentang ulama yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.[11]
Imam Mal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti salah seorang ulama Syafi’yyah yang terkenal (w. 911 H) menolak wacana bahwa ijtihad sudah tertutup. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ijtihad terus berkembang selamanya hingga akhir zaman karena ulama-ulama mazhab mengemukakan dalil-dalil dan pendapat tentang keharusan berijtihad dan mencela taqlid juga melarang bertaqlid pada mereka dan menyuruh untuk berpikir[12] sebagaimana disebutkan dalam hadist, yaitu:
عن ابى هريرة رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يبعث الله على راس كل مائة سنة من يجد د لهذه الامة امردينها (رواه ابوداودالحاكم والبيهقى)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Bahwa Nabi SAW bersabda: Allah mengutus dalam tiap seratus tahun dari orang-orang yang memperbaharui urusan agama”.
Sebagian ulama memahami hadist di atas, bahwa tajdid (pembaharu agama) dalam pengertian menetap kembali syari’ah bukan sebagai suatu upaya munculnya kembali mujtahid mutlaq, melainkan mujtahid mazhab (mujtahid tarjih).[13] Dari beberapa komentar di atas sepertinya ulama mengatakan bahwa pintu ijtihad bisa terus terbuka dengan memahami bahwa ijtihad itu dibutuhkan. Di sini persoalan yang muncul kemudian adalah mungkinkah ada mujtahid mutlaq sekaliber imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dalam hal ini Sirajuddin Abbas salah seorang yang berpegang teguh kepada mazhab Syafi’i mengatakan sampai saat ini (abad ke-20 M) belum ada yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlaq.
Imam Nawawi [14] yang hidup pada abad Ke VII ini merupakan salah seorang tokoh pengikut mazhab imam Syafi’i yang membela mazhab imamnya sama halnya dengan ulama sebelumnya seperti imam a­­­--Ghazali, al-Mawardi,    al-Juwaini, dan lainnya yang telah mengembangkan pendapat imam Syafi’i dalam karyanya masing-masing serta mengemukakan dalil dan mencari 'illat (alasan yang logis) serta mengulas dan menguraikan furu' fiqh secara lengkap sesuai kemampuannya. Imam Nawawi dinilai sangat ahli dalam bidang Hadist, fiqh, bahasa dan lainnya. Karena keilmuannya ini ulama mutakhkhirin menganggapnya sebagai mujtahid tarjih[15] dalam mazhab Syafi'i sama halnya dengan imam al-Rafi' i.[16]
Kitab Minhaj al-Talibin [17] merupakan salah satu kitab karya imam Nawawi yang disyarah oleh Jalal al-Din al-Mahalli (W.864 H) yang diberi namanya Kanz al-Raghibin dan dikomentari oleh Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad al-Qalyubi (W. 1069 H), ia secara tegas mengatakan bahwa Abu Qasim 'Abd al-Karim al- Rafi'i[18] (W. 623 H) merupakan orang yang mula-mula men-tarjih pendapat yang berbeda dalam mazhab Syafi'i . Kemudian muncul al-Nawawi sebagai penerusnya.[19] Bahkan ada di antara ulama kemudian mengatakan, apabila terjadi  pertentangan dalam mentarjih antar al-Nawawi dengan al-Rafi'i, maka yang didahulukan adalah pendapat yang di-tarjih al-Nawawi. Di samping mereka menentukan urutan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi'i adalah hukum yang disepakati oleh Syaikhani (imam al-Nawawi dan al-Rafi'i) kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi kemudian al-Rafi’i, kemudian yang di-tarjih oleh ulama-ulama lain yang alim dan yang wara’, dan yang di pastikan oleh para pen-tahqiq muta'akhirin seperti syekh Zakaria al-Ansari, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Ziyad dan lainnya. [20]
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Beranjak dari pembahasan ini, yang menarik perhatian penulis adalah mengenai imam al-Nawawi digolongkan ke dalam mujtahid tarjih dalam mazhab Syafi'i. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah :
1. Apa latar belakang ia men-tarjih pendapat pendapat yang berbeda dalam mazhab al-Syafi`i.
2.  Langkah-langkah apa saja yang ditempuhnya dalam mentarjih salah pendapat Al-Syafi`i.
3. Metode apa yang digunakan dalam men-tarjih  pendapat tersebut, baik antara imam Syafi’i maupun perbedaan antara pendapat Syafi'iyah.
2. Batasan Masalah
Menurut  anggapan sementara penulis bahwa, Nawawi dalam kitab Minhaj         al-Talibin hanya menjelaskan pendapat dengan menggunakan tanda kata            al-Azhar, al-Masyhur, al-Jadid, al-Nash sebagai pendapat yang kuat imam  Syafi’i. sedangkan kata al-Ashah dan al-Sahih, sebagai pendapat ashab al-wujuh Syafi'i yang kuat. Dengan demikian yang ingin dikaji adalah bagaimana menentukan kuat-tidaknya dalil menurut Nawawi dalam melakukan pen-tarjihan.
Kitab Minhaj al-Talibin merupakan kitab fiqh yang pembahasannya  sangat luas karena di dalamnya terdapat fiqh iftiradi (fiqh                    pengandaian-pengandaian) dan kasus furu`nya yang banyak. Untuk membatasi permasalahan akan diambil beberapa contoh kasus tarjih tentang ibadah, mu'amalah, dan munakahat.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk menemukan metode yang dikembangkan Nawawi dalam menyelesaikan perbedaan pendapat Syafi'i atau pendapat ulama Syafi'iyyah dan mencari langkah-langkah yang digunakannya serta latar belakang melakukan pentarjih-an. Di samping itu dapat memperluas wawasan tentang pen-tarjihan yang dilakukan oleh Nawawi, terlebih lagi bagi orang awam yang tidak mampu berijtihad dan hanya berpegang kepada pendapat yang kuat saja. Mengingat bahwa sampai saat ini masyarakat Indonesia dan masyarakat Aceh pada khusus adalah orang yang masih kuat berpegang kepada mazhab Syafi'i yang berbaur dengan apa yang telah ditarjih oleh Nawawi.[21] Dan banyaknya kitab-kitab yang beredar di kalangan masyarakat seperti Tuhfat al-Muhtai ala Syarh al- Minhaj karangan Ibnu Hajar al-Haitami (W. 974 H), Mughni al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini (W. 977 H)[22], Nihayat al-Muhtaj karangan Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Syihab al-Din al-Ramli (W 1004 H). Juga banyak kitab dalam bahasa jawi yang rata-rata merupakan pendapat Syafi'iyah yang sudah di-tarjih. Sehingga dapat memberikan gambaran tentang pen-tarjihan yang dilakukan Nawawi.
2. Kegunaan Penelitian
Dengan kajian ini dapatlah kiranya bermanfaat yang ingin mendalami dan mengkaji ulang terhadap pendapat ulama terdahulu dan dalil-dalilnya dalam mazhab Syafi'i khususnya bagi orang yang masih ber-taqlid kepada ulama Syafi'iyyah, dan dapat mengetahui kenapa pendapat itu kuat dan kenapa yang lainnya dhaif.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai rujukan dasar dalam pembahasan ini adalah kitab Minhaj al Talibin karangan imam Nawawi. Penulis melihat kitab ini lebih selektif dalam menjelaskan persoalan dengan menggunakan istilah dalam pen-tarjihan pendapat, terlebih lagi kitab yang disyarah oleh Jalal al-Din al-Mahalli (W. 835 H) dalam kitabnya Kanz al-Raghibin bahkan kitab ini dijadikan sebagai rujukan fiqh dalam mazhab Syafi'i bagi Mahasiswa SI (strata satu) di Universitas al Azhar pada Fakultas Syari'ah. Juga kitab ini dipakai oleh kaum santri di Pesanteran Tradisional di nusantara ini. Kitab ini sudah diberi syarah dan komentar oleh Imam Qalyubi dan Umairah,  dari sisi ini ada beberapa metode yang digunakan  Nawawi dalam melakukan  tarjih.
E. Metode Penelitian
1. Sumber dan Tekhnik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk dalam katagori penelitian kepustakaan. Oleh Karena itu pengumpulan data melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka sebagai sumber data. Sumber data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berupa literatur yang terkait langsung dengan subtansi penelitian ini.
Sumber data dibagi dalam dua katagori, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sumber yang merujuk langsung kepada kitab Minhaj al-Talibin seperti Syarh JaIal al-Din al-Mahali, Nihayah al-Muhtaj, Mugni al-Muhtaj dan Tuhfah al-Muhtaj sebagai sumber sekunder juga digunakan beberapa kitab lain sebagai rujukan yang ada hubungannya dengan pendapat Nawawi seperti Majmu' Syarh al-Muhadhdhab, Rawdah al-Talibin, dan beberapa kitab yang lain seperti Syarh al-Wajiz atau lebih di kenal dengan Syarh al-Kabir karangan al-Rafi'i. Serta beberapa kitab lain yang ada relefansi dalam kajian ini sebagai pendukung data primer di atas.
Tekhnik pengumpulan data primer adalah mengumpulkan semaksimal mungkin kitab yang dianggap paling urgen yang menyangkut dengan masalah penelitian ini, kemudian dikaji, dianalisa dan memilah data-data terseleksi berdasarkan poin-poin  permasalahan terkait.
Sedangkan tekhnik  pengumpulan data sekunder adalah mengumpulkan data dari berbagai tulisan, baik berupa kitab Arab dan buku-buku Indonesia. Setelah mengumpulkan data tersebut langkah selanjutnya adalah mengkaji, menganalisa, dan memilah-memilah data yang terseleksi untuk mendapatkan data yang jelas, akurat dan benar yang mendukung data primer.
2. Analis Data
Setelah data terkumpul melalui beberapa leteratur yang dijadikan sumber dalam penelitian ini, lalu dilakukan pemahaman dan analisa contoh-contoh kasus pen-tarjih-annya dan hasil pengkajian akan terungkap metode yang digunakan dalam men-tarjih-kan pendapat-pendapat baik imam Syafi'i maupun ulama Syafi'iyah. Untuk kemudian mengambil kesimpulan terhadap apa yang diteliti dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan Content analisis, hasil itu akan menjadi j awaban terhadap masalah yang diteliti.
F. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan judul: "Metode Tarjih Nawawi dalam Menyelesaikan Perbedaan Pendapat dalam Mazhab Syafi'i" dengan menempuh beberapa langkah yang dijadikan sebagai sistematika pembahasan yaitu :
Bab Pertama berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, kemudian rumusan masalah, lalu tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan..
Bab Kedua akan dijelaskan sejarah ringkas imam Nawawi yang meliputi di dalamnya riwayat hidupnya, karya-karya, setting sosial, kedudukan dan pengaruhnya dalam mazhab Syafi'i.
Bab Ketiga akan dijelaskan gambaran umum tentang tarjih berupa pengertian tarjih, sejarah, rukun dan syarat tarjih, landasan  tarjih dan kedudukan tarjih  dalam hukum Islam.
Bab keempat akan dijelaskan metode tarjih Nawawi yang meliputi di dalamnya: Metode pen-tarjih-an perbedaan pendapat-pendapat imam Syafi'i juga metode Pen-tarjih-an perbedaan pendapat ulama-ulama pengikut Syafi'i atau yang lebih di kenal dengan ashab al-wujuh atau Syafi'iyyah. Pada bab ini akan dijelaskan juga langkah-langkah pen-tarjih-an dan beberapa contoh kasus Fiqh dari tarjih Nawawi.
Bab kelima akan dijelaskan berupa kesimpulan dari penelitian ini dan saran-saran yang dapat membantu dalam penyempurnaan penelitian dan perluasan.








BAB II
BIOGRAFI IMAM AL-NAWAWI


A.    Riwayat Hidup Imam al-Nawawi

Imam al-Nawawi adalah ulama yang paling banyak mendapat cinta dan sanjungan makhluk. Orang yang mempelajari biaografinya akan melihat adanya wira`i, zuhud, kesungguhan dalam mencari ilmu yang bermanfaat, amal saleh, ketegasan dalam membela kebenaran dan amar makruf, nahi munkar, takut dan cinta kepada Allah dan kepada rasul Nya.
Ia telah melebihi ulama-ulama yang semasa dengannya. Menurut pendapat yang rajih, ia meninggal dunia sermentara umurnya tidak lebih dari 45 tahun. Ia meninggalkan berkas-berkas, ketetapan-ketetapan dan kitab-kitab ilmiyah yang berbobot. Dengan peninggalan-peninggalan tersebut, ia telah menunjukkan  bahwa ia melebihi ulama-ulama dan imam-imam pada masanya.
Imam al-Nawawi adalah seorang ahli hukum Islam ternama dan ahli hadith yang dipercaya. Nama lengkapnya ialah Yahya Ibnu Syaraf Ibnu Muri Ibnu Hasan Ibnu Husein Ibnu Muhammad Ibnu  Jum`ah Ibnu Hizam al-Hawrani al-Dimasyqi al-Syafi`i, dengan sebutan Kuniyahnya yaitu, Abu Zakariya al-Nawawi al-Dimasyqi. [23]
Adapun Imam al-Nawawi dijuluki Abu Zakariya[24] karena namanya adalah Yahya. Orang Arab sudah terbiasa memberi julukan Abu Zakariya kepada orang yang namanya Yahya karena ingin meniru Yahya Nabi Allah dan ayahnya, Zakariya Alaihima al-Salam sebagaimana juga seseorang yang namanya Yusuf dijuluki Abu Ya`qub, orang yang namanya Ibrahim dijuluki Abu Ishaq dan orang yang namanya Umar dijuluki Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah anak bukan ayah, namun gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar dari orang-orang Arab.
Gelarnya adalah Muhyiddin.[25] Namun, ia sendiri tidak senang diberi gelar ini. Ketidaksukaannya itu disebabkan rasa tawadhu` yang tumbuh pada diri Imam al-Nawawi, meskipun sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dengan dia Allah menghidupkan sunnah, mematikan bid`ah, menyuruh melakukan yang makruf, mencegah perbuatan yang mungkar dan memberi manfaat kepada umat Islam lewat karya-karyanya yang berbobot.
Ia dilahirkan di Nawa, yaitu sebuah desa sebelah barat daya Damaskus Syiria pada bulan Muharram tahun 631 H atau bertepatan dengan Oktober tahun 1233 M,[26] sesuai dengan kesepakatan para sejarawan.  Sementara menurut K.H. Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan mazhab Syafi`i, Imam al-Nawawi lahir pada tahun 630 H atau bertepatan dengan tahun 1234 M.[27] Perbedaan tahun kelahiran al-Nawawi ini bukanlah suatu yang prinsip, di samping perbedaan ini pula dengan angka yang tidak terpaut terlalu jauh, dan kemungkinan besar perhitungan menurut Sirajuddin Abbas adalah akhir tahun 630 H.
Ayah Imam al-Nawawi bernama Syaraf Ibnu Muri adalah seorang yang terkenal saleh dan taat. Dalam rumah tangga yang taat dan saleh itulah Imam Nawawi dibesarkan. Diriwayatkan bahwa Nawawi yang terkenal pintar itu, di masa kecilnya selalu menyendiri dari teman-temannya yang suka mengahabiskan waktu hanya untuk bermain-main. Dalam kondisi yang demikian, Nawawi yang dari kecilnya mendapat perhatian besar dari orang tuanya itu, banyak menggunakan waktunya untuk membaca dan mempelajari al-Qur`an dan mempelajari ilmu-ilmu agama.
Adapun mengenai sifat-sifat Imam al-Nawawi, sebagaimana yang dilukiskan oleh al-Zahabi, adalah "Imam al-Nawawi berkulit sawo matang, berjenggot tebal, berperawakan tegak, berwibawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan terus bersungguh-sungguh dalam hidupnya, sselalu mengatakan yang benar meskipunhal itu sangat pahit baginya dan tidak takut hinaan orang yang menghina dalam membela agama Allah."
B.     Perkembangan pendidikan intelektual Nawawi
Saat Imam al-Nawawi sudah mencapai umur tamyiz (kurang lebih delapan tahun), Allah membimbingnya agar nantinya mengemban syari`at Islam yang suci. Pada saat berumur tujuh tahun, sudah memperlihatkan tanda-tanda bimbingan-Nya kepadanya. Hal itu terjadi pada malam dua puluh tujuh Ramadhan, yaitu ketika ia tidur di samping ayahnya, sebagaiman yang diriwayatakan oleh Ibnu al-Aththar dari orang tua Imam al-Nawawi tersingkap rahasia Allah dalam bulan Ramadhan yang diberkahi yang mana rahasia itu disembunyikan dari kebanyakan orang. Rahasia tersebut tidak lain adalah Lailatul qadar.
Pada mulanya ia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama-ulama terkemuka di desa kelahirannya, yaitu pada umur sembilan tahun. Dalam waktu empat bulan setengah, ia sudah hafal kitab al-Tanbih kemudian dilanjutkan dengan mengahafal seperempat kitab al-Muhazzab.[28] Ia terus bersama dengan Syaikh Kamaluddin Ishaq bin Ahmad, kemudian pergi haji bersama ayahnya. Kemudian setelah umurnya menginjak dewasa, ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di desa tempat kelahirannya itu. Maka pada tahun 649 H, atau bertepatan dengan 1251 M, bersama ayahnya Nawawi berangkat ke Damaskus. Damaskus di waktu itu tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, dan tempat kunjungan orang-orang dari berbagai pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di kota itu juga terdapat beberapa sekolah agama, dan ada yang menyatakan tidak kurang dari 300 buah sekolah tersebar di Damaskus waktu itu.
Begitu Nawawi sampai di Damaskus ia langsung berhubungan dengan seorang alim terkenal, yaitu syech Abdul Kafi ibnu Abdul Malik al-Rabi (w. 698 H), dan dengan syech Abdurrahman ibnu Ibrahim ibnu al-Farkah (w. 690 H),[29] dan dari mereka Nawawi banyak belajar. Beberapa waktu kemudian ia dikirim oleh gurunya itu kesebuah lembaga pendidikan yang terkenal dengan al-Madrasah al-Rawahiyah, dan di situlah ia tinggal dan banyak belajar.
Sejak kecil Nawawi telah menampakkan kecerdasan dan keseriusannya dalam mendalami ilmu Islam. Terutama pada usia 19 (sembilan belas) tahun ia pernah belajar di madrasah al-Rawahiyah  di Damaskus. Ia sangat tekun dalam mencari ilmu pengetahuan khususnya lmu fiqih dan ilmu Hadith.
Dalam bidang fiqih ia belajar dari ulama-ulama terkemuka dari mazhab Syafi`i. Di antara guru-guru fiqihnya yaitu: syekh Abu Ibrahin Ishaq ibnu Ahmad ibnu Uthman al-Maghribi al-Dimasyqi (w. 650 H). Ia juga belajar dari mufti Damaskus yaitu Abu Muhammad Abdurrahman ibnu Nuh ibnu Muhammad al-Dimasyqi (w. 654 H). Dan dari Abul Hasan Sallar ibnu al-Hasan al-Diamasyqi  (w. 670 H), seorang ulama terkenal ahli dalam seluk-beluk mazhab Syafi`i.[30]
Selanjutnya ia belajar fiqih kepada Ridha  bin Burhan, Zaid al-Khalid, Abdul Azis bin Muhammad al-Anshari, Zainuddin bin Abdul Daim, Imamuddin Abdul Karim al-Harastani, Zainuddin Khalaf bin Yusuf, Taqiyuddin bin Abi al-Yasar, Jamaluddin bin al-Sirafi, dan Syamsuddin bin Amr.[31]
Dalam bidang ilmu Hadith ia belajar antara lain kepada al-Hafidh Ibrahim Isa al-Muradi al-Andalusi al-Dimasyqi (w. 668 H), juga kepada Abu ishaq Ibrahim ibnu Abi Hafas Umar ibnu Mudar al-Wasiti, dan daripadanya Nawawi menamatkan pelajaran kitab Sahih Muslim. Kemudian ia belajar Hadith pula kepada syekh al-Hafiz al-Mutqin Zainuddin Abul Baqa Khalud ibnu Yusuf ibnu Sa`ad al-Nabulisi (w. 663 H).[32]
Mengenai periwayatan Hadith, banyak juga ulama-ulama yang meriwayatkan Hadith dari Nawawi. Di antara orang-orang yang meriwayatkan Hadith darinya ialah: `Alauddin `Ali ibnu Ibrahim al-`Athhar, Abul Hajjaj Yusuf ibnu Abdurrahman al-Mizzy, `Abduurahman ibnu Ahmad ibnu `Abdul Hadi dan lain-lain.[33]  Nawawi menjadi pemimpin dari perguruan Darul Hadith setelah Ibnu Abi Syamah.[34]
Nawawi tidak hanya ahli dalam dua bidang ilmu pengetahuan tersebut di atas, namun ia juga ahli dalam bidang ilmu ushul fiqh. Dalam bidang ini ia belajar kepada Abu al-Fath Umar ibnu Bandar ibnu Umar al-Taflisi al-Syafi`i. Dengan gurunya ini, ia mempelajari kitab al-Muntakhab merupakan buah karya al-Fakhru al-Razi, dan sebagian dari kitab al-Mustahsfa hasil karya monumental al-Gazali dalam bidang usul fiqh.[35]
Selain dari beberapa bidang ilmu tersebut di atas, al-Nawawi juga mempelajari ilmu Nahwu (gramatika Arab). Dalam ilmu ini ia berguru kepada Ahmad bin Salim al-Mashri, Ibnu Malik dan al-Fakhr al-Maliki.[36]
Dengan kepiawaian dan kemampuan intelektual Nawawi yang sangat luar biasa sebagai seorang murid sekaligus sebagai guru, ia telah banyak memiliki murid-murid yang terkenal lagi alim. Adapun murid-muridnya antara lain: al-Khatib Sadar Sulaiman al-Ja`fari, Sadr al-Rais al-Fadhil Abu al-Abbas Ahmad bin Ibrahim bin Mus`ab, Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Daud al-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu al-Athathar, Syihabuddin Ahmad bin Ja`wan, Syihabuddin al-Arbadi, Alauddin bin Atar, Ibnu Abi al-Fath dan al-Mizzi.[37]
Termasuk juga muridnya adalah: Al-Syamsy Muhamad bin Abi Bar bin Ibrahim bin Abdurrahman bin al-Naqib, al-Nadr Muhammad bin Ibrahim bin Sa`adillah bin Jama`ah, al-Syihab Muhammad bin Abd al-Khalid bin Utsman bin Muzhir al-Anshari al-Dimasyqi al-Muqri, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Abbas bin Ja`wan, al-Faqih al-Muqri Abu al-`Abbas Ahmad al-Dharir al-Wasithi yang mendapat julukan al-Jalal dan al-Najam Ismail bin Ibrahim bin salim bin al-Khabaz.[38] 
Dari uraian di atas jelas bahwa, Nawawi kecil sampai menjadi dewasa telah bergelut dengan berbagai ilmu pengetahuan dan berhadapan dengan ulama-ulama terkemuka baik di desanya maupun di kota terkenal gudang ilmu pengetahuan dan ulama pada masa itu yaitu kota Damaskus.


C.    Karya-karya Imam al-Nawawi
Pada tahun 670 H Imam al-Nawawi mulai menulis kitab-kitab yang sangat bermanfaat. Sebagai salah seorang mujtahid besar dari kalangan mazhab syafi`iyyah, bahkan ada ulama yang menamainya dengan Syafi`i kecil. Nawawi sejak berusia 25 (dua puluh lima) tahun hingga wafatnya, ia telah banyak menulis kitab baik dalam kajian fiqih maupun Hadith, serta dalam beberapa kajian lainnya, dan buah karya ilmiyahnya dapat kita saksikan sampai sekarang. Karya-karya ilmiyahnya itu cukup menjadi bukti akan kealiman dan intelektualitasnya. Di antara karya-karya yang ditinggalkannya adalah sebagai berikut:
  1. Dalam bidang fiqih, di antaranya; al-Fatawa, al-`Iddah fi al-Manasik, al-Majmu` al-Syarh al-Muhazzab, al-`Umdah fi Tashih al-Niyyah, al-Rawdhah, al-Idhah, al-Tahqiq dan karya monumentalnya yaitu Minhaj al-Talibin.[39]
  2. Dalam bidang Hadith, antara lain: Syarh Kitab Hadith Sunan al-Baghwy dan Daruquthni, al-Arba`in (40 Hadith), al-Azkar, al-Irsyad, al-Isyarah ila al-Mubhamat (tentang Hadith-hadith yang diragukan), Khulasah fi al-Hadith, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim (tentang kitab Hadith), Riyadh al-Shalihin, Syarh Shahih Muslim, Tahrir al-Tawbih, al-Taqrib wa al-Taysir li Ma`rifah Sunan al-Nasyir al-Nazir, al-Tibyan fi Adab Hamlah al-Qur`an (tentang Ilmu Hadith), dan `Ulum al-Hadith.
  3. Bidang pendidikan, etika, biografi, sejarah,  dan bahasa yaitu: Adab Hamalah al-Qur`an, Bustan al-`Arifin, Tahzib al-Asma` wa al-Lughat, Thabaqat al-Fuqaha`, Tahzizb al-Asma` wa al-Lughat (bagian kedua), dan Tahrir al-Tanbih.
Memperhatikan karya-karya besar Nawawi di atas baik dalam bidang fiqih, Hadith, dan beberapa bidang ilmu pengetahuan lainnya, jelas bahwa ia merupakan salah seorang ulama terkemuka di zamannya terutama dalam bidang Hadith, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab Hadith yang ia tulis. Semua karya-karya Imam al-Nawawi telah diterima dan disukai semua orang dan semua kalangan ahli ilmu. Apabila ada orang yang merujuk kepada karya-karyanya, maka dia telah memberikan landasan pendapatnya dan memperkuat hujjahnnya.
D. Pengaruh Imam al-Nawawi dalam Perkembangan Fiqih Syafi`iyyah
            Nawawi adalah merupakan salah seorang tokoh pemikir yang besar dari kalangan mazhab Syafi`iyyah dan telah banyak berjasa dalam mengembangkan dan memperkenalkan mazhab Syafi`iyyah ke hadapan masyarakat Islam di seluruh dunia. Hal ini dibuktikan dengan lahir dan berkembangnya karya-karyanya yang amat besar sampai sekarang ini.
            Ia adalah penuntun yang berhasil bagi pemula dan belajar agama. Dalam kehidupan sehari-hari, ia memiliki kebiasaan hidup sangat sederhana, seperti makan hanya satu kali sehari, setelah shalat Isya. Dalam ibadah ia memperbanyak puasa, zikir dan wirid. Dalam masalah dunia, ia berlaku zuhud, wara`, qanaah, dan ridha, dengan tetap menjaga diri dari hal-hal duniawi.[40]
            Perhatiannya terhadap kondisi sosial sangat besar. Ia menegakkan "amar ma`ruf dan nahi mungkar" (al-amr bi al-ma`ruf wa al-nahi `an al-munkar), membimbing para pemimpin dan orang-orang alim serta mungkar kepada agama. Ia melarang masyarakat Syam (kini Suriah) memakan buah-buahan yang nilanya syubhat atau hukumnya masih diragukan atau diperselisihkan ulama.
            Dalam masalah perkawinan ia menyatakan bahwa seseorang pemuda yang tidak/ belum mampu secara lahir maupun batin tidak boleh  (haram) melangsungkan perkawinan. Pendapat ini didasarkan atas sabda Rasulullah SAW dari Abdullah bin Mas`ud (Ibnu Mas`ud) yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (al-Bukhari):
عن ابن مسعود رضي الله عنه . ان رسو ل الله صلى الله عليه وسلم قال: يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء. (رواه الجماعة)
Artinya: " Dari Ibnu Mas`ud RA ia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: Wahai kaum pemuda, barangsiapa di antara kamu telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah karena bahwasanya itu dapat memejamkan mata dan menjaga kehormatan (kemaluan), dan barangsiapa yang belum mampu untuk menikah, maka hendaklah berpuasa karena ia dapat membendung syahwat".(HR. Al-Jamaah) [41]

            Dalam Hadith di atas terdapat kata "al-ba-ah" Menurut Nawawi pengertian kata tersebut adalah "kemampuan lahir dan batin". [42] Sementara Sayid Sabiq memberi arti kata tersebut adalah "al-jima`", dengan arti lengkapnya yaitu: "barang siapa yang sanggup berhubungan (jima`) lantaran telah ada biaya nikah, maka nikahlah, dan barangsiapa belum sanggup berhubungan karena tidak ada biaya nikah, maka berpuasalah…"[43]
            Dari ini jelas terlihat bahwa pengertian hadits tersebut yang diutarakan al-Nawawi adalah lebih luas cakupannya dari apa yang diungkapkan oleh Sayid Sabiq, yaitu kemampuan lahir dan batin yang mencakup kemampuan fisik, belanja (nafkah) dan jima`.
            Nawawi adalah seorang ulama mazhab Syafi`i yang kritis  terhadap perkembangan sosial. Sebagai contoh ketika Baybars Sultan Mamluk keempat (1250-1277) memungut pajak untuk biaya perang melawan serangan bangsa Mongol ke Suriah dan Mesir, ia menentangnya. Alasan yang diutarakan Nawawi adalah Baybars tidak berhak memungut pajak dari rakyat karena Baybars sendiri adalah seorang budak dan statusnya (merdeka atau belum) masih diragukan. Atas kritik Naawawi ini, Imam Izzuddin bin Abdul al-Salam (tokoh fiqih mazhab Syafi`i di Mesir) ketika itu menyatakan Baybars dan pejabat Muluk lainnya merdeka, dengan syarat membayar uang tebusan untuk memerdekakan diri dari status budaknya.
            Al-Isnawi dalam al-Tabaqat mengatakan: "Imam al-Nawawi adalah pembersih, penjernih, dan penata mazhab. Di mana-mana ia disebut sebagai orang yang sangat tinggi kapasitas dan kadar keilmuannya."[44]
            Di Indonesia namanya sangat populer dan dikenal, terutama di kalangan para santri dayah atau pesantren tradisional. Hal ini disebabkan kitabnya yang berjudul Minhaj al-Talibin. Karya ini telah melahirkan banyak syarahan, antara lain lima kitab yang paling penting, yaitu: Kanz al-Ghqribin karya Al-Mahalli  (w.864 H), Minhaj al-Tullab karya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj karya Ibnu Hajar (w. 973 H), Muhgni al-Muhtaj karya Imam Ramli (w. 1004 H). Kelima kitab tersebut diberi anotasi (syarah dan hasyiah) secara berurutan oleh Qulyubi dan Umairah, al-Anshari, al-Syirwani, al-Syibramalisi, dan al-Maghribi.[45]
            Kitab Minhaj al-Talibin itu telah pernah disalin ke dalam bahasa Perancis oleh L.W.C Van De Berg, dengan judul bukunya "Minhaj al-Talibin Manuel de Jurisprudence Musul Mane Selon Le ritede Chi`il" 3 Jilid, dicetak di Jakartatahun 1882-1884 M. Kitab Minhaj ini mendapat perhatian yang sangat besar di kalangan ulama Syafi`iyyah sendiri, sehingga banyak sekali muncul syarahan terhadapnya.[46]
            Imam Nawawi mendapat kedudukan yang tinggi dalam mazhab Syafi`i, karena ia diberi gelar dengan " Mujtahid Mazhab"[47]. Dalam hal ini Nawawi sederajat dengan Imam Rafi`i (w. 623 H). Nawawi juga salah seorang ulama Hadith terkemuka di zamannya. Komentar-komentarnya terhadap Sahih Muslim dalam bukunya Hidayat al-Salihin, tercatat mendapat sambutan positif dari ulama-ulama di zamannya dan generasi sesudahnya. Dan itu sebenarnya kelebihan Nawawi. Dia adalah pendekar dalam bidang Hadith, tetapi juga ahli dalam fiqh.
            Ibnu Katsir[48] mengatakan, "Imam al-Nawawi adalah guru mazhab dan pembesar fuqaha pada masanya." Al-Zahabi mengatakan, "Imam al-Nawawi adalah seorang ketua ahli dalam mengetahui mazhab. Qadhi Safad Muhammad bin Abd al-Rahman al-Utsmani dalam kitabnya, Al-Tabaqat al-Kubra, menyebutkan, "Imam al-Nawawi adalah syekh Islam, oaring yang mendatangkan barakah untuk kelompok Syafi`iyah, penghidup dan penjernih mazhab, orang yang pendapatnya selalu dirajihkan ulama."
            Syihab Abu al-Abbas bin Haim dalam mukaddimah al-Bahr al-Ajjaj Syarh al-Minhaj mengomentari, "Imam al-Nawawi adalah imam, ulama besar, orang yang mendapat predikat al-Hafiz, ahli fikih besar, penjernih mazhab dan pembaharu metodologi."[49]
            Muridnya, Ibnu al-Aththar mengatakan, "Imam al-Nawawi hafal mazhab al-Syafi`I, kaidah-kaidahnya beserta dasarnya, cabangnya, mazhab-mazhab sahabat, tabi`in, perselisihan dan kesepakatan ulama, pendapat yang masyhur dan yang tidak masyhur. Dalam hal itu, ia mengikuti mazhab salaf."[50]
            Memperhatikan beberapa uraian di atas dapatlah difahami bahwa Imam al-Nawawi adalah sosok ulama dan mujtahid, pembaharu mazhab  dan metodologi, pembela mazhab  Ia telah banyak berbuat bagi kepentingan umat Islam terutama dalam mazhab Syafi`i, yaitu dengan menghasilkan banyak karya-karya tulis yang populer  dan melahirkan puluhan bahkan ratusan murid-muridnya yang  masyhur, seperti Ibnu Katsir dan lain-lainnya.
D.    Kedudukan Imam al-Nawawi dalam Ijtihad
Adapun mengenai kedudukan al-Nawawi dalam derajat para imam mujtahid khususnya dalam mazhab Syafi`i, para ulama mutaakhirin menganggapnya sebagai Mujtahid Tarjih, sama halnya dengan imam al-Rafi`i.[51]  Al-Rafi`i  adalah Ulama pentarjih pertama dalam mazhab Syafi`i. Ia yang mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam mazhab Syafi`i.
      Selanjutnya muncul al-Nawawi untuk mentarjihkan pendapat-pendapat yang pernah ditarjihkan oleh al-Rafi`i. Sehingga terjadi perbedaan dalam pentarjihan antara kedua imam ini. Bahkan telah populer di kalangan mazhab Syafi`iyyah yaitu apabila terjadi pertentangan dalam pentarjihan antara al-Nawawi dan Rafi`i, maka didahulukan tarjih al-Nawawi. Dalam menentukan urutan pendapat yang paling kuat (tarjih) di kalangan mazhab Syafi`i, maka pendapat yang didahulukan adalah hukum yang telah disepakati oleh al-Syaikhani yaitu al-Nawawi dan al-Rafi`i, kemudian tarjih al-Nawawi, selanjutnya terjih al-Rafi`i, kemudian tarjih-tarjih ulama lain yang tahqiq (sanggup mengemukakan sesuatu dengan dalil) dan tadqiq ( melebihi kemampuannya dari tahqiq) di kalangan para ulama mutaakhirin. Misalnya Abu Zakariya al-Anshari (W. 926 H), Ibnu Hajar al-Haitami (W.974 H),  al-Ramli (W. 1004 H) dan lain-lain.[52]



















BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG TARJIH  DAN IJTIHAD
A.        Pengertian Tarjih.
Secara leksikal perkataan tarjih (  تر جيح   ) adalah masdar dari kata Arab            "rajjaha" رجح )   ), " yurajjihu" ( يرجح   ), " tarjihan" (ترجيحا   ), yang secara etimologi sebagaimana dikutip dalam kitab al-Ta`rifat karya `Ali bin Muhammad al-Jurjani yaitu: 
الترجيح هو اثبات مرتبة فى احدالدليلين على الاخر.                                                      
Artinya: "Tarjih adalah menetapkan atau menguatkan salah satu dalil dengan lainnya."[53]
Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan dengan jalan (metode) al-jama` wa al-tawfiq ( الجمع والتوفيق   ). Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih ( راجح ), sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh  ( (  مرجوح .
Adapun Pengertian tarjih secara terminologi, terdapat dua definisi tarjih yang dikemukakan para ahli Usul Fiqh.                                                                                        1. Definisi yang dikemukakan ulama Hanafiyah, yaitu: Tarjih adalah:
التر جيح هوا ظهار زيا دة لا حد المتما ثلين على الا خر بما لا يستقل
Artinya: "Tarjih adalah memunculkan tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang bersamaan (sederajat), di mana dalil tambahan tersebut tidak berdiri sendiri".[54]
Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa tarjih adalah: dua dalil yang bertentangan itu mempunyai kekuatan yang sama (sederajat). Untuk memilih mana yang akan diunggulkan atau dimenangkan, diperlukan dalil lain sebagai pendukungnya.
2. Jumhur ulama mendefinikan tarjih, sebagaimana diungkapkan oleh al-Amidi. Tarjih adalah:
التر جيح هوعبارة عن اقتران احد الصا لحين للدلالة علي المطلوب, مع تعارضهما بما يوجب العمل به واهمال الاخر.
Artinya: "Tarjih adalah: ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang pantas yang menunjukkan kepada apa yang dikehendaki, di samping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya dan mengabaikan yang lain".[55]
Secara lebih ringkas, Nasrun Haroen dalam bukunya Ushul Fiqh I mendefinikan tarjih, adalah:
التر جيح هو تقوية احد الاما رتين ( اى الدليلين الظنيين ) على الاخر ليعمل بها.
Artinya: "Tarjih adalah: menguatkan salah satu indikator dalil yang dhanni atas yang lain untuk diamalkan  (diterapkan)".[56]
Berdasarkan definisi ini menunjukkan bahwa golongan Jumhur ulama membatasi pengertian tarjih dalam dalil yang bersifat dhanni (relatif), karena masalah tarjih tidak termasuk dalam ruang lingkup pembahasan yang qath`i (pasti atau absolut), dan juga tidak tergolong ke dalam wilayah antara dhanni dan qath`i.
Dari beberapa kutipan definisi tersebut di atas, dapat di fahami bahwa yang dimaksud dengan tarjih adalah upaya untuk memperoleh atau memberikan penilaian lebih kuat terhadap alasan-alasan atau dalil-dalil yang dipilih atas dalil-dalil yang tidak terpilih. Hakikat dan tujuan dari definisi tersebut adalah sama, yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang sama untuk diamalkan, dan kedua dalil yang bertentangan ini harus mempunyai kedudukan yang sama, yakni dhanni.
Para ulama usul fiqh sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh ( dilemahkan) tidak perlu diamalkan.[57] Alasan yang diajukan adalah kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para sahabat Rasulullah dalam menguatkan suatu dalil dari dalil-dalil lainnya dalam berbagai persoalan (kasus). Misalnya, dalam kasus perbuatan yang mewajibkan mandi; para sahabat menguatkan hadith yang bersumber dari `Aisyah ra tentang iltiqa` al-khitanaini ( bertemunya alat vital laki-laki dan alat vital perempuan) hadith riwayat Muslim dan al-Tirmidzi dari pada hadith Abu Hurairah yang mengatakan bahwa:
عن ابى هريرة رضي اللهعنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : انما الماء من الماء.  (رواه مسلم)
Artinya: "Dari Abu Hurairah ra ia berkata : bahwa Nabi SAW bersabda: air itu berasal dari air". (HR. Muslim)[58]

Maksud hadith ini bahwa, apabila keluar mani, baru mandi wajib.[59] Namun bila tidak keluar mani sekalipun telah bertemu dua alat vital tetap tidak diwajibkan mandi. Inti pemahaman hadith ini adalah keluar mani bukan bertemu dua alat vital
Para sahabat juga menguatkan hadith tentang seseorang berpuasa dalam keadaan berjunub (H.R. al-Bukhari dan Muslim, dari `Aisyah dan Ummi Salamah) dari pada hadith Abu Hurairah yang mengatakan bahwa siapa yang berpuasa dalam keadaan junub pagi hari, maka puasanya tidak sah ( H.R. Ibnu Hibban).[60]
Oleh karena itu, para ulama usul fiqh berpendapat bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang rajih itu wajib diamalkan.
B. Syarat-syarat dan Cara-cara Tarjih
1. Syarat-syarat Tarjih
Adapun mengenai syarat-syarat tarjih itu dapat disebutkan, sebagai berikut:
a.       Dua dalil tersebut harus ta`arudh (kontradiksi) dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara apapun. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi tarjih dalam dua dalil yang qath`i (pasti ) karena kedua dalil ini tidak mungkin bertentangan (kontradiksi).
b.      Kedua dalil yang bertentangan itu sama pantas untuk petunjuk kepada yang dimaksud.
c.       Kedua dalil yang dimaksud ada petunjuk yang mewajibkan beramal salah satu keduanya dan meninggalkan yang lainnya.[61]
Berdasarkan persyaratan tarjih di atas, dapat dipahami bahwa, tidak terjadi tarjih terhadap al-Qur`an (qath`i al-thubut) dengan hadith Ahad (dhanni al-thubut) dikarenakan kedua dalil ini tidak sederajat (setingkat). Lain halnya jika terjadi perbedaan dari segi dalalahnya. Seperti kedua dalil-dalil itu sama-sama qath`i al-thubut (al-Qur`an dan Hadith mutawatir), akan tetapi kandungan isinya (dalalah) yang satu qath`i al-dalalah dan yang lain dhanni al-dalalah.
Demikian pula (tidak terjadi tarjih), jika yang satu dalil dari hadith Mutawatir dan yang lain hadith Ahad, karena dalam hal semacam ini hadith Mutawatir yang harus didahulukan dalam pengamalannya.
2.      Cara-cara Tarjih
Para ulama usul fiqh mengemukakan bahwa cukup banyak cara pentarjihan yang bisa dilakukan apabila antara dua dalil secara dhahir (teks) terdapat pertentangan (ta`arudh) dan tidak mungkin dilakukan al-jama` wa al-tawfiq (penggabungan) atau al-nasakh (menghapuskan).
Adapun mengenai cara-cara pentarjihan pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu: (1). Al-tarjih baina al-nusush, artinya menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith) yang saling bertentangan. (2). Al-tarjih baina al-aqyisah, yaitu menguatkan salah satu qiyas (analogi) yang saling bertentangan.[62]
(1). Al-Tarjih Baina al-Nusush
            Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu: (a). Dari segi sanad (para perawi hadith). (b). dari segi matan (teks) hadith. (c). Dari segi hukum atan kandungan hadith (madlul) . (d). Pentarjihan dengan menggunakan faktor (dalil) lain di luar nash (amr al-kharij).
a. Dari Segi Sanad ( Para Perawi Hadith)
            Imam al-Syawkany ( 1172-1250 H/ 1759-1828 M) berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan dengan 42 cara, yang di antaranya dikelompokkan kepada:[63]


(a). Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
            Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi hadith. Menurut Jumhur ulama hadith yang sanadnya lebih banyak ditarjihkan dari hadith yang sanadnya lebih sedikit.[64] Karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam suatu hadith yang diriwayatkan oleh banyak perawi sangat kecil. Sedangkan Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M), Abu Yusuf (113- 182 H/ 731- 798 M) dan Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi (260-340 H/ 874-952 M) keduanya ahli fiqh mazhab Hanafi berpendapat bahwa suatu dalil tidak bisa ditarjih hanya dengan banyaknya perawi semata, kecuali jumlah perawi itu melebihi tiga orang (hadith Masyhur). Mereka menganalogikan kepada kasus persaksian yang bertentangan, bahwa hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara atas dasar persaksian yang lebih banyak orangnya.[65]
Jumhur juga berpendapat bahwa pentarjihan boleh dilakukan berdasarkan kualitas perawi, misalnya hadith yang perawi lebih tsiqah (terpercaya) ditarjihkan dari pada hadith yang perawinya kurang tsiqah. Demikian pula hadith yang perawinya lebih dhabit (kuat hafalan) ditarjihkan daripada hadith yang kurang dhabitnya.
(b). Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri.
            Yaitu hadith Mutawatir dikuatkan dari hadith Masyhur atau menguatkan hadith Masyhur  daripada hadith Ahad. Bisa juga dilakukan dengan cara melihat persambungan sanadnya, yaitu mentarjih hadith yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dari hadith yang sanadnya terputus.
(c). Pentarjihan melalui cara menerima hadith dari Rasulullah SAW.
            Yaitu menguatkan hadith yang langsung didengar dari Nabi SAW dari pada hadith yang didengar melalui perantaraan orang lain atau tulisan. Dirajihkan juga riwayat yang memakai lafal langsung dari Nabi SAW yang menunjukkan kata kerja, seperti kata naha (melarang), amara (memerintahkan), dan adzina (mengizinkan), daripada riwayat yang lainnya. Begitu juga dalam kasus hadith Ahad dari segi muatannya, yaitu hadith Ahad yang muatannya tidak menyangkut orang banyak lebih didahulukan dari hadith Ahad yang muatannya menyangkut orang banyak. Pentarjihan ini dilakukan karena kesaangsian mereka terhadap kebenaran hadith Ahad yang menyangkut orang banyak. Sebab menurut ulama Hanafiyyah, hadith Ahad yang meyangkut orang banyak tidak mungkin disampaikan Nabi SAW hanya kepada satu, dua, atau tiga orang saja.[66]
b. Dari Segi Matan
            Yang dimaksud dengan matan di sini adalah teks ayat, hadith, atau ijma`. Imam al-Amidi ahli ushul fiqh mazhab Syafi`i (551-631 H/ 1156-1233 M), mengemukakan 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan,[67] di antaranya adalah:
(a). Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemudharatan lebih utama daripada mengambil manfaat.
(b). Teks yang mangandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus kebolehan sudah tercakup di dalamnya.
(c). Makna hakikat suatu lafaz lebih didahulukan darpada makna majaz.
(d). Dalil Khusus lebih didahulukan dari dalil umum.
(e). Teks umum yang belum ditakhsis lebih didahulukan daripada teks umum yang telah ditakhsis.
(f). Teks yang berupa perkataan lebih didahulukan daripada teks yang berupa perbuatan.
(g). Teks yang muhkam lebih didahulukan dari teks mufassar.
(h). Teks yang sarih (jelas) lebih didahulukan daripada teks yang berupa kinayah (sindiran).
c. Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum
            Cara pentarjihan melalui metode ini, Imam al-Amidi mengemukakan ada 11 cara, sedangkan Muhammad ibn Ali al-Syawkani menyederhanakannya menjadi 9 cara, di antaranya sebagai berikut:
(a). Teks yang mengandung bahaya menurut Jumhur lebih didahulukan dari teks yang membolehkan. Alasannya hadith Rasulullah SAW:
ما اجتمع الحلا ل والحرام الا غلب الحرام.       )رواه البيهقى)
Artinya: "Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali   yang haram lebih dominan". (HR. Al-Baihaqy).[68]
Namun menurut Imam al-Gazaly (pakar usul Fiqh mazhab Syafi`i) mengatakan kedua hukum itu digugurkan saja, karena secara kualitas kedua dalil itu adalah sama. Menurutnya, teks yang membolehkan itu didukung oleh hukum asal pada sesuatu, yaitu boleh, sedangkan hukum yang dilarang itu menggiring seseorang untuk hati-hati maka kualitas keduamya adalah sama. Dalam keadaan seperti ini sulit untuk mentarjih salah satu di antara keduanya. Oleh sebab itu kedua hukum yang dikandung teks yang bertentangan itu digugurkan saja.[69]
(b). Suatu teks yang mengandung hukum menetapkan, sedangkan yang lain meniadakan, maka dalam hal  seperti ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya Ibn `Abbas meriwayatkan sebuah hadith bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah dalam keadaan ihram sebagaimana hadith berikut ini:
انه صلى الله عليه وسلم تزوج ميمو نة بنت الحارث وهو محرم )  رواه البخارى ومسلم)
Artinya: " Sesungguhnya Nabi SAW mengawini Maimunah binti al-Harith sewaktu beliau sedang ihram". (HR.Bukhari dan Muslim).[70]
                Hadith ini berlawanan dengan hadith Abu Rafi` yang mengabarkan berikut ini:
انه صلى الله عليه وسلم تزوجها وهو حلال. (رواه مالك)
Artinya: "Bahwasanya Nabi SAW mengawini maimunah binti al-Harith pada beliau sudah bertahallul". (HR. Malik)[71]
            Dalam kasus seperti ini, menurut ulama Syafi`iyyah teks yang sifatnya meniadakan lebih didahulukan dari teks yang sifatnya menetapkan. Kasus perkawinan Rasulullah SAW di atas, riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW tidak dalam keadaan ihram lebih didahulukan dari riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW sedang ihram. Alasannya bahwa Abu Rafi` pada waktu itu bersama-sama beliau, maka sudah barang tentu ia lebih tahu atas peristiwa itu daripada Ibnu `Abbas yang saat itu tidak ikut pergi bersama Rasulullah SAW.[72]
            Imam al-Gazaly berpendapat kedua hukum tersebut digugurkan, karena kemungkinan keduanya benar dan kemungkinan salah. Oleh sebab itu, menurutnya harus dicari indikasi lain dalam pentarjihan tersebut.[73]
            (c). Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka didahulukan yang pertama yaitu menghindarkan terpidana dari hukuman. Sesuai dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
عن عائشة رضى الله عنها قالت:  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ادرؤالحدود عن المسلمين ماا ستطعتم ... (رواه الترمذى).
Artinya: "Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudud terhadap muslim selama kamu mampu".      (HR. Al-Turmudzi).[74]
            (d). Teks yang mengandung hukuman ringan lebih didahulukan dari pada teks yang di dalamya mengandung hukuman berat. Karena Syari`at Islam mengandung azas  keringanan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah(2):185.

يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر.
Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran".
d. Pentarjihan dengan Menggunakan Faktor (dalil) Lain di Luar Nash (amr al-Kharij).
            Al-Amidi mengemukakan lima belas cara pentarjihan dengan menggunakan faktor di luar nash.[75] Dan Imam al-Syawkani meringkasnya menjadi sepuluh cara, [76] di antaranya:
            (a). Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik dalil itu al-Qur`an, Sunnah, ijma`, maupun logika.
            (b). Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya al-Qur`an dan penafsirannya serta adanya anjuran Rasulullah SAW untuk mengikuti mereka.
            (c). Mendahulukan nash yang menyebutkan `illat (motivasi) hukumnya daripada nash yang tidak menyebutkan `illatnya.
            (d). Mendahulukan dalil yang mengandung kehati-hatian (ihtiyath) daripada dalil yang tidak menyebutkan demikian.
            (e). Mendahulukan dalil yang dibarengi dengan perbuatan atau perkataan perawinya dari dalil yang tidak demikian halnya.
2. Tarjih Bain al-Aqyisah
            Ta`arudh dengan segala macam cara penyelesaiannya tersebut di atas adalah bertentangan antara dua dalil syara` yang berupa nash. Di samping itu ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil syara` yang bukan nash  yaitu ta`arudh antara qiyas dengan qiyas. Muhammad bin `Ali al-Syawkani mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan (ta`arudh). [77] Ketujuh belas macam pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah al-Zuhaily (guru besar fikih Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah) menjadi empat kelompok, [78] yaitu: 1). Tarjih dari segi hukum asal. 2). Tarjih dari segi hukum furu`. 3) Tarjih dari segi `illat. 4) Tarjih melalui faktor luar.
1). Tarjih dari Segi Hukum Asal.
            Pentarjihan qiyas dari segi hukum asal, menurut Imam al-Syawkani bisa menggunakan enam belas cara, di antaranya:
a). Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat qath`i  dari qiyas yang hukum asalnya zanni, karena yang qath`i lebih kuat dari yang zanni.
b). Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma` dari qiyas yang landasan dalilnya nash. Sebab nash itu bisa di-takhsis, di takwil, dan di-nasakh, sedangkan ijma` tidak. Cara seperti ini dibantah dan ditolak oleh Imam Haramain al-Juwaini (419- 478 H/ 1028- 1085 M. / ahli usul fiqh Syafi`i). Menurutnya, ada kemungkinan qiyas yang di tetapkan berdasarkan al-Qur`an atau hadith lebih kuat dari qiyas yang di dasarkan kepada ijma`, karena ijma` itu sendiri harus di landaskan kepada nash. Dengan demikian, ijma` itu merupakan cabang dari nash, yang sifatnya tidak boleh di dahulukan dari asal. Pendapat ini di dukung oleh ulama usul fiqh Syafi`iyyah lainnya, Imam Baidhawy (w. 685 H/ 1287 M).[79]
c). Menguatkan qiyas yang `illatnya di dukung oleh dalil khusus dari qiyas yang `illatnya tidak didukung oleh dalil khusus.
d). Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas dari qiyas yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas.
e). Menguatkan qiyas yang disepakati ulama tidak dinasakhkan dari qiyas yang tidak disepakati kemudian dinasakhkan.
f). Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus dari qiyas yang hukum asalnya bersifat umum.
2). Tarjih dari Segi Hukum Furu`
            Di antaranya adalah dengan cara:
a). Menguatkan hukum furu` yang datang kemudian dari asalnya yang hukum furu`nya lebih dahulu dari hukum asal.
b). Menguatkan hukum furu` yang `illatnya diketahui secara qath`i dari hukum furu` yang `illatnya bersifat dhanni.
c). Menguatkan hukum furu` yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum furu` yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafsil (rinci).
3). Tarjih dari Segi `Illat.
            Pentarjihan berdasarkan `illat dapat dibagi dua, yaitu dari segi cara penetapan `illat dan dari segi sifat `illat itu sendiri.[80] Adapun pentarjihan dari segi cara penetapan `illat, antara lain:
a). Menguatkan `illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai `illat dari yang tidak demikian.
b). Menguatkan `illat yang dilakukan dengan metode al-sabru wa al-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilahan `illat) yang dilakukan oleh para mujtahid dari `illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara `illat dengan hukum.
c). Menguatkan `illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari `illat yang ditetapkan melalui munasabah karena isyarat dari nash lebih kuat dari `illat yang ditetapkan berdasarkan dugaan mujtahid.
Sementara pentarjihan dari segi sifat `illat, antara lain:
a). Menguatkan `illat yang bisa diukur dengan `illat yang bersifat relatif dan tidak bisa diukur.
b). Menguatkan `illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada kasus lain dari `illat yang sifatnya terbatas pada suatu kasus saja.
c). Menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan pokok (dharuriyyah) dari `illat yang hanya berkaitan dengan kemaslahatan penunjang (hajiyyah). Demikian pula menguatkan `illat yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyyah dari `illat yang terkait dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
d). Menguatkan `illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum,dari `illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.
4) Tarjih Qiyas Melalui Faktor Luar.
            Pentarjihan qiyas melalui faktor-faktor di luar qiyas dapat dilakukan antara lain dengan hal sebagai berikut:
a). Menguatkan qiyas yang didukung oleh sejumlah `illat dari qiyas yang hanya didukung oleh satu `illat.
b). Menguatkan qiyas yang didukung oleh fatwa sahabat (bagi yang menjadikan fatwa sahabat sebagai salah satu dalil syara`) dari qiyas yang tidak demikian.
c). Menguatkan qiyas yang `illat berlaku pada seluruh furu` dari`illat yang hanya berlaku pada sebagian furu` saja.
d).  Menguatkan qiyas yang `illatnya didukung oleh sejumlah dalil dari qiyas yang hanya `illatnya hanya didukung oleh satu dalil saja.
C. Tingkatan Ijtihad.

            Aktifitas ulama pada masa imam al-Nawawi masih sekitar hasil ijtihad para imam-imam mujtahid sebelumnya. Yaitu dengan menghasilkan karya-karya yang berbentuk ikhtisar-ikhtisar yang disebut matan. Kemudian matan ini diberi penjelasan-penjelasan yang disebut syarah. Dan syarahan-syarahan ini diberi penjelasan yang dinamakan hasyiah. Terkadang mengumpulkan pendapat-pendapat yang ada dalam satu mazhab lalu memisah-misahkan antara pendapat yang rajih (kuat) dari pendapat yang tidak rajih. Atas dasar ini kemudian muncul istilah-istilah dalam mengklasifikasikan mujtahid.
            Pengklasifikasian mujtahid berkembang menjadi lima tingkatan, terjadi pada abad ketujuh hijriyah. Pengklasifikasian tersebut dapat dijumpai , misalnya, dalam karya al-Nawawi (W. 631 H). Bahkan al-Nawawi memberikan ciri-ciri dan syarat-syarat dari masing-masing tingkatan mujtahid tersebut. Tingkatan-tingkatan mujtahid yang dimaksud ialah mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid muqayyad dan satu tingkatan lain tidak disebutkan istilahnya.[81] Oleh ulama-ulama usul yang datang kemudian, tingkatan yang terakhir tadi disebut mujtahid fatwa dan ada juga yang menyebutnya sebagai mujtahid takhrij.[82] Al-Nawawi memang tidak menggunakan istilah mujtahid atau ijtihad, tetapi istilah yang digunakannya ialah mufti. Namun dapat diduga bahwa klasifikasi yang dibuatnya adalah klasifikasi  ijtihad.[83]
            Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang dijtihadkan mujtahid itu terbagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu:
  1. Mujtahid Mutlak atau Mujtahid Mustaqil atau Mujtahid fi al-Syar`i  ialah: mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam mengistinbatkan hukum syar`i. Dengan kata lain mereka yang berijtihad secara bebas baik dalam usul maupun furu` tanpa terikat dengan pendapat orang lain. Mereka itu antara lain: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal (para pendiri mazhab empat), Imam al-Auza`i, Imam Daud al-Dhahiry, dan Ja`far al-Shadiq.[84]
  2. Mujtahid Muntasib atau Mujtahid fi al-Mazhab atau Mujtahid Ghairu al-Mustaqil yaitu para mujtahid yang megikuti imam mazhabnya dalam baik dalam usul atau metode ijtihad dan furu`nya akan tetapi dalam penerapannya bisa terjadi perbedaan (memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazhab). Misalnya Imam Abu Yusuf , Muhammad ibnu Hasan dan Zufar dalam mazhab Hanafiyah, Asyhab dan Ibnu Abd al-Hakam dalam mazhab Maliki,  Imam al-Muzanni dan Buwaithi mazhab Syafi`i, dan Abu Hamid  dalam mazhab Hanbali.[85]
  3. Mujtahid fi al-Masa-il yaitu para mujtahid yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imamnya, namun tidak terlepas dari metode imamnya. Seperti al-Karkhi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Arabiya di kalangan mazhab Maliki, Imam al-Ghazali dari mazhab Syafi`i.[86]
  4. Mujtahid Tarjih atau Mujtahid Fatwa atau Mujtahid Muqayyad yaitu Para mujtahid yang kegiatannya mentarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam mazhabnya. Para mujtahid pada tingkatan ini tidak lagi melakukan istinbath hukum  terhadap masalah-masalah yang sudah maupun yang belum diijtihadkan oleh ulama-ulama terdahulu, mereka hanya memilih pendapat yang dianggap kuat. Mereka itu antara lain: Al-Karakhi dan al-Qaduri dalam mazhab Hanafi, Al-Rafi`i dan Imam al-Nawawi dalam mazhab Syafi`i.[87]








BAB IV
METODE TARJIH AL-NAWAWI


A.    Sistematika Penulisan Kitab Minhaj al-Talibin
            Sebelum beranjak kepada pembahasan metode yang digunakan al-Nawawi dalam mentarjih pendapat-pendapat mazhab Syafi`i. Peneliti menjelaskan tentang sistematika pembahasan yang digunakan al-Nawawi dalam kitab Minhaj al-Talibin,  di mana sistematika ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami bagi mereka yang mempelajari dan meneliti kitab tersebut, sebagaimana tertera dalam muqaddimah khutbah-nya (kata pengantar). Adapun sistematika penulisannya dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Membuat Ringkasan (ikhtisar).
            Langkah pertama yang ditempuh oleh al-Nawawi adalah meringkaskan (ikhtisar) terhadap uraian-uraian dalam setiap permasalahan yang dibahas dengan tujuan mudah dihafal dan difahami. Ringkasan yang dilakukan oleh al-Nawawi adalah tidak mengurangi maksud-maksud yang tertera di dalam kitab al-Muharrar yang merupakan buah karya al-Rafi`i.[88] Di samping itu al-Nawawi memasukkan atau melakukan penambahan-penambahan dalam bentuk pemahaman ke dalam pembahasannya yang dianggap nafa-is al-mustajadat (masalah-masalah yang urgen). Penambahan ini lebih kurang ada tiga perempat dari kitab dasarnya (al-Muharrar).[89]
2. Penjelasan dan Komentar pada Sebagian Permasalahan.
            Dalam kitab al-Muharrar yang merupakan kitab dasar bahwa penjelasan dan komentar terhadap teks yang disampaikan tidak ditulis. Hal ini karena penjelasan tersebut dicantumkan dalam kitab-kitab yang besar dan luas uraiannya (al-mabsutat). Sementara dalam Minhaj al-Talibin, al-Nawawi menyebutkan berupa komentar dan penjelasannya dalam sebagian masalah.[90]
3. Penjelasan Masalah yang Berbeda dengan Al-Muharrar.
            Al-Nawawi melalui kitabnya Minhaj al-Talibin memberitahukan bahwa ada lima puluh tempat atau masalah yang berbeda dengan al-Muharrar. Di mana al-Muharrar menganggap bahwa pendapat-pendapat tersebut merupakan pendapat yang rajih atau terpilih (al-mukhtar) dalam mazhab Syafi`i. Sementara al-Nawawi mentarjihkan kebalikannya. Perbedaan tarjih antar kedua mujtahid ini dikarenakan perbedaan pandangan ijtihad dan analisa yang mereka gunakan dalam memahami ungkapan-ungkapan Imam syafi`i dan ashab-nya (sahabat-sahabat).
4. Mengubah Teks-teks yang Sulit dalam al-Muharrar.
            Dalam Minhaj al-Talibin, al-Nawawi mengemukakan bahwa mengubah lafaz-lafaz (teks) yang sulit (gharib) atau sukar difahami  (muwahhaman). yang terdapat dalam kitab al-Muharrar. Yaitu menukarkannya dengan ungkapan-ungkapam yang mudah difahami. Sehingga lafaz-lafaz itu dapat difahami maknanya dengan mudah oleh kalangan awam pada umumnya, dan kalangan penganut mazhab Syafi`i pada khususnya yaitu bagi mereka yang baru belajar (mubtadi`).
5. Istilah-istilah yang dikenal dalam Kitab Minhaj al-Talibin.
            Sistematika selanjutnya yang ditempuh dalam pembahasan ini adalah memakai istilah-istilah (kode-kode) terhadap pendapat Imam Syafi`i dan sahabat-sahabatnya. Hal ini dilakukan untuk membedakan antara pendapat keduanya. Sehingga tidak terjadi percampur-adukan antara pendapat al-Syafi`i dengan sahabat-sahabatnya. Sementara dalam al-Muharrar istilah dan sistematika seperti ini tidak dilakukan.
a. Qawlayni (Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat Al-Syafi`i).
            Pengertian Qawlayni di sini adalah Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat dari Al-Syafi`i yang diucapkan secara langsung tanpa ada intervensi pendapat para sahabat Syafi`i.  Al-Nawawi memakai istilah ini untuk perkataan atau pendapat Imam Syafi`i selaku mujtahid mutlaq. Istilah ini terbagi kepada dua macam yaitu: al-Azhar dan al-Masyhur. [91]


1). Al-Azhar
            Yang dimaksud dengan al-azhar adalah Pendapat yang kuat khilaf-nya  (lawan yang kuat) dikarenakan lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat.[92] Sementara lawannya disebut dengan  Muqabil al-azhar atau Khilaf al-azhar al-marjuh (lemah) yakni pendapat yang hampir tidak dapat dibedakan dengan pendapat al-azhar. Karena dalil-dalil dan argumentasi keduanya hampir seimbang, hanya orang berkapasitas tertentu yang mampu membedakan kedua pendapat tersebut yakni rajih (kuat) dan marjuh (lemah). Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat al-zhar adalah pendapat yang terkuat dalil-dalil dan hujjahnya (argumentasi). Sementara muqabil-nya (lawan) adalah dalil-dalil dan hujjahnya sedikit lebih rendah kuantitas atau kualitas di bawah pendapat al-azhar.
2). Al-Masyhur
            Yang dikatakan dengan al-Masyhur adalah Pendapat yang lemah khilaf-nya (lawan yang lemah) disebabkan lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang lemah (da`if mudrak).[93] Untuk membedakan pendapat al-azhar dengan al-masyhur adalah memperhatikan kepada lawan-lawannya (muqabil). Jika lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat maka dikategorikan ke dalam pendapat al-azhar dan sebaliknya jika lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang lemah (da`if) maka dinamakan pendapat al-masyhur.
b. Al-Wajhayni  (Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat Sahabat-sahabat al-Syafi`i).           
            Al-Wajhaini adalah Dua pendapat atau beberapa pendapat hasil ijtihad sahabat-sahabat al-Syafi`i yang mereka pahami dari ucapan al-Syafi`i. Istilah ini di kategorikan  ke dalam dua bagian yaitu: al-asah dan al-Sahih. [94]
1). Al-Asah
            Al-Asah adalah Pendapat sahabat-sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari ucapan sang imam serta kuat khilaf-nya  (lawan yang kuat) dikarenakan lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat. Sementara lawannya (muqabil) disebut muqabil al-Asah atau Khilaf al-Asah.[95] Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat al-asah adalah pendapat para sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari ucapan imamnya yang memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang sangat kuat. Sedangkan lawan al-asah (muqabil)-nya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat tetapi di bawah mutu al-asah
2). Al-Sahih
            Al-Sahih adalah Pendapat para sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari kaidah-kaidah sang imamnya hanya saja lemah khilaf-nya (lawan yang lemah) disebabkan lawannya memiliki hujjah dan dalil-dalil yang lemah.[96] Dalam hal ini al-Nawawi membedakan ungkapan qawlayni dengan wajhayni sebagai kehormatan dan kemuliaan bagi imam al-Syafi`i.[97]
c. Al-Tariqayni
            Al-Tariqayni atau al-Turuq adalah perbedaan pendapat (ikhtilaf) para sahabat al-Syafi`i dalam menetapkan atau menentukan al-madhhab (pendapat terkuat).[98] Sebagian para sahabat menetapkan dalam suatu kasus bahwa itu adalah pendapat al-Syafi`i atau pendapat para sahabatnya yang terdahulu (senior). Sementara para sahabatnya yang lain  memutuskan (qata`) sebagai al-madhhab adalah hanya pada salah satu keduanya yakni dalam suatu kasus adalah pendapat al-Syafi`i bukan pendapat para sahabatnya. Atau dalam suatu masalah adalah pendapat para sahabat al-Syafi`i bukan pendapat imamnya. (n al-Syafi`i. Pendapat Imam Syafi`i atau pendapat sahabat-sahabatnya. Kemudian ditetapkan sebagai pendapat terkuat (al-rajih) di sisi al-Nawawi adalah pendapat yang diberi nama (kode) dengan al-Madhhab.[99]
d. Al-Nas
            Yang dimaksud dengan al-Nas adalah Nas al-Syafi`i yang merupakan pendapat rajih (terkuat). Sementara lawannya  (muqabil) diistilahkan dengan wajhun da`if  (pendapat lemah) atau qawlun Mukharraj (pendapat yang keluar) dari kaidah-kaidah al-Syafi`i.[100] Kedua lawan ini dianggap oleh al-Nawawi sebagai pendapat lemah yang tidak boleh diamalkan.
e. Al-Jadid (Pendapat Baru Imam al-Syafi`i)
            Al-jadid adalah pendapat atau hasil ijtihad Imam al-Syafi`i yang difatwakannya  di Mesir. Sementara lawannya (muqabil) disebut dengan al-qadim, yaitu Pendapat atau hasil ijtihad Imam al-Syafi`i yang dicetuskannya di Iraq. Dalam hal ini yang rajih menurut al-Nawawi adalah pendapat Imam al-Syafi`i yang Jadid. Kecuali pada kasus-kasus tertentu, sehingga pendapat al-qadim yang rajih. Seperti kasus waktu shalat maghrib, menurut pendapat qadim waktunya yaitu mulai terbenam sampai hilang syafaq merah. Sementara pendapat al-jadid waktunya adalah  mulai terbenam matahari sampai kira-kira cukup waktu untuk berwudhu` yaitu dengan jalan menutup aurat, azan, dan qamat serta mengerjakan shalat lima rakaat (maghrib dan sunat ba`diyah) yang dikerjakan secara wajar dan tidak tergesa-gesa.[101] Di samping kasus di atas ada beberapa kasus lainnya oleh al-Nawawi mentarjih pendapat qawl al-qadim dengan jalan memenangkan pendapat al-qadim sebagaimana akan penulis rincikan kasus-kasus yang dimaksud dalam lampiran setelah Bab Empat.
f. Qila Kadha  atau Qawlun Kadha
            Bila al-Nawawi mengungkapkan qila kadha (dikatakan demikian) maka itu adalah pendapat da`if (lemah). Dan lawannya disebut dengan al-sahih atau al-asah (pendapat terkuat). Sementara itu bila al-Nawawi mengungkapkan kata fi qawlin kadha (pada pendapat demikian), maka lawannya adalah al-rajih (pendapat terkuat).
6. Masalah-masalah Urgen (nafisah) dalam Minhaj al-Talibin
            Sistematika selanjutnya yang ditempuh al-Nawawi dalam penulisan kitab Minhaj al-Talibin adalah mencantumkan masalah-masalah yang halus atau urgen (nafisah) ke dalam kitabnya. Di mana menurut al-Nawawi pencantuman itu harus dilakukan, karena bila tidak dilakukan akan menimbulkan kekurangan dalam susunan redaksi dan pemahamannya.[102]           
7. Ungkapan Qultu dan Wallahu `A`lam    
Al-Nawawi dalam kitab Minhaj-nya terkadang ketika membahas dan menuntaskan sesuatu masalah mengawali dengan ungkapan Qultu (saya katakan) dan mengakhirinya dengan ungkapan Wallahu `A`lam. Sementara dalam al-Muharrar, al-Rafi`i tidak menggunakan ungkapan tersebut. Hal dilakukan untuk membedakan pembahasan antara kitab keduanya.[103]
Memperhatikan beberapa sistematika yang disampaikan oleh al-Nawawi sebagaimana tersebut di atas, dapat penulis simpulkan ada beberapa prinsip-prinsip pokok yang digunakannya dalam mentarjihkan pendapat-pendapat Imam Syafi`i dan ashab (sahabat-sahabat) nya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Menggunakan  Istilah-istilah tertentu dalam mengungkapkan Pendapat-pendapat Imam Mazhabnya.
  2. Untuk menetapkan rajih tidaknya sesuatu pendapat, al-Nawawi memperhatikan kuatnya `illat yang dikemukakan oleh masing-masing pendapat.
  3. Untuk mengukur rajih tidak nya sesuatu pendapat harus mempertimbangkan sisi lain yaitu tujuan dan manfaat (maslahat).
B. Metode Istinbat dalam Usul Fiqih
Pengertian Metode
      Kata Metode berasal dari bahasa Yunani yang berarti cara yang teratur untuk memahami sesuatu maksud.[104] Dengan kata lain Metode adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu.[105] Bila dikaitkan dengan dunia ilmiyah, maka metode merupakan cara bagaimana memahami objek yang menjadi kajian ilmu pengetahuan. Dalam menerapkan suatu metode harus disesuaikan dan dipertimbangkan dengan lapangan studi,[106] artinya memilih metode mana yang sesuai dengan ilmu yang dibahas.
            Metode dalam kaitannya dengan Tarjih Al-Nawawi dalam Menyelesaikan Perbedaan Pendapat-pendapat Mazhab al-Syafi`i sesuai dengan pokok bahasan penulis yaitu cara bagaimana Imam al-Nawawi memperoleh atau menetapkan pendapat-pendapat yang rajih di kalangan mazhab Syafi`i dengan meneliti dalil-dalil naqli maupun aqli serta argumentasinya dari masing-masing pendapat tersebut dan memperhatikan kamaslahatan.    
            Dalam kajian ini perlu dijelaskan tentang metode istinbat atau ijtihad ushul fiqih, hal ini karena pembahasan tersebut berhubungan dengan metode yang digunakan al-Nawawi dalam mentarjih pendapat-pendapat al-Syafi`i. Sehingga diketahui metode apa yang digunannya dalam pertarjihan.
Pengertian Istinbat.                                                                                                               Secara leksikal kata istinbat berarti mendapatkan (keputusan) hukum dengan penelitian  yang sungguh-sungguh.[107] Istinbat berasal dari kata nabata yang berarti air yang keluar dari mata air. Apabila kata nabata itu dikaitkan dengan hukum, maka artinya berubah menjadi “menggali dan mengeluarkan hukum”.[108] Di bawah ini akan dipaparkan mengenai beberapa pendapat ulama tentang pengertian istinbat adalah sebagai berikut:
`Ali al- Jurjani mengemukakan,  istinbat secara etimologi adalah:
الاستنباط هو استخراج الماء من العين , من قولهم: نبط الماء اذا خرج.
Artinya: “Mengeluarkan air dari sumber mata air, dengan ungkapan: telah  terpancarlah air itu jika ia telah keluar.”[109]
Dalam kamus Munjid disebutkan, istinbat adalah:
استنبط: واستنبط الفقيه: استخراج الفقه الباطن بفهمه واجتهاده . يقال: استنبط رأيا حسنا او معنى صائبا.
Artinya: ”Istinbat ialah telah beristinbat seorang faqih, ia telah mengeluarkan suatu hukum yang tersembunyi dengan pemahaman dan dengan ijtihadnya. sebagaimana ungkapan; ia telah mengeluarkan pendapat yang bagus dan makna yang benar.”[110]
            Dari kedua definisi istinbat di atas, dapat difahami bahwa istinbat secara etimologi adalah mengeluarkan air dari sumbernya. Adapun pengertian istinbat secara terminologi adalah, sebagai berikut:
.`Ali al-Jurjani mendefinisikan istinbat, yaitu:
الاستنباط هو استخراج المعاني من النصوص بفرط الذ هن وقوة القريحة. 
Artinya;” mengeluarkan makna-makna yang terkandung dalam al-Qur`an dan Hadith dengan menggunakan kemampuan intelektual disertai kekuatan akal budi.”[111]
Imam al-Ghazali mendefinisikan istinbat sebagai berikut:
الاستنباط هو سعي المجتهدين في اقتياس الاحكام من اصولها واجتنائها من اغصانها.
Artinya: ”Upaya para mujtahid dalam menggali hukum dari akar (asal) dan memetik hukum dari dahan-dahannya.”[112]
            Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa istinbat secara terminologi adalah pengerahan segenap kemampuan ruhaniyyah yang berwujud kecerdasan tinggi terhadap dalil-dalil untuk memperoleh kepastian hukum.
Pengertian Ijtihad.
            Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al- juhd dengan wazannya ifti`al (افتعال ), yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan al-taqat (kesanggupan dan kemampuan). Kata al-jahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.[113] Ijtihad ketika itlaq (tidak diberi qayyid) bermakna yaitu berijtihad pada cabang-cabangnya. Adapun pengertian  ijtihad secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, yaitu sebagai berikut:
Al-Amidi mendefinisikan ijtihad, yaitu:
الاجتهادهواستفراغ الوسع فى طلب الظن بشيء من الاحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد عليه.
Artinya: "Mengerahkan segenap kemampuan untuk memperoleh suatu hukum syari`at   dari dalil-dalil zanni, sampai orang yang mengusahakan itu merasa tidak mempunyai kemampuan dalam meneruskan usahanya.”[114]
            Imam Taj al-Din Abd al-Wahhab al-Subki  mengemukakan  pengertian ijtihad, yaitu:
الاجتهادهواستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم.
Artinya: "Seorang faqih atau mujtahid yang mengerahkan segenap kemampuannya untuk memperoleh hukum-hukum zanni."[115]
            Imam al-Syawkani mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
الاجتهادهوبذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريقة الاستنباط.
Artinya: “Pengerahan segala usaha dalam mencapai hukum syara` yang `amali (praktis) dengan metode istinbat.”[116]
            Dari beberapa definisi ijtihad di atas dapat difahami bahwa ijtihad ialah Pengerahan segenap kemampuan mujtahid atau faqih untuk menggali hukum-hukum syara` dari dalil-dalil zanni.
            Pengertian istinbat dan ijtihad yang telah dikemukakan oleh para ulama dapat dipahami bahwa antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dan tidak dapat dipisahkan, karena seorang mujtahid yang mengerahkan segenap kemampuan yang ada (ijtihad) tidak akan mendapatkan hasil tanpa melalui tahapan-tahapan metode istinbat
            Ulama usul fiqih mengemukakan[117] bahwa kata ijtihad identik dengan istinbat, hal ini karena di mana terdapat ijtihad di dalamnya ada istinbat atau sebaliknya. Dengan demikian arti istinbat dan ijtihad ialah menggali hukum-hukum syara` yang belum ditegaskan secara langsung oleh nas al-Qur`an dan Hadith. Bila dianalisis dapat disimpulkan bahwa istinbat dan ijtihad mempunyai persamaan dalam pengertian [118]  yaitu menggali hukum-hukum dari dalil-dalil syara` untuk mendapatkan ketentuan hukum.
Metode-metode istinbat dalam ushul fiqih umumnya dikelompokkan pembahasannya bersama–sama dengan al-Qur`an dan al-Sunnah yang dinamakan dengan al-adillat  al-syar`iyyat (dalil-dalil syara`). Pengelompokan ini sebenarnya kurang tepat, karena ada perbedaan antara al-Qur`an dan al-Sunnah di satu pihak dengan metode–metode istinbat hukum di pihak lain. Al-Qur`an dan al-Sunnah merupakan sumber hukum, sedangkan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain merupakan metode yang digunakan para mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum guna  mendapatkan hukum yang sesuai dengan maksud dan kehendak dari syara`
Secara garis besar, metode istinbat yang telah berkembang dalam khazanah pemikiran hukum Islam dapat dikategorikan dalam tiga metode istinbat, yaitu metode bayani,Ta`lili, dan Istislahi.[119]
a.  Metode Bayani (Penalaran Kebahasaan).
            Metode bayani adalah pola penalaran yang tertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan atau pada makna-makna lafaz.[120] Biasanya pembahasan ini diletakkan dalam pembahasan al-qawa``id al-usuliyyat al-lughawiyyat.[121] Ulama ushul membagi penalaran bayani kepada empat pembahasan,[122]  yaitu:
Pertama, pembahasan lafaz dari segi cakupan maknanya (isi). Pembahasan ini terdiri   dari: `am, khas, mutlaq, muqayyad, dan musytarak.
Kedua,  pembahasan lafaz dari segi haqiqi atau tidaknya arti yang dimaksud, pembahasan ini mencakup: haqiqat, majaz, sarih, dan kinayah.
Ketiga, Pembahasan lafaz dari segi kejelasan dan tidak kejelasan artinya, terdiri dari wadih, dan mubham.
Keempat, Pembahasan lafaz dari segi cara memahaminya ketika terletak dalam teks, pembahasan ini terdiri dari: dalalah `ibarah, dalalah isyarah, dalalah nas, dan dalalah iqtida`.
a. Pembahasan Lafaz dari Segi Cakupan Maknanya (isi)
Lafaz `am
Lafaz `am adalah suatu lafaz yang menunjukan kepada suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak dibatasi oleh jumlah tertentu.[123] Termasuk dalam lafaz `am adalah lafaz "كل (setiap), جميع“ (semua), isim istifham (kata tanya) seperti lafaz  “   ما " (apa), "من“ (siapa), "اين “ (dimana), isim mausul (kata ganti penghubung), isim mufrad yang dita`rifkan dengan al-jinsiyyat, dan kata jama` yang dita`rifkan dengan al atau idafah.
Ulama usul sepakat bahwa `am mencakup atas semua satuan-satuannya, tanpa adanya batasan dan pengecualian. Namun mereka berbeda pendapat tentang dalalah `am atas satuan-satuannya, apakah zanni atau qat`i. Jumhur ulama berpendapat bahwa dalalah `am atas kemencakupan kepada satuan-satuannya adalah zanni (tidak memerlukan dalil-dalil lain sebagai pembatasnya). Sementara kalangan mazhab Hanafi mengemukakan[124] bahwa dalalah `am tersebut adalah qat`i kecuali jika ada pentakhsisnya, dan pentakhsis itu lebih kuat dalilnya.
Lafaz Khas.               
Lafaz khas adalah[125] lafaz yang menunjukan kepada suatu satuan, individu tertentu, atau sesuatu yang terbatas dan diketahui jumlahnya. Seperti nama           orang ;(Muhammad, Ismail, Ibrahim, dan sebagainya), nama benda atau species tertentu ; (kambing, lembu, dan sebagainya), kata bilangan; (dua, tiga, tujuh seratus, dan seterusnya), kata perintah (al-amr), dan kata larangan (al-nahy). Menurut ulama usul  lafaz khas dari sudut dalalah kepada satuan-satuannya menunjukan qat`i terhadap makna khusus yang dikehendakinya. Hukum yang dikandungnya pun bersifat qat`i selama tidak ada qarinat (indikasi) yang memalingkan maknanya kepada makna yang lain.
Mutlaq dan Muqayyad.
            Lafaz mutlaq adalah lafaz khas yang tidak diberi qayyid (pembatas) yang    mempersempit  keluasan artinya.[126] Sebagai contoh, firman Allah SWT QS. Al-Mujadalah/58: 3
...فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا... (المجادلة:                   )
Artinya: “...Maka merdekakanlah seorang hamba sahaya, sebelum keduanya (suami isteri) bercampur…”
Lafaz  “ رقبة“ dalam ayat di atas adalah lafaz  khas mutlaq yang mencakup segala jenis hamba sahaya, sehingga memberi pengertian boleh memerdekakan hamba sahaya mukmin dan yang kafir.
            Sedangkan lafaz muqayyad adalah[127] lafaz khas yang telah diberi qayyid (pembatas) dengan suatu sifat yang mempersempit keluasan artinya. Sehingga cakupannya hanya terbatas apa yang disebutkan oleh lafaz tersebut. Misalnya kata رقبة“ disifati dengan kata “مؤ منة“, sebagaimana terdapat dalam firman Allah, QS. Al-Nisa`/4: 92.
...ومن قتل مؤمناخطئا فتحرير رقبة مؤمنة... (النساء:            )
Artinya: “…Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya perempuan mukmin…”
Lafaz  raqabah dalam ayat tersebut adalah lafaz khas yang diberi qayyid dengan sifat tertentu, yaitu lafaz  mukminah sehingga memberikan pengertian harus memerdekakan seorang hamba sahaya perempuan yang beriman  tidak memadai yang selainnya.
Amr dan Nahy                                                                                                                       Amr atau kalimat perintah[128] adalah lafaz yang berisi perintah untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Sighat amr yang digunakan dalam nas, antara lain: fi`il amr, fi`il mudari` yang didahului oleh lam al-amr, jumlah khabariyyah (kalimat berita) yang mengandung perintah, lafaz yang memberi pengertian kepada wajib, seperti lafaz  kutiba, furida, dan sebagainya. Jumhur ulama berpendapat bahwa semua lafad amr mengandung pengertian wajib, kecuali ada indikasi (qarinah)  yang memalingkan maknanya kepada makna yang lain. Seperti, sunat, mubah dan sebagainya.
            Adapun nahy[129] adalah suatu lafaz yang mengandung tuntutan (perintah) untuk meninggalkan sesuatu dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Sighat nahy yang digunakan dalam nas antara lain,[130] fi`il al-mudari` yang didahului oleh la nahiyah, perintah untuk meninggalkan, kalimat berita yang mengandung pengertian larangan, seperti lafaz hurrima, la yahillu atau kata lain yang sejenis.
            Sebagaimana halnya amr yang memberikan pengertian wajib, maka nahy menunjukan kepada haram, tidak dibedakan antara nahy yang menyangkut dengan bidang `ibadah dan bidang mu`amalah, keduanya menghendaki haram dan batal perbuatan yang  dilarang sesuai dengan maksud syara` kecuali ada qarinah yang menghendaki makna lain.[131]
Musytarak (al-Mustarak)
            Musytarak adalah lafaz yang mempunyai arti lebih dari satu, sedang antara satu dengan lainnya mempunyai pengertian yang berbeda atau berlawanan.[132] Misalnya lafaz  quru` mempunyai arti suci  dan haid, sebagimana firman Allah SWT, QS.Al-Baqarah/ 2:228
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء...(البقرة:          )                                                              
Artinya: "Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`…"
            Abu Hanifah, al-Thauri, al-Auza`i, Ibnu Abi Laila, dan juga di antara sahabat, seperti `Umar Ibnu al-Khattab, `Ali, Ibnu Mas`ud, dan lain-lain mengartikan “quru`” dengan makna haid. Al-Syafi`i, Malik, jumhur ulama Madinah, Abu Thur, dan  di antara sahabat, seperti Ibnu `Umar, Zaid bin Thabit, dan `Aisyah memilih makna quru`dengan suci.[133]

b. Pembahasan Lafaz dari Segi Hakiki atau Tidaknya Arti yang Dimaksud.
Pembahasan lafaz ini dikategorikan kepada haqiqat, majaz, sarih dan kinayah (sindiran).
Haqiqat dan Majaz
Haqiqat
Haqiqat adalah suatu lafaz yang digunakan menurut maksud yang dikandungnya, baik haqiqat secara lughawi, `urf, syar`i. Haqiqat lughawi adalah lafaz yang digunakan menurut makna bahasa, seperti lafaz insan (manusia)  yang arti hakikinya menurut bahasa adalah hayawan al-natiq (binatang yang berakal). Sementara haqiqat  `uruf terbagi kepada dua macam, yaitu `urf  `am dan `urf khas.[134]
            Adapun haqiqat `urf `am adalah lafaz yang digunakan untuk makna yang sesuai dengan `urf `umum, seperti lafaz al-dabbah untuk binatang yang berkaki empat. Haqiqat `urf khusus yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang sesuai dengan `urf khusus. Seperti, lafaz rafa`, nasab, dan jar yang dipakai oleh para ahli nahu (grametika) dalam perihal perubahan bunyi akhir kata.
            Haqiqat syar`i adalah lafaz yang digunakan menurut makna syara`. Contoh lafaz “salat” yang arti hakikinya menurut syar`i adalah segala ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi  dengan salam berdasarkan syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan.
Majaz
            Majaz adalah lafaz yang digunakan bukan menurut makna hakikinya. Sebagaimana lafaz hakikat, lafaz majaz terbagi empat,[135] yaitu: majaz lughawi, majaz `urf; `urf `am dan `urf khas, majaz syar`i. Adapun majaz lughawi, contohnya lafaz asad untuk julukan bagi pemberani. Majaz `urf `am,seperti lafaz  dabbah untuk manusia bodoh, majaz `urf khas, contohnya: lafaz al-hal untuk menunjukan manusia berada dalam kebaikan atau kejahatan. Majaz syar`i, seperti lafaz salat untuk makna do`a.
            Menurut ulama usul bahwa semua lafaz dikembalikan menurut arti hakikinya, selama tidak ada indikasi yang menunjukan kepada makna majaz. Golongan Syafi`iyyah berpendapat bahwa lafaz majaz semuanya dipandang khas, tidak ada yang `am, karena pengalihan suatu lafaz kepada majaz itu dalam keadaan terpaksa (daruriyyah) maka harus pada cakupan yang minimal.[136]
Sarih dan Kinayah
            Selanjutnya lafaz haqiqat dan majaz ini terbagi kepada sarih dan kinayah. Sarih adalah lafaz yang sudah jelas artinya, lantaran sudah jelas pemakaiannya baik secara hakiki maupun majazi. Contoh lafaz sarih hakiki “perkataan menjual dan membeli”, perkataan menjual berarti melepaskan barang dari penjual, dan perkataan membeli berarti memilikkan barang kepada pembeli. Contoh lafaz sarih majazi, yaitu ucapan seseorang “saya memasak nasi” maksud  perkataannya adalah "saya memasak beras", yang dalam istilah ilmu Bayan disebut i`tibar maya`ul, tergolong ke dalam majaz mursal (beras akan menjadi nasi bila dimasak).[137]
            Kinayah adalah lafaz yang berupa sindiran dan terselubung artinya, sangat tergantung dengan pembicara (mutakallim). Sebagaimana lafaz sarih, lafaz kinayah pun dibagi kepada haqiqi dan majazi. Kinayah haqiqi, seperti ucapan seseorang          "temanmu menemui saya”, kata “teman” belum jelas di sisi pendengar (sami`), namun yang dimaksud pembicara merupakan makna hakiki. Contoh kinayah majazi adalah ucapan “beriddahlah kamu”, adalah kalimat sindiran sang suami kepada isterinya untuk perceraian.
c. Pembahasan Lafaz dari Segi Kejelasan dan Ketidakjelasan Artinya.  
Wadih  al-Dilalah dan Khafi al-Dilalah
Wadih  al-Dilalah
            Wadih  al-dilalah ialah lafaz yang langsung dipahami maknanya tanpa menunggu dalil lain sebagai penjelasannya. Lafaz ini dibagi kepada empat macam, yaitu: zahir, nas, mufassar, dan muhkam.
Lafaz Zahir                                                                                                                             Lafaz zahir adalah suatu lafaz yang jelas artinya, tetapi bukan arti itu yang dimaksud dalam konteks (siyaq al-kalam), contoh untuk ini, yaitu firman Allah QS.Al-Baqarah/ 2:275.
...واحل الله البيع وحرم الربا... (البقرة:        )
Arti lahirnya ialah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Adapun arti menurut konteksnya adalah perbedaan jual beli dengan riba, hal ini untuk menolak pemahaman orang musyrik bahwa jual beli sama dengan riba. Lafaz zahir wajib diamalkan selama tidak ada dalil yang menafsirkan, mentakwilkan dan menasakhkannya.[138]
Lafaz Nas,                                                                                                                              Lafaz nas yaitu lafaz yang jelas artinya dan memang itulah arti yang dimaksud oleh konteksnya (siyaq al-kalam). Sebagai contoh firman Allah QS.Al-Nisa`/4:3
...فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنىوثلاث ورباع... (النساء:           )
Artinya: ”…Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu cintai, dua, tiga dan empat…”
Makna nas dalam ayat di atas adalah pembatasan jumlah wanita yang boleh dikawini (poligami)
Lafaz Mufassar.                                                                                                                     Lafaz mufassar yaitu lafaz yang sangat jelas artinya dan sesuai dengan maksud konteks. Tetapi tidak dapat ditakwilkan atau ditafsirkan selain oleh syari` (pembuat hukum) sendiri.[139] Seperti firman Allah tentang ayat had qazaf, QS.Al-Nur/ 24:4
...فاجلدوهم ثمانين جلدة... (النور:           )
Artinya: "…maka deralah mereka sebanyak delapan puluh kali…"
Lafaz tsamanina (delapan puluh) adalah lafaz mufassar karena jumlahnya pasti, tidak boleh dikurangi apalagi ditambah.[140]
Lafaz Muhkam.                                                                                                                      Lafaz muhkam yaitu lafaz yang jelas artinya sesuai dengan teks dan konteksnya. Lafaz ini tidak dapat ditakwilkan, ditafsirkan, atau dinasakhkan. Ia harus berlaku untuk selama-selamanya, hal ini karena mencakup persoalan-persoalan yang asasi dan prinsip dalam agama, seperti dasar-dasar keimanan, keutamaan akhlak, persamaan hak dan kewajiban.[141]
Khafi al-Dalalah.
Khafi al-dalalah[142] adalah lafaz yang tersembunyi maknanya sehingga perlu penjelasan . Lafaz ini dibagi kepada empat tingkatan yang berbeda, yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabbih.
Khafi. Lafaz khafi yaitu, lafaz yang mempunyai makna yang jelas namun mengalami kekaburan dalam penerapan maknanya. Sebagai contoh lafaz sariq dalam firman Allah QS. Al-A`raf/5:38
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما... ( الاعراف:             )

Artinya: "Dan pencuri laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan keduanya."
Makna lafad sariq (pencuri) sebenarnya cukup jelas, yaitu orang yang mengambil harta orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanannya secara wajar. Akan tetapi dalam menerapkan maknanya terhadap satuan-satuannya terjadi kekaburan. Misalnya lafaz nasyal (pencopet) dan lafaz nubasy (pencuri kain kafan atau barang berharga lainnya dalam kubur), demikian pula pelaku korupsi. Untuk menggolongkan perbuatan-perbuatan tersebut ke dalam lafaz sariq memerlukan penelitian.
Musykil. Lafaz musykil yaitu lafaz yang tidak jelas artinya karena lafaz itu sendiri tidak akan diketahui maknanya sebelum diadakan penelitian atau mencari qarinah yang menjelaskan maksudnya.[143] Terkadang kemusykilan itu terjadi dalam nas yang terdapat lafaz musytarak, seperti lafaz quru` dalam firman Allah yang telah tersebut sebelum  ini.
Mujmal.  Lafaz  mujmal adalah lafaz  yang sulit diketahui artinya kecuali adanya penjelasan dari syara`. Wahbah Zuhaili menyebutkan, bahwa kemujmalan sebuah lafaz  disebabkan, yaitu: musytarak tanpa qarinah, penggunaan bahasa yang jarang sekali pemakaiannya yaitu lafaz gharib (lafaz yang jarang sekali pemakaiannya) menurut istilah yang diberikan oleh Jalal al-Din al-Mahalli,[144] perubahan makna lughawi menjadi makna istilahi.[145] Sebagai contoh lafaz  al-qari`ah dalam firman Allah, QS. Al-Qari`ah/101:1-2.
ألقارعة .  مالقارعة... (القارعة:            )
Artinya: "Hari Kiamat, apakah hari kiamat itu…?
lafaz  al-qari`ah menurut bahasa berarti pengetuk, tetapi oleh syara` diartikan dengan hari kiamat.[146]
Al-Mutasyabbih. Lafaz  mutasyabih adalah suatu lafaz yang maknanya tidak jelas dan tidak ada penjelasan dari syara`. Lafaz  ini memiliki tingkat kesukaran yang paling tinggi.[147] Menurut penelitian ulama usul, lafaz mutasyabih tidak terdapat dalam ayat-ayat dan hadith hukum, tetapi hanya semata-mata berkaitan dengan akidah.[148]
d. Pembahasan Lafaz dari Segi Cara Memahaminya Ketika Terletak dalam Teks.
            Pembahasan lafaz ini terbagi menjadi empat cara, yaitu: dalalah al-`ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-dalalah, dan dalalah al-iqtida.
Dalalah al-`Ibarah.
Dalalah al-`ibarah disebut juga `ibarah nas adalah petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersurat dalam nas. Dengan dalalah ini penunjukan lafaz kepada makna akan dapat dipahami sesuai dengan konteks.[149] Seperti firman Allah, QS. Al-Baqarah/ 2: 275, yaitu: "Penghalalan jual beli dan pengharaman riba." Dalalah `ibarah dalam ayat tersebut adalah: jual beli tidak sama dengan riba, yakni hukum jual beli adalah mubah, dan hukum riba adalah haram.
Dalalah al-Isyarah.
Dalalah isyarah disebut juga isyarah nas ialah penunjukan suatu lafaz kepada makna yang tersirat, dan tidak bisa dipisahkan dari makna yang dimaksud dalam teks. Contoh firman Allah, QS. Al-Baqarah/2: 187
احل لكم ليلة الصيام الرفث الي نساءكم ... (البقرة:          )
Artinya: "…Dihalalkan bagimu para suami mencampuri dengan isteri-isterimu pada malam Ramadhan..."
Dalalah isyarah dalam ayat ini adalah ; sahnya puasa seseorang yang berjunub, karena kebolehan bersetubuh sepanjang malam sampai terbit fajar dalam bulan ramadan, sehingga mandi junub bisa dilakukan setelah terbit fajar.[150]
Dalalah al-Dalalah
Dalalah al-dalalah atau disebut juga dalalah nas ialah penunjukan suatu lafaz bahwa hukum yang diambil dari nas (mantuq) berlaku pula bagi perbuatan yang tidak tertera dalam nas (mafhum muwafaqah),[151] karena ada persamaan `illat hukum bagi keduanya. Misalnya firman Allah, QS. Al-Isra`/17: 23
...فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما...( الاسراء:           )
Artinya:"…maka jangan sekali-kali kamu mengatakan " ah" dan membentak keduanya..."
Dalalah nas dalam ayat di atas adalah larangan memukul, mencaci, dan sebagainya kepada kedua orang tua, karena diduga perbuatan ini lebih besar menyakiti dari sekedar ucapan  “ah".
Dalalah al-Iqtida`.
Dalalah al-iqtida ` atau dinamakan dengan iqtida ` al-nas yaitu penambahan suatu lafaz dalam kalimat agar mendapatkan makna lebih sempurna.[152] Contoh firman Allah, QS. Al-Nisa`/4: 23
حرمت عليكم امهاتكم وبناتكم... (النساء:            )
Artinya: "…Diharamkan bagimu mengawini ibu-ibu dan anak-anak perempuanmu…"
Dalam ayat tersebut dapat difahami maknanya dengan sempurna manakala ditambah lafad nikah atau zawaj, dengan demikian bermakna: "Diharamkan menikahi ibu-ibu kamu…”
2.  Metode Ta`lili (Penalaran Qiyasi )
            Metode ta`lili adalah pola penalaran yang tertumpu pada `illat (rasio logis).[153] Pola penalaran ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa segala ketentuan yang diturunkan Allah guna mengatur perilaku manusia mempunyai alasan logis (`illat) atau hikmah yang ingin dicapai.[154] Mengenai `illat dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: `illat tasyri`i, `illat qiyasi, dan `illat istihsani.[155]
            Penggunaan `illat sebagai dasar metode ijtihad diterima oleh semua fuqaha,[156] kecuali kalangan mazhab Zahiriyyah dalam hal ini Ibnu Hazm, menurutnya mencari `illat yang tidak disebutkan secara tegas di dalam nas al-Qur`an maupun Hadith serta mengistinbatkan hukum berdasarkan `illat adalah mengada-ada dan batal.
            Dalam hal cara menemukan `illat, para ulama usul mengemukakan beberapa cara yang pada prinsipnya mengacu kepada dua cara, yaitu melalui nas al-Qur`an dan Hadith (`illat mansusah) dan melalui penalaran logis (`illat ghair mansusah).[157]
            Penemuan `illat melalui nas al-`Qur`an dan Hadith yaitu dengan menggunakan lafaz-lafaz tertentu, seperti lafaz: la`alla, kay, hikmah, min ajl, li ajl, idhan, lam, ba, in, idh, `ala, fi, dan min.[158] Juga dapat diperoleh melalui isyarat (al-ima`), dan dapat ditemukan dengan ketentuan ijma`.[159] Adapun penemuan `illat melalui penalaran logis  (ghair al-mansusah) yang dalam pelaksanaannya ulama usul menyebutkan dengan beberapa istilah, yaitu al-munasabah, al-sabr wa al-taqsim,dan tahqiq al-manat.[160]
3. Metode Istislahi
            Metode istislahi adalah pola penalaran yang tertumpu pada dalil-dalil umum, karena ketiadaan dalil-dalil khusus mengenai suatu permasalahan dengan azas kemaslahatan. Penalaran ini dilakukan untuk mendukung atau menguatkan dua penalaran terdahulu yakni bayani dan ta`lili. Metode ini berusaha mendeduksi tujuan-tujuan umum syariat serta menyusun kategori guna menentukan skala prioritas. Ketentuan hukum untuk masalah baru akan dibuat berdasarkan kedudukan dalam kategori dan skala prioritas itu. Dalam hal ini ada tiga skala prioritas, yaitu: Pertama, yang penting dan harus terpenuhi untuk kelangsungan hidup manusia; contoh demi memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan (disebut daruriyyat). Kedua, yang dibutuhkan manusia untuk melindungi kebutuhan primer (disebut hajiyyat). Ketiga, yang melindungi kebutuhan komplementer (disebut tahsiniyyat).[161]
Dalam pola penalaran istislahi ada beberapa persyaratan pada aplikasi hukum yang didasarkan padanya, bukan sekedar anggapan yang bersifat setereotip. Dengan kata lain, aplikasi hukum tersebut dapat menjamin terealisasinya kemaslahatan umat. Kemaslahatan hendaknya menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak, bukan semata-mata didasarkan pada kepentingan individu atau komunitas tertentu. Hukum yang dihasilkan dari penalaran istislahi tidak berujung pada terabaikannya suatu prinsip yang ditetapkan oleh al-Qur`an maupun Hadith.[162]
C. Metode Tarjih Imam al-Nawawi
            Setelah pembahasan sistematika penulisan kitab Minhaj al-Talibin dan  uraian tentang metode istinbat dalam ushul fiqih sebagaimana tercantum dalam poin A dan B. Selanjutnya penelitian dalam skripsi ini adalah metode yang digunakan al-Nawawi dalam mentarjihkan pendapat-pendapat mazhab al-Syafi`i.
            Adapun metode-metode yang digunakannya dalam men-tarjih pendapat-pendapat tersebut adalah metode bayani (penalaran kebahasaan) atau kaidah-kaidah kebahasaan. Dalam penalaran ini al-Nawawi menitik beratkan pada makna setiap lafadh yang terdapat dalam al-Qur`an maupun Hadith. Sebagaimana terdapat pada kasus  muwalah (beriring-iring) dalam berwudhuk.
            Dalam kasus ini al-Nawawi men-tarjih pendapat al-Jadid (pendapat baru) al-Syafi`i yang menyebutkan bahwa muwalah hukumnya sunat,[163] sebagaimana terdapat dalam al-Qur`an surat al-Maidah ayat 6 dan beberapa Hadith Nabi SAW. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan dalam poin D mengenai contoh-contoh tarjih.
            Dari segi pemahaman terhadap teks al-Qur`an maupun Hadith, al-Nawawi menggunakan beberapa kaidah kebahasaan seperti dalam kasus muwalah ini.  Di mana ia beragumentasi bahwa ayat tersebut tidak menyebutkan adanya perintah muwalah secara langsung dan tegas sekalipun dengan menggunakan huruf  "waw" tidak berarti harus beriring-iring atau berturut-turut.
            Demikian juga al-Nawawi menggunakan beberapa Hadith tentang tidak wajibnya muwalah dalam wudhu`. Di mana secara teks Hadith-hadith tersebut jelas tidak menunjukkan adanya perintah tegas muwalah. Sebagaimana Hadith yang diriwayatkan oleh Jarir ibnu Hazim dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW sedang orang itu sudah berwudhu` dan tertinggal (tidak terbasuh) di belakang kakinya sebesar kuku ketika Nabi SAW melihat itu beliau tidak memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi wudhu` dari awal tetapi beliau memerintahkan untuk memperbaiki wudhuknya.[164] Ini menunjukkan bahwa muwalah dalam wudhuk bukan suatu perintah wajib melainkan sunat.
            Di samping metode bayani yang digunakan al-Nawawi dalam mentarjihkan pendapat al-Jadid al-Syafi`i ini, ia juga memakai metode ta`lili atau penalaran ta`lili. Penalaran ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa segala ketentuan yang diturunkan Allah SWT guna mengatur perilaku manusia mempunyai alasan logis atau tujuan yang ingin dicapai. Tugas mujtahid di sini adalah mencari `illat yang tersembunyi di dalam nas, sehingga dapat dikeluarkan produk hukum.
            Al-Nawawi dalam masalah ini melihat kepada `illat diperintahkan wudhu` ketika hendak mendirikan shalat oleh Allah adalah untuk bersuci sehingga dapat melakukan perbuatan atau pekerjaan yang diwajibkan oleh syari`at di mana perbuatan tersebut tidak sah tanpa bersuci. Bersuci atau berwudhu dapat terealisasi dengan melakukan pekerjaan yang telah diperintahkan oleh al-Qur`an dan Hadith untuk melakukannya yakni: berniat, membasuh muka, membasuh tangan hingga siku-siku, menyapu kepala, membasuh kaki dan tertib. Selain dari pekerjaan tersebut maka dianggap itu bukan pekerjaan pokok dalam wuduk.
            Sementara ada dalil nas yang tidak secara tegas memerintahkan untuk dikerjakan atau perbuatan Nabi SAW yang sekali-kali ditinggalkannya maka hal itu masuk ke dalam kategori sunat, seperti halnya membasuh pergelangan tangan, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung, dan muwalah.
            Alasan lain yang digunakan al-Nawawi untuk mentarjihkan pendapat salah mazhab Syafi`i adalah dengan menggunakan metode istislahi atau penalaran istislahi. Yaitu pola penalaran dengan mendeduksi tujuan-tujuan umum dari pensyari`atan wudhuk untuk ibadah atau shalat. Metode ini tidak langsung merujuk kepada al-Qur`an dan Hadith, melainkan berdasarkan pertimbangan kemasalahatan yang diambil dari prinsip-prinsip dasar kedua sumber tersebut. Tugas mujtahid pada metode ini adalah mencari prinsip-prinsip dasar dalil untuk kemudian diterapkan dalam hukum Islam agar umat Islam dapat memperoleh kemaslahatan berdasarkan hukum tersebut.
            Al-Nawawi sangat sependapat yang menyebutkan bahwa hukum-hukum yang disyari`atkan termasuk pensyari`atan wudhuk di samping sebagai ibadah mahdah atau al-amr al-ta`abudi (ibadah vertikal) juga berfungsi sebagai kemaslahatan hamba atau al-amr al-ta`aqquli (ibadah horizontal). Maslahah yang ingin dicapai dalam tasyri`i hanyalah yang bersifat umum (maslahah al-`ammah). Kemaslahatan dalam berwudhuk misalnya adalah bersih lahiriah atau bersih anggota tubuh. Untuk mewujudkan kebersihan yang dimaksud tidak mesti harus berwudhuk secara muwalah.         
D. Contoh-contoh Tarjih
1. Bersambung (Muwalah) dalam Wudhu`
            Muwalah adalah mengiringi atau berturut-turut membasuh anggota demi anggota pada saat bersuci yaitu dengan cara: sebelum kering anggota yang pertama dilanjutkan dengan anggota berikutnya, sesuai dengan kondisi udara dan badan. Demikian disebutkan al-Nawawi dalam kitab al-Kifayat.[165] Hal yang sama didefinisikan oleh Al-Sayyid Sabiq Dalam kitabnya Fiqh Sunnah, Muwalah adalah berturut-turut membasuh anggota demi anggota, jangan sampai orang yang berwudhuk itu menyela wudhuknya dengan pekerjaan lain yang menurut kebiasaan dianggap telah menyimpang darinya.[166] Lebih ringkasnya muwalah adalah berturut-turut membasuh dari satu anggota kepada anggota lainnya, sehingga tidak ada waktu untuk menyela dengan pekerjaan lain.
            Pendapat Qadim Imam al-Syafi`i menyebutkan bahwa muwalah itu hukumnya wajib.[167] Demikian pula pendapat selain mazhab Syafi`i yaitu pendapat ulama Malikiyah dan Hanabilah.[168] Pendapat Qadim mengemukakan dalil tentang kefardhuannya adalah Hadith yang diriwayatkan oleh Abu Daud bersumber dari Chalid bin Ma`dan dari sebagian isteri Nabi SAW, yaitu sebagai berikut:
عن خالد ابن معدن عن بعض ازواجه صلى الله عليه وسلم انه صلى الله عليه وسلم راى رجلا يصلى وفى ظهر قدميه لمعة قدر الدرهم لم يصب الماء فامره ان يعيد الوضوء والصلاة. (رواه ابو داود) [169]
Artinya: "Dari Khalid bin Ma`dan dari sebagian Isteri Nabi SAW, bahwa Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki salat, sedang pada belakang kakinya ada lapang sebesar dirham yang tidak kena air, maka Nabi SAW memerintahkannya kembali berwudhuk dan salat." (HR. Abu Daud).
            Sementara pendapat Jadid Imam al-Syafi`i menyebutkan bahwa muwalah hukumnya adalah sunat.  Pendapat ini mengemukan hujjahnya sebagai berikut:
a. Al-Qur`an .
            Dalam surat al-Maidah ayat 6 Allah berfirman:
يا ايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق فامسحوا برؤوسكم وارجلكم الى الكعبين... (المائدة:          )
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan salat, maka basuhlah muka dan telapak tanganmu hingga siku-siku, dan sapulah kepala dan kakimu hingga mata kaki".(QS.Al-Maidah(5):6)
            Secara lahiriyah (teks) ayat ini tidak menyebutkan adanya perintah muwalah. Di samping ayat tersebut menggunakan huruf  "waw" sebagai `ataf-nya, dan itu dimungkinkan dibasuh  dan disapu beriring-iring atau tidak beriring-iring.[170]
b. Al-Hadith.
عن ابن عمر رضى الله عنهما انه توضا فى السوق الا رجليه ثم دعى لجنازة فدخل المسجد ثم مسح على خفيه بعد ماجف وضوؤه وصلى. (رواه مسلم) [171]
Artinya: "Dari Ibnu `Umar RA, bahwasanya ia berwudhuk di pasar kecuali dua kakinya, kemudian ia diundang untuk salat jenazah maka ia masuk ke dalam mesjid membasuh sepatunya setelah kering air wudhuknya dan sembahyang ia".
            Wajah istidlal (cara memahami dan beragumentasi) hadith tersebut di atas, menurut pengarang kitab al-Syarqawi, adalah jika damir hadith di atas muraja`ah (kembali) kepada Nabi SAW, maka hal itu jelas. Tetapi jika damir-nya kembali kepada perawi hadith pertama yakni Ibnu `Umar maka hal itu tidak bisa menjadi hujjah karena perbuatan sahabat, namun dapat menjadi hujjah manakala dikerjakan perbuatan tersebut di hadapan para sahabat lainnya, serta salah seorang dari mereka tidak membantah atau mengingkari, dan ini disebut ijma` Sukuti.[172]
c. Al-Hadith.
            Hadith yang diriwayatkan oleh Jarir ibnu Hazim dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW sedang orang itu sudah berwudhu` dan tertinggal (tidak terbasuh) di belakang kakinya sebesar kuku, maka Nabi SAW bersabda kepadanya:
عن انس ابن مالك رضى الله عنه قال: (راى النبى صلى الله عليه وسلم رجلا وفى قدمه مثل الظفر لم يصبه الماء فقال:ارجع فا حسن وضوءك ( رواه احمد وابوا داود والدار قطنى ). [173]
Artinya: "Dari Anas bin Malik RA berkata: Nabi SAW melihat seorang laki-laki berwudhuk, sementara pada tumitnya ada sebesar kuku yang tidak terbasuh Nabi SAW bersabda: Kembali dan perbaikilah wudhu`mu." (HR. Ahmad, Abu Daud dan Dar al-Quthni).
            Jalan memahami dalil dengan hadith ini ialah, bahwa Nabi SAW tidak memerintahkan orang itu kecuali menyempurnakan atau memperbaiki wudhuknya. Penyempurnaan wudhuk terlaksana dengan jalan membasuh kembali anggota yang sebagiannya tertinggal yaitu kaki.
            Adapun mengenai hadith yang diajukan oleh pendapat Qadim di atas, menurut Ibnu Munzir bahwa hadith itu cacat karena Ibnu al-Walid, ia memakai `an  dan ia berkata `an Bujair, sedang ia da`if apabila memakai `an. Ibnu Qaththan dan Baihaqy berpendapat bahwa hadith tersebut Mursal, karena ada sahabat yang tidak di sebut namanya, dan mengambil hujah dengan hadith itu perlu peninjauan kembali.[174] Sementara Imam al-Nawawi menyebutkan di dalam kitab Syarh al-Muhazzab bahwa hadith Chalid bin Ma`dan sanadnya da`if. [175]
            Menindak lanjuti pendapat Qadim dan Jadid serta dalil-dalil dan argumentasi mengenai muwalah dalam berwudhu`,  Imam al-Nawawi dalam hal ini mentarjihkan pendapat Jadid. Karena menurut penelitiannya bahwa, dalil-dalil dan argumentasinya yang diajukan oleh qawl al-jadid sangat kuat. Sementara qawl al-qadim lemah, terutama mengenai hadith Chalid bin Ma`dan itu dianggap mahmul (takwil) perlu penafsiran yaitu hadith tersebut merupakan suatu teguran Nabi SAW terhadap seorang laki-laki yang tidak teliti pada saat berwudhu`.
2. Waktu Salat Maghrib
            Adapun mengenai waktu-waktu salat fardhu disebutkan dalam beberapa hadith Nabi SAW. Di antaranya adalah hadith yang diriwayatkan oleh Muslim dari `Abdullah bin `Umar, sebagai berikut:
عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: وقت الظهر اذا زالة الشمس وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضرالعصر. و وقت العصر مالم تصفر الشمس. و وقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق. و وقت صلاة العشاء الى نصف الليل الاوسط. و وقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس فاذا طلعت الشمس فامسك عن الصلاة فانها تطلع بين قرنين شيطان.           (رواه مسلم). [176]   
Artinya: "Dari Ibnu `Umar RA ia berkata: Bahwa Nabi SAW bersabda: Waktu dhuhur ialah bila matahari telah tergelincir sampai bayang-bayang seseorang itu sama panjang dengan badannya, yakni sebelum datang waktu Ashar. Dan waktu Ashar ialah sampai matahari belum lagi kuning cahayanya. Waktu shalat Maghrib  ialah selama syafaq atau awan merah belum lagi senyap. Waktu Isya` sampai tengah malam kedua, sedang waktu shalat subuh mulai terbit fajar sampai terbitnya matahari. Jika matahari telah terbit, maka berhentilah shalat, karena ia terbit di antara kedua tanduk syetan." (HR. Muslim).
               
            Dari Hadith tersebut di atas ternyatalah bahwa salat lima waktu mempunyai waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh syari`at. Ketentuan waktu ini tidak boleh diubah, karena merupakan sebagai ma`lum min al-din bi al-darurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Di samping hadith di atas, banyak hadith-hadith lain yang menjelaskan tentang ketentuan waktu-waktu salat, namun penulis hanya membatasi pada satu hadith saja.
            Hadith tersebut menjelaskan pula tentang ketentuan awal waktu dan akhir waktu bagi salat lima waktu. Tetapi mengenai salat maghrib hanya menyebutkan awal waktu yaitu terbenamnya matahari, dan waktu ini tidak terjadi khilaf (beda pendapat) antara qadim dan jadid serta pendapat-pendapat ulama lainnya di luar mazhab Syafi`i.  Mengenai hal ini Imam al-Syafi`i mempunyai dua pendapat tentang waktu salat maghrib, yaitu pendapat qadim dan pendapat jadid.          
            Pendapat qadim Imam Syafi`i menyatakan bahwa waktu salat maghrib adalah mulai terbenam matahari sampai hilang syafaq (mega) merah di langit.[177] Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsur, dan Daud al-Zahiri.[178] Adapun Pendapat jadid menyebutkan bahwa waktu salat maghrib adalah mulai terbenam matahari sampai kira-kira cukup waktu untuk berwudhu` yaitu dengan jalan menutup aurat, azan, dan qamat serta mengerjakan shalat lima rakaat (maghrib dan sunat ba`diyah) yang dikerjakan secara wajar dan tidak tergesa-gesa.[179]
            Untuk mendukung pendapatnya, qadim mengemukakan beberapa argumentasi di antaranya:
a. Hadith. Diriwayatkan oleh Ibnu `Umar.
عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:   وقت صلاة المغرب اذا غابت الشمس مالم يسقط الشفق. (رواه مسلم) [180]                     
Artinya:     "Dari Ibnu `Umar Ra, ia berkata: Bahwa nabi SAW bersabda: Waktu salat Maghrib ialah bila matahari terbenam syafaq belum lenyap." (HR. Muslim).



b. Hadith yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-`Asy`ari
عن ابى موسى الاشعرى قال: ان سائلا سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن مواقت الصلاة, فذكر الحديث, وفيه فامره فاقام المغرب حين وجبت الشمس, فلما كان اليوم الثانى قال: ثم اخر حتى كان عند سقوط الشفق ثم قال الوقت ما بين هذين.(رواه مسلم) [181]
Artinya: " Dari Abi Musa al-Asy`ari ia berkata: Bahwa seseorang menanyakan kepada Nabi SAW tentang waktu-waktu salat, maka Nabi SAW membacakan hadith (waktu-waktu shalat). Di sana juga disebutkan: " maka disuruhnya orang itu salat, lalu salat maghriblah ia ketika matahari terbenam. Dan pada hari berikutnya, katanya: Kemudian diundurkan oleh Nabi SAW sampai dekat hilangnya Syafaq serta sabdanya: " Waktunya terdapat di antara kedua waktu ini!." (HR. Muslim).

c. Hadith yang diriwayatkan oleh al-Nasa`i dari Sulaiman bin Buraidah.

عن سليمان بن بريدة عن ابيه قال: جاء رجل الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فسائله عن وقت الصلاة, فقال: ... ثم صلى المغرب قبل ان يغيب الشفق ... (رواه النسائ). [182]
Artinya: " dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata: telah datang kepada Nabi SAW menanyakan tentang waktu-waktu salat, Nabi SAW menjawab…: kemudian salat Maghrib adalah sebelum hilang syafaq." (HR. Al-Nasa`i).
            Dari ketiga hadith tersebut di atas serta beberapa hadith lainnya yang tidak penulis sebutkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa waktu salat maghrib adalah mulai terbenam matahari sampai hilangnya syafaq merah di langit.
            Sementara pendapat jadid al-Syafi`i mengemukakan argumentasinya untuk menetapkan waktu salat Maghrib yaitu Hadith mengenai Jibril ketika menjadi imam salat, sebagaimana berikut ini:
عن ابن عباس قال: انه صلى المغرب با النبى عليه الصلاة والسلام فىاليومين في وقت واحد...( رواه مسلم) [183]
Artinya: " Dari Ibnu `Abbas RA ia berkata: Bahwasanya malaikat Jibril salat Maghrib bersama Nabi SAW selama dua hari hanya satu waktu saja." (HR. Muslim)
            Dari hadith di atas dapat dipahami bahwa waktu maghrib hanya terdiri dari satu waktu saja atau waktu sempit (al-waqt al-mudayyaq). Berbeda dengan hadith yang dikemukakan oleh qawl qadim yang menyebutkan waktu maghrib sampai hilang syafaq merah atau memiliki waktu yang luas (al-waqt al-muwassa`).
            Memperhatikan argumentasi dan dalil-dalil dari masing-masing pendapat di atas, Imam al-Nawawi mentarjihkan pendapat qawl qadim,[184] dengan ungkapannya:

قلت القديم اظهر والله اعلم.[185]
Artinya: "saya katakan pendapat qadim yang lebih jelas (kuat) Wallahu `A`lam."
            Sekalipun dalam kebanyakan pendapat Syafi`i, selalu dimenangkan oleh pendapat jadid al-Syafi`i. Kecuali ada beberapa masalah yang dimenangkan pendapat qadim al-Syafi`i. termasuk salah satunya adalah masalah waktu salat maghrib.
            Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim: "Para penyelidik atau pentahqiq di kalangan sahabat-sahabat kita mentarjihkan (menguatkan) pendapat boleh menunda shalat maghrib hingga sebelum terbenam syafaq, pendapat tersebut adalah sahih dan betul tidak lainnya.  Adapun mengenai hadith Jibril AS menjadi imam shalat selama dua hari dalam waktu yang satu ketika terbenam matahari, itu menunjukkan sunat menyegerakan shalat maghrib pada awal waktunya.[186]
            Bahkan dalam kitabnya yang lain al-Nawawi mengatakan bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh qawl al-qadim adalah dalil-dalil atau hadith Sahih, dan bila ada pentakwilan atau penafsiran terhadap hadith-hadith ini, maka dianggap lemah (mencari-cari alasan). Pendapat inilah yang dipilih oleh sahabat-sahabat Syafi`iyah, seperti: Ibnu Khuzaimah, al-Khaththabi, al-Baihaqy (w. 458 H), al-Ghazaly (w. 505 H) dalam Ihya` nya, al-Baghwy (w.510 H) dalam al-Tahzib nya, dan lain-lain.[187]
            Demikian pula bahwa hadith Jibril menjadi imam asbab al-wurud-nya adalah di Makkah, sementara hadith Buraidah tentang pertanyaan seorang laki-laki kepada Nabi SAW mengenai waktu-waktu salat asbab al-wurud adalah di Madinah. Maka mendahulukan hadith Buraidah di Madinah lebih utama.[188] Karena hadith yang muncul di Madinah adalah hadith-hadith hukum, sementara hadith yang timbul di Mekkah lebih banyak tentang akidah atau iman.
3. Zakat Perdagangan (`Urudh al-Tijarah)
            Berdagang menurut pengertian sebagian ulama fiqih, adalah mencari kekayaan dengan tukarannya kekayaan. Sedangkan kekayaan dagang adalah segala yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dengan maksud untuk mencari kekayaan tersebut. Menurut sebagian lain, kekayaan dagang adalah segala yang dimaksudkan untuk diperjual belikan dengan maksud untuk mencari keuntungan.[189]
Adapun landasan kewajiban zakat perdagangan adalah, sebagai berikut:
  1. Landasan al-Qur`an. Firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah/2:267:
يا ايها الذين امنوا انفقوا من طيبات ما كسبتم ومما اخرجنا لكم من الارض...   (البقرة:          )                                  
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kamu keluarkan dari bumi untukmu…”
Imam Tabari menafsirkan ayat tersebut, yaitu pada kalimat ”ما كسبتم" dengan usaha dagang. Demikian pula pendapat Hasan dan Mujahid. Imam Zarkasyi dalam kitabnya Ahkam al-Qur`an menyebutkan bahwa maksud dengan kalimat “sebagian dari usahamu yang baik-baik” adalah hasil perdagangan.[190]
Ayat di atas secara umum memberlakukan zakat pada semua jenis kekayaan, oleh karena pengertian  ma kasabtum  menjangkau semua kekayaan tanpa membatasi atau mengecualikannya termasuk di dalamnya kekayaan hasil usaha dagang.
b. Landasan al-Sunnah.                                                                                               Sebagian besar para sahabat dan tabi`in begitupun para fuqaha setelah mereka berpendapat tentang wajibnya zakat pada harta perniagaan, karena berdasarkan hadith berikut ini, yaitu:
عن سمرة بن جند ب قال :(( اما بعد,  فان رسول الله كان يأمرنا ان نخرج الصدقة من الذي نعده للبيع. (رواه ابو داود)
Artinya: ”Dari Samurah bin Jundub, ia berkata: "…Amma ba`du, sesungguhnya Nabi SAW menyuruh kami mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kami persiapkan untuk perdagangan.(HR, Abu Daud)[191]
Persyaratan Zakat Harta Perdagangan
            Adapun mengenai Syarat-syarat wajib zakat pada harta kekayaan dagang adalah al-hawl  (setahun) dan al-nisab (ukuran atau kadar wajib zakat).[192] Semua mazhab sepakat bahwa syaratnya harus mencapai satu tahun. Untuk menghitungkannya pertama-tama harta tersebut diniatkan untuk berdagang. Apabila telah mencapai satu tahun penuh dan memperoleh keuntungan, maka wajib ia dizakati.[193]
            Perkiraan satu tahun menurut salah satu pendapat mazhab Syafi`i adalah pada akhir tahun[194] bukan dari awal, pertengahan atau awal dan akhir tahun atau dari pertengahan dan akhir tahun. Pendapat yang senada dikemukakan oleh mazhab Hanbali. Maka kalau seseorang tidak memiliki modal dan laba yang mencapai nisab pada awal tahun, juga pertengahannya, tetapi pada akhir tahun sudah mencapai nisab, maka ia wajib zakat.
            Sementara qawl (pendapat) lain dalam mazhab Syafi`i bahwa perkiraan satu tahun adalah awal dan akhir tahun bukan pertengahannya.[195] Demikian pula pendapat di kalangan mazhab Hanafi.[196] Maka jika seseorang memperoleh laba yang mencapai nisab hanya pada awal, atau akhir atau pertengahan tahun saja, maka tidak dikenai zakat. Jadi harus mencapai nisab pada awal dan akhir tahun. Dalam qawl yang lain pula dari mazhab syafi`i berpendapat bahwa perhitungan nisab harta dagang adalah pada sekalian tahun yakni awal, pertengahan dan akhir tahun.[197]
            Alasan dari pendapat yang pertama (perkiraan nisab di akhir tahun) adalah nisab erat sekali kaitannya dengan harga barang tersebut, sedangkan menilai harga barang dagang setiap waktu adalah suatu pekerjaan yang amat sulit. Oleh karena itu masa wajibnya adalah pada akhir tahun yang berlainan dengan masa wajib zakat objek-objek zakat lain karena nisabnya dihitung dari bendanya yang tidak sulit menghitungnya.[198] Jalal al-Din al-Mahalli menambahkan bahwa nisab zakat perdagangan diperkirakan pada akhir tahun, hal ini untuk mempermudah perhitungan dibandingkan bila perhitungan dilakukan pada awal tahun atau setiap waktu karena harga sering terjadi perubahan dan sangat sulit.[199] Dan akhir tahun adalah merupakan waktu wajib zakat.
            Adapun alasan pendapat yang kedua (perkiraan nisab awal dan akhir tahun) adalah sama dengan alasan pendapat yang pertama, yaitu bahwa penilaian harga barang pada setiap saat sangat sulit, karena harus diketahui berapa harga setiap barang pada setiap waktu untuk mengetahui apakah nilai harga seluruh barang sudah sampai senisab atau belum. Oleh karena sulitnya, maka perhitungannya dilakukan di awal dan di akhir tahun saja.
            Sementara alasan pendapat ketiga yakni perhitungan nisab pada setiap waktu adalah di mana kekayaan dagang adalah kekayaan yang memerlukan perhitungan nisab dan waktu. Oleh karena itu jumlah senisab penuh harus konstan pada setiap waktu, begitu juga ketentuan-ketentuan lainnya yang juga harus konstan setiap waktu tersebut. Ini adalah pendapat Tsawri, Ahmad, Ishaq, Abu `Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibnu Munzir.[200]
            Imam al-Nawawi dalam hal ini mentarjihkan pendapat pertama yaitu pendapat yang menyebutkan bahwa perkiraan zakat harta perdagangan adalah pada akhir tahun saja. Alasannya karena perhitungan akhir tahun sangat memudahkan, bila dibandingkan dengan perhitungan pada awal dan akhir tahun, apalagi bila perhitungan dilakukan setiap saat. Al-Nawawi menggunakan ungkapan terhadap pendapat rajih ini dengan al-Rajih, sementara dua pendapat yang merupakan lawan (muqabil)-nya distilahkan dengan fi qawl kaza aw aqwal (dalam suatu pendapat atau beberapa pendapat).
4. Zihar
            Zihar di ambil dari kata "al-zahr" yang bermakna punggung atau belakang. Dikhususkan dengan al-zahru (punggung) karena ia adalah tempat berkenderaan, dan isteri adalah kenderaan suami.[201] Sedangkan zhihar menurut syara` adalah perkataan seorang suami kepada isterinya: "anti `alayya ka zahri ummi" (engkau tampak olehku seperti punggung ibuku). [202] Para ulama mazhab sepakat bahwa, apabila seorang laki-laki mengatakan hal seperti itu kepada isterinya, maka laki-laki itu tidak halal lagi mencampuri isterinya sampai ia memerdekakan seorang budak.[203]Zihar ini pada zaman jahiliyah dianggap menjadi talak, kemudian diharamkan oleh Islam serta diwajibkan membayar kafarat.
            Adapun hukum zihar adalah al-Qur`an, Hadith dan Ijma` ulama. Keharaman zihar menurut al-Qur`an yaitu berdasarkan firman Allah SWT surat al-Mujadalah: 2 yaitu sebagai berikut:
الذين يظاهرون منكم من نساءهم ما هن امهاتهم ان امهاتهم الا الئ ولدن نهم وانهم ليقولون منكرا من القول وزورا... (المجادلة:   )
Artinya: "Orang-orang yang men-zihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta". (al-Mujadalah (58): 2).

            Dalam ayat ini zihar diharamkan, karena Allah menyebutkan dan menamakan pelakunya sebagai orang yang munkar dan dusta.[204] Sementara dasar hukum zihar menurut Hadith adalah hadith Khawlah Binti Malik bin Tha`labah yaitu sebagai berikut:
عن خولة بنت مالك بن ثعلبة قالت: ظاهر منى زوجى اويس بن الصامت, فجئت رسول الله صلى الله عليه وسلم اشكوا اليه,ورسول الله يجادلنى فيه ويقول: اتقى الله فانه ابن عمك, فما خرجت حتى انزل الله ( قد سمع الله قول التى تجادلك     فى زوجها ... الا ية ((المجادلة: 1). فقال: ليعتق رقبة , قالت: لا يجد, قال: فيصوم شهرين متتابعين , قالت: يا رسول الله انه شيخ كبير مابه من صيام , قال: فليطعم ستين مسكينا, قالت : ما عنده من شئ يتصدق به... الحديث. ((رواه ابو داود)
Artinya: Dari Khawlah binti Malik bin Tsa`labah ia berkata: Suamiku Uwais bin Samit men-zihar diriku, maka aku mengadu kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW mendakwa diriku sambil berkata: bertakwalah kepada Allah, karena ia (Samit) adalah anak pemanmu, lalu aku tidak keluar rumah sehingga turunlah ayat:... (al-Mujadalah:1). Nabi SAW berkata: hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya, Khawlah menjawab: ia tidak sanggup. Nabi SAW berkata: handaklah berpuasa dua bulan berturut-turut, Khawlah menjawab: ia lelaki yang sangat tua tidak sanggup untuk berpuasa, Nabi SAW berkata: hendaklah memberi makanan enam puluh orang fakir miskin, Khawlah menjawab: tidak ada sesuatu apapun yang dapat ia bersedekah... Al-hadith. (HR. Abu Daud).[205]
             
            Adapun yang menjadikan dasar hukum zihar adalah ijma` ulama di samping ayat dan hadith yang telah tersebut di atas.[206] Telah sepakat para ulama bahwa zihar diharamkan oleh Allah karena telah mengharamkan sesuatu di mana Allah SWT telah menghalalkannya. Hal ini seperti menggantikan hukum atau syari`at dari halal menjadi haram atau sebaliknya, dan itu sangat di cela dalam Islam.
            Dalam masalah zihar ini yang menjadi titik pembahasan penulis adalah mengenai ucapan-ucapan (lafaz) yang digunakan sehingga dikategorikan ke dalam makna zihar. Sebab ayat al-Qur`an hanya menyebutkan secara umum, sementara Hadith Nabi SAW menyebutkan zihar terbatas pada kata "punggung" (zahru). Para ulama sepakat bahwa seseorang yang mengatakan kepada isterinya dengan ucapan " anti `alayya ka zahri ummi" (engkau tampak olehku seperti punggung ibuku) maka itu adalah zihar.[207] Tetapi para ulama khususnya dalam mazhab (qawl) al-Syafi`i berbeda pendapat mengenai kata selain dari "punggung"  seperti badan, kaki dan tangan, apakah dianggap zihar atau bukan.
            Pendapat pertama al- Azhar al-Syafi`i menyebutkan bahwa ucapan seorang suami kepada isterinya " anti `alayya ka yadiha aw batniha aw sadriha" (engkau tampak olehku seperti tangan, atau perut, atau dada ibuku) maka itu termasuk zihar. Demikian pula ucapan "anti `alyya ka `aini ummi" (engkau tampak olehku seperti mata ibuku) dianggap zihar bila diniatkan zihar. Tetapi bila diniatkan sebagai kemuliaan maka tidak termasuk zihar.[208] Sementara pendapat kedua (al-thany) al-Syafi`i mengenai ucapan tersebut itu tidak dianggap zihar, karena semua anggota tubuh tersebut bukan makna zihar yang dimaksudkan oleh para ahli hukum masa jahiliyyah yakni talak. Maka dibatalkan oleh Allah SWT hukumnya tidak surahnya (zihar), sebagaimana firman Allah tersebut di atas.[209]
            Perbedaan pendapat tersebut karena perbedaan makna zihar yang terdapat dalam ayat al-Qur`an maupun Hadith Nabi SAW. Dimana satu pendapat melihat secara tekstual nas atau makna lahiriah, sehingga cakupan makna zihar hanya terbatas pada lafaz yang terdapat dalam nas yaitu makna khas (khusus) yakni "punggung". Sementara pendapat lain makna zihar adalah mencakup seumpama badan, tangan, perut, dada dan lain-lain. Sehingga apapun yang terucap dari suami kepada isterinya seperti ucapan tersebut di atas dikategorikan ke dalam makna zihar.[210]
            Dalam pembahasan ucapan zihar, al-Nawawi menggunakan beberapa istilah untuk pendapat rajih (kuat) dalam mazhab al-Syafi`i, seperti al-azhar dan lawannya, al-asah beserta lawannya. Mengenai masalah zihar, al-Nawawi mentarjihkan pendapat mazhab al-Syafi`i yang menyebutkan bahwa: seumpama tubuh, tangan, perut, dada dan sebagainya adalah zihar.                                                                          Menurut analisa penulis al-Nawawi dalam mentarjihkan pendapatnya mengenai zihar ini ia telah menggunakan metode bayani untuk melihat makna zihar yaitu bahwa cakupan makna zihar tidak hanya terbatas pada pengertian lughawiyah (makna majaz) yaitu pungggung, tetapi nencakup seluruh anggota badan isteri  sebagaimana pembahasan di atas.
            Di samping metode bayani, al-Nawawi menggunakan metode ta`lili yaitu metode `illat. Adapun `illat yang digunakan al-Nawawi untuk keharaman zihar adalah menyerupakan isteri dengan lainnya. Hal ini mencakup penyerupaan isteri dengan ibu kandung suami atau orang yang haram dinikahi. Dan mencakup pula penyerupaan punggung isteri atau anggota tubuh lainnya.
            Adapun metode istislahi yang digunakan al-Nawawi dalam kasus ini adalah untuk menghindari para suami agar tidak terjebak dalam ruang lingkup perkara yang telah diharamkan seperti zihar ini. Memang zihar pada masa jahiliyah dilakukan oleh suami untuk menceraikan isterinya (talaq) atau rasa tidak suka kepada isteri. Dalam konteks sekarang ini, zihar banyak dilakukan oleh suami kepada isterinya sebagai rasa sayang dan cinta kepada isteri, sehingga menyerupai isterinya dengan ibu kandung atau orang yang haram dinikahi. Walaupun dalam konteks yang berbeda namun untuk menghindari dari hal syubhat, para ulama tradisional (klasik) tetap memberlakukan keharaman zihar ini. Apakah para suami mengucapkan lafaz zihar dalam konteks mencintai isterinya atau tidak suka kepada isterinya.
            Dari beberapa contoh tarjih Imam al-Nawawi di atas dapat dipahami bahwa ia telah menggunakan beberapa metode dalam pen-tarjih-annya. Yaitu metode bayani (metode kebahasaan), metode ta`lili (metode `illat atau metode qiyasi), dan metode istislahi (kemaslahatan). Melalui metode bayani, al-Nawawi melihat makna-makna nas al-Qur`an atau Hadith yang bersifat umum atau lainnya sehingga perlu dilakukan pentakwilan atau tidak. Demikian pula al-Nawawi menggunakan metode ta`lili, yakni dengan memperhatikan `illat-`illat yang digunakan oleh masing-masing pendapat. Di sini al-Nawawi memilih dan memilah mana `illat yang terkuat untuk dijadikan pendapat yang rajih dalam mazhab al-Syafi`i. Di samping itu al-Nawawi menggunakan metode istislahi yaitu memperhatikan kemaslahat umum (maslahah al`ammah) dengan jalan memilih pendapat yang sesuai dan mendekati dengan kepentingan umum.




Lampiran    :  Contoh-contoh kasus yang di sebutkan al-Nawawi untuk Memenangkan (rajih)  Pendapat qawl al-Qadim terhadap qawl al-jadid sebagaimana yang dikutip dari kitab Minhaj al-Talibin

A.        Bidang Fiqh Ibadah

1.      Air musta`mal pada taharah fardu
2.                            Kesucian air mengalir yang terkena najis
3.   Batal wudhu` dengan sebab menyentuh halqah dubur
4.   Batal wudhu` dengan sebab menyentuh kemaluan binatang
5.   Muwalat dalam wudhu`
6.   Muwalat pada tayammum
7.   Kewajiban mengqada shalat yang dilakukan karena menghormati waktu
8.   Kesunnahan azan bagi yang shalat sendirian
9.   Kesunnahan azan bagi yang mengqadha shalatnya
10. Memulai kembali shalat yang batal karena berhadats tanpa sengaja
11. Kewajiban mengulangi shalat yang dikerjakan dalam kondisi bernajis dan diketahuinya  setelah selesai shalat
12. Batas akhir waktu shalat zuhur
13. Letak sujud dalam shalat
14  jumlah tempat sujud tilawah dalam shalat
15  Status shalat fardhu yang diulangi secara berjamaah
16  Permasalahan sah shalat orang qari yang mengikut[ orangb ummi
17  Melakukan sujud sahwi setelah salam
18. Yang diutamakan menjadi imam shalat antara orang yang telah lama memeluk islam dengan orang yang mulia silsilah keturunannya
19  Mendahului imam pada tempat berdiri dalam shalat
20  Permasalahan shalat jama' ta'khir karena hujan
21  Hukum bepergian pada hari jum'at sebelum zawal matahari
22  Hukum berbicara saat khatib membaca khutbah jum'at
23  Yang lebih afdhal diantara mandi sunat
24  Kebolehan membaca kembali takbir dalam shslat hari raya sebelum ruku' jika ditinggalkan secara lupa
25  Batas berakhirnya waktu shalat gerhana
26  Permasalahan memutar rida' bagi khatib dalam khutbah shalat istisqa'
27  Hukum mengambil bulu dan kuku mayat yang meninggal dalam ihram
28  Yang paling berhak mengimami shalat jenazah diantara wali 'am dan wali khas bagi mayat
29  Ukuran hewan yang dikeluarkan sebagai zakat dari hewan-hewan kecil yang wajib dizakati
30  Jenis buah-buhan dan tumbuh-tumbuhan yang wajib dizakati
31  Menggabungkan sebahagian zakat benda hasil tambang kepada sebahagian yang lain
32  Kewajiban diantara zakat benda ('ain) dan perniagaan(tijarah) pada hewan yang menjadi barang dagangan.
33  Kewajiban mengeluarkan zakat benda dan naqd (emas dan perak) yang dipiutangkan kepada orang lain.
34  Kewajiban mengqadha puasa ramadhan yang dilakukan diluar bulan ramadhan dan diketahui setelah bulan ramadhan berakhir.
35  Hukum berpuasa pada hari tasyrik.
36  Menggantikan puasa atas nama orang meninggal yang tiada halangan untuk mengqadhakannya.
37  Hukum i'tiqaf bagi perempuan di mesjid dalam rumahnya.
38  Hukum membaca talbiah pada thawaf qudum dan sa'I sesudahnya.
39  Hukum berihram untuk haji dalam bulan haji, kemudian berihram untuk umrah sebelum thawaf qudum.
40  Kewajiban membayar binatang buruan, pepohonan, dan rerumputan ditanah haram Madinah.
 B.  Bidang Fiqh Mu'amalah

1.      Hukum penjualan benda tanpa izin pemilik
2.      Meminta ganti barang yang ada dalam zimmah (tanggungan) pembeli
3.      Menjual biji-bijian yang tidak nampak dalam tangkainya
4.      Membayar ganti rugi buah-buahan yang membusuk dalam kekuasaan pembeli setelah diserahkan oleh penjual.
5.      Menambah hutang tanpa menambah benda menambah benda jaminan hutang (marhun).
6.      Mengambil kembali budak yang masih hidup dari tangan pembeli yang disita hartanya oleh hakim, sedangkan sebahagian harganya telah duluan diambil dan budak yang satu lagi telah meninggal.
7.      Hukum meletak kayu diatas dinding yang terjadi perkongsian.
8.      Hukum meletak kayu diatas dinding bangunan yang tidak ada perkongsian.
9.      Kebolehan memaksa mitra perkongsian untuk membangun dinding.
10.Z aman (menanggung pembayaran) sesuatu yang belum wajib bayar.
11. Mensyaratkan mengetahui bagi barang yang akan ditanggung.
12. Membebaskan hutang yang tidak diketahui bentuk dan jumlahnya.
13. Ketentuan pembayaran pada budak yang dianiaya setelah dirampas           
      dari pemiliknya.
14. Pepohonan yang dibolehkan untuk aqad musaqah.
15. Hukum hibbah dengan lafadh" saya berikan ini kepadamu selama                               
      hidup kamu
16.Hukum hibbah dengan lafadh" jika saya lebih dulu meninggal, maka                         benda ini jadi milikmu, dan jika kamu meninggal duluan, maka benda ini kembali kepada saya.
17. Harta warisan dari hamba yang merdeka setengah jiwanya(al-mub'adh)
18. Pensyaratan orang fakir yang berhak menerima zakat.
C. Bidang Fiqh Munakahat

1.      Menerima pengakuan gadis yang 'aqil baligh tentang pernikahannya.
2.      Nafkah isteri yang menyusul suami kedalam islam pada masa 'iddah.
3.      Khiyar fasakh bagi bagi suami yang mendapat 'aib isterinya kemudian dari nikah.
4.      Meminta ganti rugi mahar bila calon isterin ternyata murtad ketika akad nikah.
5.      Yang menanggung mahar dan nafkah pada pernikahan budak yang direstui oleh budaknya.
6.      Penetapan mahar karena terjadi khalwat antara suami isteri.
7.      Wali isteri membebaskan mahar yang wajib atas suami.
8.      Menggantikan giliran bermalam untuk isteri yang berpergian karna keperluan sendiri.
9.      Status thalak yang diserahkan wewenangnya kepada isteri( tafwidh thalak).
10.  Mempersaksikan ruju'.
11.  Lafadh sumpah pada masalah ila' (suami bersumpah tidak akan menyetubuhi isterinya).
12.  Bentuk lafadh sharih dan kinayah pada ila'.
13.  Ketentuan kafarat pada zihar terhadap empat isteri secara bersamaan.
14.  Terputus tatabu' (kesinambungan) Puasa untuk Kafarat zihar disebabkan sakit.
15.  Kewajiban menyegerakan nafi anak pada li'an.
16.  Kewajiban 'iddah karna khalwat antara suami isteri.
17.  Lama masa 'iddah bagi wanita yang tidak haid karena suatu penyakit.
18.  Ketentuan 'iddah bagi wanita yang tidak mengalami haid setelah monophose.
19.  Ketentuan 'iddah bagi wanita yang diruju' dalam keadaan tidak hamil, kemudian diceraikan lagi.
20.  Ketentuan untuk sah nikah bagi isteri orang yang mafquq (hilang dan tidak ada berita).
21.  Pengertian quru' pada masalah istibra' (menahan diri semacam 'iddah) pada budak perempuan.
22.  Penyebab wajib nafkah atas suami.
23.  Kewajiban nafkah untuk isteri yang tidak melayani suami, sedangkan suami tidak meminta untuk dilayani.
24.  Orang yang diutamakan untuk mengasuh anak setelah ibu.
D. Bidang Fiqh Jinayat

1.      Pengganti unta untuk diyat jika tidak ada unta
2.      Kewajiban membayar terhadap kecelakaan yang disebabkan pancuran yang dikeluarkan kepada lorong.
3.      Keluarga pembunuh yang dibebankan membayar diyat.
4.      Ketentuan menebus budak yang melakukan jinayat.
5.      Ketentuan menebus budak yang melakukan jinayat sebelum penebusan terhadap jinayah pada kali pertama.
6.      Sanksi terhadap pembunuh secara sengaja pada masalah qasamah (bukti didapatkan melalui sumpah wali korban).
7.      Status jual beli, pergadaian,dan hibbah yang dilakukan orang murtad.
8.      Bersumpah tidak berbicara dengan seseorang, lantas mengirim surat kepadanya.
9.      Aqad kitabah orang murtad terhadap hambanya.
10.  Hukum menjual hamba mukatab.


BAB V
            PENUTUP
                                                                                                              
A.        Kesimpulan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat peneliti sampaikan sebagai penutup penulisan skripsi yang berjudul "Metode Tarjih Imam al-Nawawi dalam Menyelesaikan Perbedaan Pendapat Mazhab al-Syafi`I (kajian terhadap Kitab Minhaj al-Talibin)". Adapun sebagai kesimpulan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.         Al-Nawawi sebagai salah seorang tokoh besar yang telah berjasa dalam menghidupkan al-sunnah dan mengembangkan mazhab Syafi`i serta telah banyak melahirkan karya-karya besar dan agung di dunia Islam terutama dalam bidang fiqih dan hadith. Ia mendapat kedudukan dan bergelar sebagai mujtahid tarjih di kalangan mazhab al-Syafi`i yaitu mujtahid yang sanggup men-tarjih-kan (menguatkan) pendapat-pendapat yang berbeda dalam mazhabnya.
2.         Kitab Minhaj al-Talibin adalah merupakan buah karya monumental               al-Nawawi dalam bidang fiqih yang membahas tentang perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi`i serta pentarjihanya.
3.         Penulisan kitab Minhaj al-Talibin tidak terlepas dari sistematika penulisan yang digunakan al-Nawawi. Di antara sistematika yang dimaksud adalah: sebagai berikut: (1). Ikhtisar, yaitu memperpendek uraian dalam setiap pembahasan agar mudah dipahami dan dihafal. (2). Pengklasifikasian Istilah yakni dalam setiap uraian pendapat mazhab Syafi`i, al-Nawawi memberikan istilah atau nama untuk masing-masing pendapat tersebut. Misalnya al-azhar adalah salah satu pendapat imam al-Syafi`i yang dianggap kuat (rajih), sementara lawan (muqabil)-nya dianggap lemah (da`if). Demikian juga pendapat imam al-Syafi`i lainnya: qawl al-jadid yaitu pendapat Syafi`i di Mesir, dan (muqabil)-nya disebut dengan qawl qadim yaitu pendapat Syafi`i di Iraq. Pemberian istilah untuk masing-masing pendapat dalam mazhab Syafi`i adalah untuk membedakan mana yang tergolong ke dalam pendapat al-Syafi`i sendiri dan pendapat para sahabat Syafi`i,
4.         Pentarjihan yang dilakukan al-Nawawi dalam kitab tersebut tidak terlepas dari metode istinbat atau ijtihad yang digunakannya dalam membahas dan mentarjih berbagai pendapat mazhab al-Syafi`i. Adapun metode yang digunakannya adalah metode bayani atau pola penalaran bayani  yakni pola penalaran yang tertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan atau pada makna-makna lafaz.
5.         Metode selanjutnya adalah metode ta`lili atau penalaran ta`lili yaitu  pola penalaran yang tertumpu pada `illat (rasio logis). Pola penalaran ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa segala ketentuan yang di turunkan Allah SWT guna mengatur perilaku manusia mempunyai alasan logis (`illat. Melalui penalaran ini al-Nawawi berusaha mengungkapkan `illat masing-masing pendapat mazhab al-Syafi`i, kemudian al-Nawawi menyaring dan meneliti `illat-`illat tersebut selanjutnya ditetapkan pendapat yang rajih berdasarkan kuat tidaknya `illat yang diajukan oleh masing-masing pendapat.
6.         Disamping kedua metode penalaran di atas al-Nawawi melengkapi penelitiannya dengan metode selanjutnya yaitu metode istislahi yakni pola penalaran yang tertumpu pada dalil-dalil umum, karena ketiadaan dalil-dalil khusus mengenai suatu permasalahan dengan pertimbangan kemaslahatan. Berdasarkan ketiga metode inilah al-Nawawi mentarjihkan pendapat-pendapat dalam mazhab Syafi`i.                                   
B.         Saran-saran
            Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diperoleh di atas, dapat peneliti ajukan beberapa saran guna memperluas pengembangan dan pemahaman kita terhadap kitab-kitab fiqih  khususnya kitab-kitab fiqih mengenai persoalan yang berkenaan dengan perbandingan mazhab dan perbedaan pendapat para ulama dalam satu mazhab. Adapun saran-saran yang diajukan penulis adalah sebagai berikut: 
2.      Untuk memperluas wawasan para dosen dan mahasiswa dalam kajian ilmu-ilmu keislaman terutama kajian fiqih, sebaiknya kita mempelajari dan mengkaji kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih yang membahas persoalan perbandingan mazhab, atau perbandingan dalam satu mazhab. Seperti kitab Minhaj al-Talibin yang menjadi topik pembahasan peneliti.
3.      Dalam mempelajari kitab-kitab tersebut tidak akan tercapai manakala upaya pengadaan referensi kitab dan buku-buku di pustaka yang sangat terbatas, untuk itu diharapkan adanya kepedulian berbagai pihak terutama pihak akademisi untuk memeperbanyak kitab-kitab atau buku-buku dalam bidang yang dimaksud.
4.      Semoga kiranya kajian peneliti tentang tarjih ini dapat dilanjutkan dan diperluas pembahasannya oleh siapa saja yang mempunyai keahlian di bidang ini, terutama mereka yang mempelajari kajian fiqih dan usul fiqih.
5.      Saran dan kritikan dari berbagai pihak terutama para pakar fiqih sangat peneliti harapkan, guna pengembangan pemahaman fiqih dan usul fiqih dalam rangka melahirkan tokoh-tokoh fiqih yang berkualitas. Demikian penulisan karya ilmiah ini semoga bermanfaat bagi kita semua. Wassalam!













DAFTAR PUSTAKA



`Abd al-Hamid al-Hakim, Al- Sullam, Jakarta: Sa`adah Putra, t.t.

`Abdurrahman Asnawi Jamal al-Din, Tabaqat al-Syafi`iyyah, Juz.II, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1987.

Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensikolpedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 997.

Abu Bark Muhammad Ibnu Muhammad al-Sarakhsi, Usul al-Sarakhsi, Tahqiq Abu al-Wafa al-Afghani, jilid I, (Beirut: Dar al- Kutub al-`Ilmiyyah, 1993).

Abu Hamid al-Gazaly, Al-Mustasfa fi `Ilm al-Usul, Jilid.I,  Bairut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1983.

Abu Malik Kamal Sayyid Salim,  Fiqh al-Sunnah li al-Nisa`, Arab Saudi: Dar al-Bayan al-Hadithah, 1422.

Abu Zakaria bin Yahya al-Syaraf Nawawi, Minhaj al-Talibin wa `Umdat al-Muftin, Bandung Indonesia: Syirkah al-Ma`arif,t.t.

Abu Zakaria bin Yahya al-Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Juz. I, Beirut: Dar al-Fikr al-`Arabiyyi, t.t.

Abu Zakaria bin Yahya al-Syaraf Al-Nawawi, Rawdat al-Talibin Wa `Umdat al-Muftin, Juz. I, Bairut: Al-Maktab al-Islami, 1991.

Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, t.tp: Muassasah Qurtubah, 1987.

Ahmad bin Muhammad al-Sawi, Al-Sawi, t.tp: t.p, t.t.

Al-San`ani, Subul al-Salam Juz. II, Mesir: Tijariyah Kubra, t.t.

Al-Nasa`i, Sunan al-Nasa`i, Juz. I, Bairut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1995.

Al-Syarqawi, Al-Syarqawi `ala al-Tahrir, juz. II, Surabaya: Syirkah Bengkul Indah, t.t.



Al-Rafi`i, Muqaddimah al-`Aziz ala Syarh al-Wajiz, Bairut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1997.

Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. I, II, Bairut: Dar al-Fikr, 1983.

Al-Syarqawi, Al-Syarqawi `ala al-Tahrir,  Jilid.I, Surabaya: Syirkah Bengkul Indah, t.t.

Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Cairo: Dar Rayyan, t.t.

al-Syairazi, al-Luma’fi Usul al-Fiqh, Cairo : Maktabah al-Taufiqiyah, t.t.

Al-Qarafi, Tanqih al-Fusul, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.

Al Yasa Abu Bakar, Metode Istinbath Fiqih di Indonesia, (Kasus-kasus  Majelis Mudzakarah Al Azhar), Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1983.

--------------------------, Diktat Usul Fiqh, Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, 1987.
--------------------------, "Teori `Illat dan Penalaran Ta`lili," dalam Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Rosda Karya, 1994.

`Ali Hasballah, Usul al-Tasyri` al-Islamy, Al-Qahirah: Dar al-Ma`arif, 1964.
Badran Abu `Ainain, Bayan al-Nusus al-Tasyri`iyyah, Misra: al-Ma`arif, 1969.

Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.

Cik Hasan Basri, Model Penelitian  Fiqh (Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian), Jilid. I, Bogor: Kencana, 2003.

Daud bin Abdullah Fatani, Furu` al-Masa-il, Juz. II, Singapura: Al-Haramaini, t.t.

Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2005.

Fati al-Durayni, Al-Manahij al-Usuliyyat fi al-Ijtihad bi al-Ra`yi fi al-Tasyri` al-Islamy, Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadith, 1975.

Hasan Ahmad Khatib, Al-Fiqh al-Muqaran, t.t.p: Matba`ah Dar al-Ta`lif, 1957.

Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, jilid 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

--------------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
                                                                                                                                 
Ibnu Jarir a]-Tabari, Muqaddimah Kitab Ikhtilaf al-Fuqaha`, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.

Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid ,  Jilid. I, II, Semarang: Toha Putra, t.t.

Ibrahim al-Bajury, Al-Bajury, Jilid. I, II, Toha Putra: Semarang, t.t.

Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jilid VII, Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah 1994.

Jaih Mubarak, Sejumlah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Jalal al-Din “Abd Rahman Al-Suyuti, al-ljtihad al-Radd ‘all man Akhlada ila al-Ard wa. Jahala 'anna at-ljtihadfi Kulli 'Asr Fard, Iskandaria: Muassasah al-Syabab al-Jami'ah, 1985.

Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahally, Jilid. I, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.

Kuncaraninggrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gema Media, 1981.

Mahmud Syaltut dan Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih,  Terj.  Ismuha, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, Terj. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1992.

Ma`ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal ila `Ilm Usul al-Fiqh, Libanon: Dar al-Kutub al-Jadid, 1965.      

Mustafa Sa`id al- Khin, Athar Al-Ikhtilaf fi al-Qawa`id al-Usuliyyat fi Ikhtilaf al-Fuqaha`, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1972.

Muhammad Abdul Aziz Al-Halawy, Fatwa dan Ijtihad Umar Khaththab (Ensiklopedi Berbagai Persoalan Fiqih), Terj. Zubeir Suryadi Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad  al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.

Muhktar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma`arif, 1997.

M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa dan Zakat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Muhammd Abu Zahrah, Usul Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Mua`sir, 1989.

Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`I, Hanbali, Terj. Maskur AB Dkk, Jakarta: Lentera Basritama, 2005.

Muhammad Adib Salih, Masadir al-Taysri` al-Islamy wa Manahij al-Istinbat, (Damsyiq: al-Matba`ah al-Ta`awuniyah, 1968).

Mun`im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam : Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. 

Muhammad Ali Sayyis, Sejarah Fiqih Islam, Jakarta, Pustaka al-Kausar, 2003.

Muhammad Khudari Beyk, Tarikh Tasyri' al-Islami, Cairo: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1970.

Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad  al-Sawkani, Irsyad al-Fuhul, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Muhammad Wafa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’ Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995.

Mustafa bin Muhammad bin Salamah, Al-Ta`sis fi Usul al-Fiqh`Ala Dau`i al-Kitab wa al-Sunnah, Qahirah: Maktabah al-Haramain li al-`Ulum al-Nifi`ah,       1415 H.

Mustafa Syalabi, Ta`lil al-Ahkam, Beirut: Dar al-Nahdah al-`Arabiyah, 1981.

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana, 2001.

Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Peunoh Dali, "Menelusuri Pemikiran Maslahat dalam Hukum Islam", Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Penyunting: Iqbal Abdurrauf Saimin, Jakarta: Panji Mas, 1988.

Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Rafi`i Nazari, `Illat dan Dinamika Hukum Islam, Disertasi, Jakarta: IAIN Sahid, 1991.

Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Jilid. III, Bairut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1983.

Sirajudin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995.

Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam(Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003.

Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf (Imam al-Bukhari,Imam asy-Syafi`I, Imam Ibnu Katsir, Imam al-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar al-Asqalani), Terj. Masturi Irham & Asmu`I Taman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.

Syihab al-Din al-Qulyubi, Hasyiah Qaliyubi, Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t. 
Taj al-Din bin `Abd al-Wahhab bin `Ali al-Subki, Jam`u al-Jawami`, juz. II,   Indonesia: Dar al-Ihya` al-Kutub al-`Arabiyyah, t.t.

Taj al-Din 'Abd al-Wahh ib al-Subki, Tabaqat Syafi’iyyah al-Kubra, jilid VIII, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.

Tim Penulis IAIN Syarif HIdayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:Djambatan, 2002.

`Umairah, Hasyiah `Umairah, Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t.
Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islami wa Adillatuhu, jilid I, Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1989.

-----------------------, Usul al-Fiqh al-Islamiyyi, Juz.2, Bairut: Dar al-Fikr, 1998.

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 1982).

Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat (Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur`an dan Hadis), Terj. Salman Harun Dkk, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006.

Zainuddin al-Malibari, I`anat al-Talibin, Jilid. I, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.






GLOSSARY



Al-Azhar (الاظهر): Pendapat al-Syafi`i yang kuat khilaf-nya  (lawan yang kuat) dikarenakan lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat.

Al-Masyhur (المشهور): Pendapat al-Syafi`i yang lemah khilaf-nya  (lawan yang lemah) dikarenakan dalil-dalil dan argumentasi yang dikemukakan lawannya adalah tidak sekuat lawan al-azhar.

Al-Muqabil (المقابل): Dua hal yang saling bertolak belakang atau berlawanan. Dimana dalam tataran ilmu fiqih di sebut mukhalafah.

Ashab al-wujuh (اصحاب الوجوه): Pendapat-pendapat para sahabat al-Syafi`i yang terpilih.

Bayani (بيانى): pola penalaran yang tertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan atau pada makna-makna lafaz.

Dalalah (دلالة): Secara bahasa merupakan kata sifat transitif (ta`diyah; muta`addi) dari "dalla", berarti yang menyingkap di balik teks berdasarkan dalil. Dalam kerangka usuli lazimnya dipergunakan dalam pengertian metode dalalah (طريقة الدلالة), yaitu: metode tertentu untuk menetapkan suatu cara menyingkap makna tertentu di balik teks, berdasarkan dalil-dalil tertentu.

Ijtihad (اجتهاد): adalah masdar dari fi`il madi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta pada ja-ha-da menjadi ijtahada pada wazan ifta`ala berarti, "usaha itu lebih sungguh-sungguh". Para ulama usul mendefinisikan ijtihad yaitu: Pengerahan segenap kemampuan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang sesuatu melalui dalil-dalil syara`.

`illat (علة): Secara etimologi berarti penyebab bagi sesuatu sehingga berubah dari suatu kondisi kepada kondisi yang lain karena keberadaannya.  Ulama usul merumuskan `illat dengan motif terhadap hukum, di mana ia menjadi tujuan syari` dalam menetapkan suatu hukum

Istinbat (استنباط): Secara leksikal kata istinbat berarti mendapatkan (keputusan) hukum dengan penelitian  yang sungguh-sungguh. Istinbat berasal dari kata nabata yang berarti air yang keluar dari mata air. Apabila kata nabata itu dikaitkan dengan hukum, maka artinya berubah menjadi “menggali dan mengeluarkan hukum”. Menurut ahli usul istinbat adalah: mengeluarkan makna-makna yang terkandung dalam al-Qur`an dan Hadith dengan menggunakan intelektual disertai kekuatan akal budi.

Istislahi (استصلاحى): pola penalaran yang tertumpu pada dalil-dalil umum, karena ketiadaan dalil-dalil khusus mengenai suatu permasalahan dengan azas kemaslahatan.

Marjuh ((مرجوح: Pendapat yang lemah baik dalil-dalil maupun argumentasinya, lawan dari rajih.

Minhaj al-Talibin (منهاج الطالبين): Buah karya dari Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf al-Nawawi. Kitab ini adalah kitab yang menerangkan tentang berbagai ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan mazhab Syafi`i. Di sertai dalam pembahasannya mengenai qawl al-rajih (pendapat terkuat).

Mujtahid mutlaq (مجتهد مطلق ): Mujtahid Mutlaq atau Mujtahid Mustaqil atau Mujtahid fi al-Syar`i  ialah: mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam mengistinbatkan hukum syar`i.

Mujtahid Muqayyad (مجتهد مقيد ): Mujtahid Muntasib atau Mujtahid fi al-Mazhab atau Mujtahid Ghairu al-Mustaqil yaitu para mujtahid yang megikuti imam mazhabnya baik dalam usul atau metode ijtihad dan furu`nya akan tetapi dalam penerapannya bisa terjadi perbedaan (memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazhab)

Mujtahid Tarjih (مجتهد ترجيح): yaitu Para imam mujtahid yang kegiatannya men-tarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam mazhabnya.

Muwalah (موالة): adalah berturut-turut membasuh anggota demi anggota, jangan sampai orang yang berwudhuk itu menyela wudhuknya dengan pekerjaan lain yang menurut kebiasaan dianggap telah menyimpang darinya.

Qat`iyyi (قطعى): Sesuatu yang pasti dan jelas yang harus diamalkan tanpa menunggu dalil-dalil lain sebagai penjelasannya.

Rajih (راجح): Pendapat yang terkuat disebabkan dalil-dalil dan argumentasinya yang menyakinkan. Lawan dari marjuh.

Ta`lili (تعليلى): pola penalaran yang tertumpu pada `illat (rasio logis). Pola penalaran ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa segala ketentuan yang diturunkan Allah guna mengatur perilaku manusia mempunyai alasan logis (`illat).

Zanniyyi (ظنى): Sesuatu yang belum pasti kebenarannya, untuk pengamalan terhadap zanni diperlukan dalil-dalil lain sebagai penjelasannya.

Zihar (ظهار): Diambil dari kata "al-zahr" yang bermakna punggung atau belakang. Dikhususkan dengan al-zahru (punggung) karena ia adalah tempat berkenderaan, dan isteri adalah kenderaan suami. Sedangkan zihar menurut syara` adalah perkataan seorang suami kepada isterinya: "anti `alayya ka zahri ummi" (engkau tampak olehku seperti punggung ibuku).




[1]Taqlid secara bahasa adalah mengikuti atau ikut-ikutan. Secara terminologi taqlid adalah mengikuti  perkataan dan perbuatan orang lain dan menyakini kebenarannya tanpa melihat dan memikirkan kepada dalilnya. Dengan kata lain, taqlid ialah menerima perkataan orang lain tanpa alasan dan dalilnya. Lihat Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, (Cairo: Dar Rayyan, t.th). hal. 90. Masa taqlid adalah masa dimana orang menerima pendapat seorang  ulama tanpa melihat dan memperhatikan kepada dalil dan alasannya yang dipergunakannya.

[2] Ijtihad secara bahasa adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk apa saja, seperti dikatakan mengerahkan kemampuan membawa sesuatu yang berat. Menurut istilah fuqaha, seperti yang didefinisikan al-Syairazi :
استفراغ الوسع وبذل المجهود فى طلب الحكم الشرعى

Artinya : “ Pengerahan kemampuan dan berupaya untuk menemukan hukum Syar`i. Lihat  al-Syairazi, al-Luma’fi Usul al-Fiqh, (Cairo : Maktabah al-Taufiqiyah, t.th.), hal 255.

[3] Mun`im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam : Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal. 28.

[4] Jaih Mubarak, Sejumlah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 138.
[5]Nama lengkap Ibnu Jarir adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Bin Yazid bin Kathir bin Ghalib al-Tabari. Dilahirkan di Tubristan tahun 223 H. Pendapat lain ia lahir pada tahun 225 H. Selanjutnya pindah ke Baghdad dan wafat pada tahun 310 H. Ia merupakan ulama yang; sangat alim pada masanya, menguasai al-Qur'an, sunnah dan ilmu turuq al-istinbat fi al-fiqh (metode-metode istinbat dalam fiqih) serta mengetahui mana hadith sahih dan da’if, mengetahui nasakh dan mansukh, pakar sejarah dan mengetahui usul al-fiqh. Karyanya yang terkenal adalah Tafsir al- Tabari, Jami' al-Bayan an Tawil Ayati al-Qur’an, Tarikh al-Umam wa al-Muhik Dalam bidang fiqh; Ikhtilaf al-Fuqaha’ dan lain-lainnya. la dianggap sebagai mujtahid mutlaq pada masanya dan sebagai mujtahid mutlaq yang terakhir. Lihat Ibnu Jarir a]-Tabari, Muqaddimah Kitab Ikhtilaf al-Fuqaha, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), hal 5.

[6] Jain Mubarak, sejarah,..., hal. 14
[7] Muhammad Ali Sayyis, Sejarah Fiqih Islam, (Jakarta, Pustaka al-Kausar, 2003), hal.169.
[8] Muhammad Khudari Beyk, Tarikh Tasyri' al-Islami, (Cairo: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1970), hal. 140-142
[9] Secara etimologi kata al-tarjih adalah bentuk masdar (sumber) dari kata dasar rajjaha, artinya mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong kepadanya. Ada juga dikatakan sesuatu barang dikatakan unggul bila. timbangannya bertambah atau lebih berat dari pada yang lainnya. Sedangkan menurut istilah, tarjih sebagaimana yang dikemukakan oleh Fakhru al-Din al-Razi adalah:
الترجيح: تقوية احد الطرفين على الاخر ليعلم الاقوى فيعمل به ويطرح الاخر

Artinya: “Menguatkan salah satu dalil atas yang lainnya agar dapat diketahui mana yang lebih kuat untuk diamankan dan ditinggalkan dalil yang lainnya”.
Lihat Muhammad Wafa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’ (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995), hal. 56.
[10] Sirajudin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995) hal. 56.

[11] Jaih Mubarak, Sejarah…,hal. 140.

[12] Jalal al-Din “Abd Rahman Al-Suyuti, al-ljtihad al-Radd ‘all man Akhlada ila al-Ard wa. Jahala 'anna at-ljtihadfi Kulli 'Asr Fard, (Iskandaria: Muassasah al-Syabab al-Jami'ah, 1985), hal. 21-43.
[13]Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Abi Qasim, (Bairut: Dar al-'Ihniyah, 1999),hal. 36.

[14]Nama lengkapnya adalah Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syarf al-Nawawi. Lahir tahun 630 H Nawa, salah satu daerah dekat Darnaskus (Syria). la hidup dalam lingkungan ahli ibadah dan ilmu hingga ia mempunyai sifat wara', zuhud dan ahli ibadah ia menghabiskan waktu dengan mengarang kitab yang masih tinggal sampai sekarang di antara karyanya adalah. Syarh Sahih Muslim, Riyadh al-Salihim, al-Azkar. Dalam bidang fiqh ia mengarang kitab Rawdah al-Talibin, Minhaj al-Talibin, al-Majmi'Syarh al-Muhadhdhab. Dalam bidang bahasa Tahdhib alAsma' wa al-lughah dan lain lainnya. la wafat pada hari rabu 14 Rajab tahun 676 H di desa kelahirannya dalam usia 45 tahun. 'Abd al-Rahim al-Asnawi, Tabaqat al-Stafi`yyah, jilid 11, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987), hal, 266. Ibnu Kasir, al-Bidayah wa al-Nihoyah, jilid VII, (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah 1994), hal. 231. Taj al-Din 'Abd al-Wahh ib al-Subki, Tabaqat Syafi’iyyah al-Kubra, jilid VIII, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hal, 3 95.

[15]Ulama abad ke XX seperti Kandahlawi, Muhammad Abu Zahrah, Wahbah al-Zuhaili, Yusuf al-Qaradawi dan lain lainnya membagikan kelompok ulama mujtahid itu menjadi beberapa tingkatan di antaranya adalah mujtahid mutlaq dinamakan juga dengan mujtahid mustaqil yaitu mujtahid yang ijtihadnya tidak terkait atau mengikat dengan qawa'id (kaida-kaidah) orang lain. Mujtahid yang terikat dengan qa'idah imamnya dalam memahami dan mengistibat hukum dinamakan dengan mujtahid mazhab. Seterusnya mujtabid al-tarjih yaitu mujtahid yang mengeluar fatwa tetapi ia mengetahui dalil yang ditetapkan imamnya, sanggup menguraikannya dan sanggup mentarjih perkataan imamnya dan perkataan muridnya seperti imam al-Qaduri dan al-Marghinani dari golongan ulama Hanafi dan imam al-Raft'i dan Nawawi dalam mazhab Syafi'i. kemudian mujtahid fatwa yaitu ulama yang menguasai mazhab imamnya memahaminya secara detail dan jelas tetapi ia tidak sanggup menetapkan dalil dan menguraikan perbandingannya dengan lainnya. Ulama yang digolongkan dalam kategori ini seperti Ibnu Hajar al Haitami, dan al-Ramli dalam mazhab Syafi'i. Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Cairo: Dar al-Fikr al-Mu'asir, 1989), hal, 47-48 dan Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994). Hal. 118.

[16]Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islami wa Adillatuhu, jilid I, (Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1989), hal. 63.

[17]Kitab Minhaj al-Talibin merupakan kitab ringkasan dari kitab al-Muharrar karya imam al-Rafi’i dan merupakan ringkasan dari kitab al-Wajiz karya imam al-Ghazali.

[18] Imam al-Rafi'i nama lengkapnya Abd al-Karim bin Muhammad Abd al-Karim bin al-Fadl bin at-Husaini bin al-Hasan, lahir tahun 555 H di daerah Rafa' salah satu wilayah di Quzwaini. la sangat mementingkan dalam ilmu Syari'ah, i1mu tafsir, hadith, usul al-fiqh dan sangat alim pada zamannya, kitab fiqh nya menjadi panutan umat yang selalu beribadah. la berguru pada ayahya yang merupakan seorang ulama terkenal di Quzwaini, di antara karyanya yang terkenal al-Aziz Syarh al-Wajiz, Syarh al Saghir, Syark Musnad Syafi'i, al-Muharrar fi Furu' Syafi`iyyah, dan lain lain. Ia wafat tahun 623 H dalam usia 66 tahun. AI-Rafi'i, Muqadimah al-`Aziz ala Syarh al-Wajiz, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hal. 407-412.

[19] Abu Zakaria bin Yahya al-Syaraf Nawawi, Minhaj al-Talibin, (Bairut: Dar al- Kutub 'al- Ilmiyah, 1998), hal. 15.

[20] Zainuddin Malibari, I`anah al-Talibin, Jilid. 1, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hal. 19.
[21] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tariqah, (Bandung: Mizan1995), hal. 114 - 115.

[22] Sirajudin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madhhab Syafi'i (Jakarta: Pustaka Tarbiyah.1995), hal. 174.
[23]Tim Penulis IAIN Syarif HIdayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2002), hal. 851.

[24]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf (Imam al-Bukhari,Imam asy-Syafi`I, Imam Ibnu Katsir, Imam al-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar al-Asqalani), Terj. Masturi Irham & Asmu`I Taman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hal.756.  
[25]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi..., hal. 756.

[26]Ensikolpedi Hukum Islam, Abdul Azis Dahlan, (ed.), (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 1315.

[27]Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi`i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1994), hal. 174.
[28]Kitab al-Tanbih dan al-Muhazzab adalah dua kitab yang merupakan buah karya Syaikh Ibrahim bin `Ali bin Yusuf Abu Ishaq al-Fairuzzabadi al-Syirazi (W. 476 H). Beliau ini adalah seorang ulama Syafi`iyah yang terkenal pada abad ke v di Baghdad. Kitab al-Muhazzab adalah suatu kitab fiqif Syafi`i yang besar  yang kemudian diberi komentar (syarah) oleh Imam al-Nawawi dengan kitabnya bernama al-Majmu`. Al-Syirazi juga merupakan seorang guru besar di Universitas Islam Nizamiyah di Bahgdad, yang dibangun oleh wazir (menteri) kerajaan Bani Saljuk bernama Nizam al-Mulk. Lihat. Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi`i, (Jakaerta: Pustaka Tarbiyah, 1994), hal. 165-166.

[29]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam…, hal. 852.
[30]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklpedi Islam…, hal. 852.

[31]Abdul Azis Dahlan. (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam…, hal. 1315.

[32]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Isalam…, hal. 852.

[33]Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), hal. 311.

[34]`Abd al-Rahim Asnawi Jamal al-Din, Tabaqat al-Syafi`iyyah, Juz.II, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1987), hal. 267.

[35]Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam…, hal. 852.

[36]Syaikh Ahmad Farid,  60 Biografi…, hal. 773

[37]Nama terakhir ini merupakan salah seorang tokoh penghafal Hadith yang terkenal, nama lengkapnya yaitu: Abul Hajjaj Yusuf ibnu `Abdurrahman ibnu Yusuf ibnu `Abdul Malik al-Kalbi al-Mizzi. Lihat. Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith…, hal. 311.

[38]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi…, hal.774.

[39]Abdul Azis Dahlan. (ed.), Ensiklopedia Hukum…, hal. 1316. Lihat juga. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar…, hal. 311.
[40]`Abdurrahman al-Asnawi Jamal al-Din, Tabaqat al-Syafi`iyyah, Juz. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1978), hal. 266.

[41]Hadith tersebut diriwayatkan oleh Al-Jama`ah. Lihat Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 13.

[42]Abdul Azis Dahlan. (ed.), Ensiklopedi Hukum..., hal. 1316.Lihat juga. Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli, Juz. III, (Semarang Indonesia: Toha Putra, t.t), hal.206.

[43]Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…hal. 13
[44]Syaikh Ahmad Farid,  60 Biografi…,  hal. 772.

[45]Cik Hasan Basri, Model Penelitian  Fiqh (Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian), Jilid. I, (Bogor: Kencana, 2003),  hal. 299-300.

[46]Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi`I, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1994), hal. 174.

[47]Yang dimaksud dengan mujtahi mazhab di sini adalah mujtahid (lowyer) yang mengikuti imam mazhabnya baik dalam ushul (basic) maupun dalam furu` (cabang) hanya berbeda dalam penerapannya, yakni hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazhabnya. Lihat. Jazuli, Ilmu Fiqh (Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam), (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 158.

[48]Nama lengkapnya adalah Ismail bin Amir al-Qurasyi bin Katsir al-Basri al-Dimasyqi `Imaduddin Abu Fida` al-Hafiz al-Muhaddits al-Syafi`i. Dilahirkan pada tahun 705 H, dan wafat tahun 774 H.Ia seorang ahli fiqih, Hadits dan ahli tafsir dengan karyanya yang terkenal yaitu Tafsir Ibnu Katsir. Tentang tafsirnya ini Muhammad Rasyid Ridaha menjelaskan, "Tafsir merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufassir salaf." Lihat Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, Terj. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1992), hal.521.

[49]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi…, hal. 772.

[50]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi..., hal. 772.

[51]Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islami wa Adillatuhu, jilid. I, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu`asir, 1989), hal. 63. Imam al-Rafi`i nama lengkapnya adalah Abul Qasim Abdul karim bin Muhammad Abd al-Karim bin al-Fadl bin al-Husaini bin al-Hasan al-Rafi`i. Lahir tahun 555 H di daerrah Rafa` salah satu wilayah di Quzwaini. Gelar al-rafi`i diambil dari kakeknya al-Rafi`i bin Khudej sahabat nabi Muhammad SAW. Di antara karyanya yang sangat populer yaitu: al`Aziz Syarh al-Wajiz, Syarh al-Shaghir, Syarh Musnad al-Syafi`i, al-Muharrar fi Furu` Syafi`iyyah, dan lain-lain. Al- Rafi`i mendapat kedudukan yang terhormat dalam mazhab Syafi`i dengan titel sebagai Mujtahid Tarjih atau menurut Siradjuddin Abbas sebagai Mujtahid Mazhab sederajat dengan Imam al-Nawawi. Ia wafat tahun 623 H pada usia 66 tahun. Lihat. Al-Rafi`i, Muqaddimah al-`Aziz ala Syarh al-Wajiz, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1997), hal. 407-412.. Lihat juga. Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan madzhab Syafi`i..., hal.174. 

[52]Zainuddin al-Malibari, I`anat al-Talibin, Jilid. I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 19.

[53]Al-Jurjani, Al-Ta`rifat, (Singapura: al-haramaini, t.t), hal. 56.

[54]Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Jilid. III, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1983), hal. 174. Definisi yang sama tertera dalam. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana, 2001), hal. 196.   
[55]Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam…, hal. 460.

[56]Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I..., hal. 196.
[57]Lihat Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 243.

[58]Hadit tersebut diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lihat Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,  Jilid. I, (Bairut: Dar al-Fikr,1983), hal. 56.
[59]Lihat Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I…, hal. 196. Lihat juga. Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 262.

[60]Mengenai kedua kasus di atas, penulis tidak mencantumkan  hadithnya  karena hanya sebatas contoh tarjih bukan penjelasan secara rinci mengenai hadith tersebut.
[61]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh…, hal. 162. Lihat Juga. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-Ma`arif, 1997), hal. 470. 

[62]Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiyyi, Juz.2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hal.1216. Lihat pula. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana, 2001), hal. 197. Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 243.
[63]Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad  al-Sawkani, Irsyad al-Fuhul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 224.Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiyyi…, hal. 1216. Lihat pula. Nasrun haroen, Ushul Fiqh. I…, hal. 197.

[64]Al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam…, hal.463.

[65]Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiyyi…, hal. 1217
[66]Nasrun haroen, Ushul Fiqh I..., hal. 198. Lihat juga. Ensiklopedi HukumIslam, (ed). Abdul azis dahlan. (et..al.), (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997),  hal. 1800.

[67]Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam…, hal. 470.
[68]Hadith ini tersebut terdapat di dalam buku Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I..., hal. 200. Di mana hadith ini diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqy.
[69]Abu Hamid al-Gazaly, Al-Mustashfa fi `Ilm al-Usul, Jilid.I,  (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1983), hal. 46.
[70]Hadith di atas diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Lihat Al-Hafidh Ibnu Hajar al-`Asqalany, Bulugh al-Maram,  Nomor Hadith. 1020, (Indonesia: Dar Ihya` al-Kutub al-`Arabiyah, t.t), hal.207. Lihat juga. Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, hal. 570.

[71]Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, hal. 570. Lihat Juga. Al-Hafidh ibnu Hajar al-`Asqalani, Bulugh al-Maram…, hal. 207.

[72]Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islami,  (Bandung: Al Ma`arif, 1997), hal. 472. Lihat Juga uraian hadith tersebut dalam Al-San`ani, Subul al-Salam Juz. II, (Mesir: Tijariyah Kubra, t.t), hal. 192.

[73]Abu Hamid al-Gazaly, Al-Mustashfa fi `Ilm al-Usul…, hal. 46.

[74]Hadith tersebut dirawikan oleh Al-Turmuzi. Lihat. Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 306.

[75]Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam…, hal. 482.

[76]Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul…,  hal. 224.
[77]Ibid.

[78]Wahbah al-Zuhaily, Usul al-Fiqh al-Islamiyyi…, hal. 1228.

[79]Nasrun haroen, Ushul Fiqh. I..., hal. 203.
[80]Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqg al-Islamiyyi…, hal. 1231.
[81]Lihat Al-Nawawi, Al-Majmu` Syarh al-Muhazzab, Juz. I, (Beirut: Dar al-Fikr al-`Arabiyyi, t.t), hal. 42-45.

[82]Nama tingkatan mujtahid yang keempat ini oleh Ibnu Subki disebut dengan mujtahid fatwa. Sedangkan mujtahid takhrij diberikan oleh al-Suyuthi. Lihat Taj al-Din bin `Abd al-Wahhab bin `Ali al-Subki, Jam al-Jawami`, juz. II,  ( Indonesia: Dar al-Ihya` al-Kutub al-`Arabiyyah, t.t), hal.38.

[83]Dugaan ini didasarkan pada fakta bahwa karya-karya usul fiqih kontemporer menyebutkan bahwa tingkatan itu ialah tingktatan ijtihad bukan mufti. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam Usul fiqh karya Abu Zajrah, al-Qardhawi, Muhammad Khuzari Beik, Wahbah al-Zuhaili dan sebagainya.

[84]Muhktar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma`arif, 1997), hal. 383-384. Lihat Juga. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 157.

[85]M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 59-60. Lihat Juga. Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi`I, ( Jakarta: Tarbiyah, 1994), hal. 75. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami…, hal.384.

[86]Djazuli, Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam..., hal. 158.

[87]Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi`i…, hal. 75. Lihat Pula. Muhammd Abu Zahrah, Usul Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Mua`sir, 1989), hal. 47-48. Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid.I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 118. Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami…, hal. 384.

[88]Menurut al-Nawawi dalam khutbah muqadimah-nya sebagai rasa tawadhu`nya menyatakan bahwa kitab al-Muharrar adalah kitab yang memiliki prestise yang besar, kuat argumentasinya, banyak faedah, pedoman bagi pen-tahqiq mazhab,  para mufti dan lainnya dalam mazhab Syafi`i. Lihat. Muhyi al-Din Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin wa `Umdat al-Muftin, ( Bandung: Al-Maarif, t.t), hal. 2. Lihat juga Syarahannya. Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli, Bandung: syirkah Nur Asia, t.t), hal. 10
 
[89]Muhyi al-Din al-Nawawi, Minhaj al-Talibin...  (Bandung: al-Maarif, t.t), hal. 2.Al-Nawawi dalam kitab ini tidak menyebutkan jumlah penambahan terhadap kitab al-Muhaharar. Yang menyebutkan jumlah penambahan tersebut adalah Jalal al-Din al-Mahalli. Lihat Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli..., hal. 11. Selanjutnya Jalal al-Din al-Mahalli melalui syarahannya Al-Mahalli mensyarahkan (menguraikan) maksud dan tujuan dari ringkasan yang ditulis oleh al-Nawawi. Tidak lupa pula Syihab al-Din al-Qulyubi dalam kitabnya Qulyubi  membuat pembahasan yang sama. Demikian juga `Umairah dalam karyanya `Umairah.

[90]Lihat. Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin.., hal. 2. Lihat Juga. Syarah Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli…, hal. 12. Juga disebutkan dalam syarahannya .Syihab al-Din al-Qulyubi, Hasyiah Qaliyubi,(Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t), hal. 12. `Umairah, Hasyiah `Umairah, (Surabaya: Syirkah Nur Asia, t.t),  hal.12.

[91]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2. Lihat Juga. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…,hal. 12.
[92]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2.  Lihat Juga. Jalal al-Mahalli, al-Mahalli… hal. 12.

[93]Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2.  Lihat Juga. Jalal al-Mahalli, al-Mahalli… hal. 12-13.

[94]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal. 13.

[95]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal. 13.
[96]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal. 13.

[97]Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal. 13.

[98]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal. 13.

[99]Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal. 13.

[100]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal. 13.

[101]Al-Nawawi, Minhaj…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal.13.

[102]Al-Nawawi, Minhaj…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli…, hal.14.

[103]Al-Nawawi, Minhaj…, hal. 2. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahali…, hal. 14.

[104]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,  (Jakarta: Balai Pustaka, 1982),        hal. 649.

[105]Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hal.  1.

[106]Kuncaraninggrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gema Media, 1981), hal. 16.

[107]Abdullah bin Nuh & Umar Bakri, Kamus Arab – Indonesia- Inggeris, (Jakarta: Mutiara, 1974), hal. 246.

[108]Ibrahim Hosen, Memecahkan Persoalan Hukum Baru, ( Ijtihad dalam Sorotan),  (Bandung: Mizan, 1988), hal. 25  

[109]Syarif `Ali Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta`rifat, (Singapura: Jedah al-Haramain, t.t),    hal. 92.  
[110]Louis Ma`luf, Al-Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hal. 786.

[111]Syarif  `Ali al-Jurjani, Al-Ta`rifat…, hal. 22.

[112]Imam Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustasfa min `Ilmi al-Usul, (Mesir: Matba`ah al-Risalah, 1971), hal. 260. 
[113]Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 97. Lihat juga. Abi Yahya Zakariya al-Ansari, Ghayat al-Wusul Syarah lab al-Usul, (Semarang; Toha Putra, t.t), hal. 147.

[114]Al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Juz. IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.t),   hal. 218. 
[115]Al-Subki, Jam`u al-Jawami`, Juz II, (Indonesia: Maktabah Dar Ihya` al-Kutub  al-`Arabiyyah, t.t), hal. 379.

[116]Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq Haqiqi min `Ilm al-Usul, (Mesir: Maktabah Muniriyyah, t.t), hal. 250. 

[117]Zakiyuddin Sya`ban, Usul al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Matba`ah Dar al-Ta`lifa, 1965),       hal. 206. Lihat pula. Muhammad Salam Madkur, Al-ijtihad Fi al-Tasyri` al-Islamy, (Mesir: Dar al-Nahdah al-`Arabiyah, 1984), hal. 31.

[118]Muhammad Khuzari Beik, Usul al- Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr, 1981), hal. 5.

[119]Ma`ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal ila `Ilm Usul al-Fiqh, (Libanon: Dar al-Kutub al-Jadid, 1965), hal. 422. Pembagian yang hampir serupa dikemukakan oleh Al Yasa Abu Bakar dalam tesis beliau yang berjudul "Metode Istinbath Fiqih di Indonesia, (Kasus-kasus  Majelis Mudzakarah Al Azhar), (Yogyakarta: Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1983), hal. 2-3.

[120]`Ali Hasballah, Usul al-Tasyri` al-Islamy, (Al-Qahirah: Dar al-Ma`arif, 1964), hal.173.

[121]`Abdul Wahhab khallaf, `llmu Usul al-Fiqh…, hal. 140. Bandingkan dengan Wahbah Zuhaili, Usul Fiqh al-Islamy..., hal. 197.
  
[122]Al Yasa Abu Bakar, Diktat Usul Fiqh, (Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, 1987), hal. 36.

[123]Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr al-`Arabi, 1958), hal. 156. Bandingkan dengan. Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul…, hal. 98. Bandingkan pula dengan. Mustafa Sa`id al- Khin, Athar Al-Ikhtilaf fi al-Qawa`id al-Usuliyyat fi Ikhtilaf al-Fuqaha`, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1972), hal. 195.

[124]Fati al-Durayni, Al-Manahij al-Usuliyyat fi al-Ijtihad bi al-Ra`yi fi al-Tasyri` al-Islamy, (Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadith, 1975), hal. 536. Lihat pula. Abu Bark Muhammad Ibnu Muhammad al-Sarakhsi, Usul al-Sarakhsi, (Tahqiq Abu al-Wafa al-Afghani), jilid I, (Beirut: Dar al- Kutub al-`Ilmiyyah, 1993), hal. 133.

[125]Mukhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung:  al-Ma`arif, 1977), hal. 181.

[126]Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, Terj. Mudzakir AS, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1992), hal. 348.

[127]Rahmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 212.

[128]Lihat Al-Amidi, Al-Ihkam…, hal. 6. Bandingkan dengan. Al-Qarafi, Tanqih al-Fusul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hal. 126. 

[129]Al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul…, hal. 96. 

[130]Mustafa bin Muhammad bin Salamah, Al-Ta`sis fi Usul al-Fiqh`Ala Dau`i al-Kitab wa al-Sunnah, (Qahirah: Maktabah al-Haramain li al-`Ulum al-Nifi`ah, 1415 H), hal. 293. 

[131]Mustafa bin Muhammad, Al-Ta`sis…, hal. 311.

[132]Badran Abu `Ainain, Bayan al-Nusus al-Tasyri`iyyah, (Misra: al-Ma`arif, 1969), hal. 100. Bandingkan dengan Abu Zahrah, Usul al-Fiqh…, hal. 156.

[133]Lihat Hasan Ahmad Khatib, Al-Fiqh al-Muqaran, (t.t.p: Matba`ah Dar al-Ta`lif, 1957),           hal. 270-271.

[134]Muhktar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum…, hal. 259.
[135]Mukhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-dasar…, hal. 259-260. Lihat pula Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh…, hal. 293-294.

[136]Al Yasa Abu Bakar, Metode Istinbath…, hal. 28.

[137]Ahmad bin Muhammad al-Sawi, Al-Sawi, (t.tp: t.p, t.t), hal. 15.
[138]Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh…, hal. 317.

[139]Mukhtar Yahya, Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum…, hal. 276.

[140]Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh…, hal. 321.

[141]Zakiyuddin Sya`ban, Usul al-Fiqh al-Islamy…, hal. 345.

[142]Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh…, hal. 336. Bandingkan dengan. Al-Sarakhsi, Usul al-Sarakhsi…, hal.168

[143]Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh…, hal. 336.  Lihat pula. Al-Sarakhsi, Usul…, hal.168.

[144]Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli, Juz. I, (t.tp: Syirkah Nur Asia, t.t), hal. 12.
  
[145]Wahbah Zuhaili, Usul al-Fiqh..., hal.341.

[146]Muhktar yahya, Fatchurrahman, Dasar- dasar..., hal. 290. 

[147]Al Yasa Abu Bakar, Metode Istinbath…, hal. 33-34.

[148]Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, (t.tp: Muassasah Qurtubah, 1987), hal. 353.

[149]Muhammad Adib Salih, Masadir al-Taysri` al-Islamy wa Manahij al-Istinbat, (Damsyiq: al-Matba`ah al-Ta`awuniyah, 1968), hal. 293. 

[150]Wahbah Zuhaili, Usul  al-Fiqh…, hal. 351 .

[151]Muhammad Adib Salih, Masadir al-Tasyri`…, hal. 296.

[152]Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an…, hal. 358.

[153]Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah (Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab)…, hal. 16. Dalam berbagai definisi, `illat diartikan sebagai keadaan atau sifat yang jelas, dapat diukur, dan mengandung relevansi sehingga dapat diduga secara kuat bahwa itulah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan yang ditetapkan Allah. Sebagai contoh tentang kebolehan mengqasarkan salat bagi musafir. Musafir dipandang sebagai `illat karena keadaannya jelas, perjalanannya dapat diukur baik jarak maupun waktu serta adanya relevansi antara musafir dengan mengqasar shalat, yaitu kemudahan. Kesukaran (masyaqqah) tidak bisa dijadikan `illat karena kesukaran sifatnya absrak dan tidak dapat diukur. Lihat Rafi`i Nazari, `Illat dan Dinamika Hukum Islam, Disertasi, (Jakarta: IAIN Sahid, 1991), hal. 219.

[154]Al Yasa Abu Bakar, Metode Istinbath…, hal. 40. Lihat pula. Al Yasa Abu Bakar, "Teori `Illat dan Penalaran Ta`lili," dalam Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosda Karya, 1994),      hal. 179.

[155]`Illat tasyri`i ialah `illat yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu ketentuan masih perlu dipertahankan atau diubah karena `illatnya telah bergeser atau karena tujuan yang diinginkan akan tercapai jika meninggalkan `illat yang ada. Contohnya: `illat tentang zakat hasil pertanian adalah makanan pokok, dapat ditakar dan tahan lama, tetapi Qaradawi menemukan `illat baru yaitu al-nama` (produktif), oleh karena itu seluruh jenis tanaman yang bernilai ekonomis dan produktif wajib zakat. Lihat Yusuf Qaradawi, Hukum Zakat…, hal. 337. `Illat qiyasi yaitu pemberlakuan `illat terhadap sesuatu yang tidak disebutkan secara tekstual karena adanya kesamaan dengan sesuatu yang telah disebutkan secara tekstual. Contohnya: haramnya minuman keras, seperti wiski, brandi dan sebagainya karena adanya kesamaan `illat dengan khamar yaitu sama-sama memabukkan. `Illat istihsani (qiyas khafi), yaitu: `illat pengecualian, karena adanya `illat yang tersembunyi, sehingga `illat tasyri`i dan `illat qiyasi harus ditinggalkan. Contoh: Kehalalan sisa daging yang dimakan burung elang. Sebenarnya burung elang tergolong jenis binatang buas, daging binatang buas dan sisa makanannya adalah haram  Menurut qiyas jali hukumnya haram karena diqiyaskan kepada binatang buas lainnya. Namun menurut Abu Hanifah, binatang buas selain elang makan sesuatu dengan mulutnya, sementara elang makan sesuatu dengan paruhnya, jadi ada perbedaan di antara keduanya. `Illat istihsani lebih banyak digunakan oleh kalangan Hanafiyah. Lihat al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul…, hal. 285.

[156]Mustafa Syalabi, Ta`lil al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Nahdah al-`Arabiyah, 1981), hal. 13-34.

[157]Zakiyuddin Sya`ban, Usul al-Fiqh…, hal. 131-132.

[158]Muhammad Mustafa Syalabi, Ta`lil al-Ahkam…, hal. 158-160.  32

[159]`Illat yang diketahui melalui isyarat, seperti larangan jual beli ketika khutbah dan salat jum`at sedang berlangsung. Penyebutan larangan jual beli memberi isyarat bahwa salat jum`at itulah yang menjadi `illat larangan tersebut. `Illat yang ditemukan melalui ijma`, seperti disepakatinya al-sighar (belum dewasa) sebagai `illat bagi perwalian harta.

[160]Al-munasabah atau takhrij al-manat ialah mencari `illat yang lebih relevan dengan tujuan syariat yakni mewujudkan kemaslahatan dan menjauhkan kemudaratan. Sementara al-sabr wa al-taqsim atau tanqih al-manat atau istidlal bi al-hukm al-nas adalah `illat yang ditemukan dengan menyaring beberapa `illat (`illat asumtif) yang dengannya dijadikan sebagai `illat hukum (`illat definitife).  Adapun tahqiq al-manat adalah meneliti kembali terhadap `illat asal untuk keperluan analogi, apakah `illat tersebut bisa dikenakan terhadap masalah baru. Lihat. `Abd al-Hamid al-Hakim, Al- Sullam, (Jakarta: Sa`adah Putra, t.t), hal. 121.

[161]Peunoh Dali, "Menelusuri Pemikiran Maslahat dalam Hukum Islam", Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Penyunting: Iqbal Abdurrauf Saimin, (Jakarta: Panji Mas, 1988), hal. 149- 161.

[162]Ali Yafie, "Konsep-konsep Istihsan, Istislah, dan Maslahat al-`Ammah, Budi Munawar Rahman (ed.), (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 366-367.

[163]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin..., hal. 4.

[164]Hadith ini dapat diperhatikan dalam poin D mengenai contoh-contoh tarjih.
[165]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 4. Lihat. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahally, Jilid. I, (Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t), hal. 55. Lihat Juga. Imam al-Syarqawi, Al-Syarqawi `Ala al-Tahrir,  Jilid.I, (Surabaya: Syirkah Bengkul Indah, t.t), hal. 52.

[166]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 42.

[167]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…,  hal.4.

[168]Mahmud Syaltut dan Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih,  Terj.  Ismuha, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 47. Lihat Juga. Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`I, Hanbali, Terj. Maskur AB Dkk, (Jakarta: Lentera Basritama, 2005), hal. 25.

[169]Muhammad Nasiruddin al-Bani, Sahih Sunan Abu Daud, Riyadh: Maktabah al-Ma`arif, 1998), hal. 68.
[170]Imam Syarqawi, Al-Syarqawi `ala Tahrir…, hal. 53. Lihat Pula. Mahmud Syaltut dan `Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih…,  hal.47

[171]Hadith Ibnu Umar ini diriwayatkan oleh Muslim. Lihat Imam Syarqawi, al-Syarqawi`ala Tahrir…, hal. 53.

[172]Ibid,.Yang dimaksud Ijma sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkansebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah men eliti pendapaty mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Lihat. Nasrun Haroen,  Ushul Fiqh I…, ha. 57.

[173]Al-Hafidh Ibnu Hajr al-`Asqalani, Bulugh al-Maram…, Nomor Hadith. 60, hal. 54.

[174]Mahmud Syaltut dan Muhammad Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih…, hal.48.

[175]Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli…, hal. 55.
[176]Muhammad Fuad Abd al-Baqy, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Jilid. I,  (Indonesia: Maktabah  Dahlan, 1954), hal. 427.

[177]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin..., hal. 8.  Lihat juga. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli, jilid. I..., hal. 113.

[178]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid ,  Jilid. I, (Semarang: Toha Putra, t.t) hal. 69. Lihat Juga. Muhammad Abdul Aziz Al-Halawy, Fatwa dan Ijtihad Umar Khaththab (Ensiklopedi Berbagai Persoalan Fiqih), Terj. Zubeir Suryadi Abdullah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), hal. 54.

[179]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 8. Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli, jilid. I...,      hal. 113. Ibrahim al-Bajury, Al-Bajury, Jilid. I, (Toha Putra: Semarang, t.t), hal. 126. Lihat Juga. Jalal al-Din Al-Mahally, Al-Mahally..., hal. 113.

[180]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, hal. 87.

[181]Hadith tersebut dapat dilihat pada Al-Sayid Sabiq…, Fiqh al-Sunnah…, hal. 88.

[182]Al-Nasa`i, Sunan al-Nasa`i, Juz. I, (Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1995), hal. 184.

[183]Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli, jilid. I..., hal. 113. lihat juga. Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, jilid. I, (Semarang:Toha Putra Semarang,t.t), hal. 69. Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid.I..., hal. 87.

[184]Ibrahim al-Bajuri, Al-Bajuri…, hal. 126.

[185]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin..., hal. 8.

[186]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah…, hal. 87.

[187]Al-Nawawi, Rawdat al-Talibin Wa `Umdat al-Muftin, Juz. I,  (Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1991), hal. 181.

[188]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Jilid. I, (Semarang: Toha Putra, t.t), hal. 69.

[189]Yusuf Qardawi, Hukum Zakat (Studi Komparatif Mengenai Status dan Filsafat Zakat Berdasarkan Qur`an dan Hadis), Terj. Salman Harun Dkk, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006),    hal. 312.

[190]M. Ali Hasan, Tuntunan Puasa dan Zakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 153. 

[191]Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz. I…, hal. 361-362. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah…, hal. 291. Sementara Hadith lain yang diriwayatkan oleh al-Hakim berdasarkan syarat-syarat Bukhari dan Muslim, menyebutkan, yang artinya: "… Dalam unta, sapi, kambing atau biri, dan pakaian yang diperjual belikan, kesemuanya itu ada zakatnya." Lihat. Al-Syarqawi, al-Syarqawi `ala al-Tahrir,     juz. I, (Singapura: Al-Haramain, t.t), hal. 354.

[192]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 27.

[193]Muhammad Jawwad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab (Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali), …, hal. 187.

[194]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 28. Lihat Juga Jalal al-Din al-Mahali, al-Mahali, Jilid. II…,hal. 27.

[195]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 28. Lihat Pula Jalal al-Din al-Mahali, al-Mahali…,       hal. 27.

[196]Muhammad Jawwad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab (Ja`fari, Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hambali), …, hal. 187.

[197]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…, hal. 28. Lihat Pula Jalal al-Din al-Mahali, al-Mahali…,       hal. 27.

[198]Yusuf Qardawi, Hukum Zakat…, hal. 314.

[199]Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli..., hal. 27.

[200]Yusuf Qardawi, Hukum Zakat…, hal. 314.

[201]Syihab al-Din al-Qalyubi, al-Qalyubi,  (Semarang, Toha Putra Semarang, t.t), hal. 14.

[202]Jalal al-Din al-Mahalli, al-Mahalli, Jilid. IV..., hal.14.Lihat. Daud bin Abdullah Fatani, Furu` al-Masa-il, Juz. II,  (Singapura: Al-Haramaini, t.t), hal.252. Lihat juga. Ibrahim al-Bajury, al-Bajury, Juz. II, (Semarang: Toha Putra, t.t), hal. 158. Lihat juga. Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 264. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam(Hukum Fiqh Lengkap), (bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003), hal. 411.

[203]Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab…, hal. 494.

[204]Abu Malik Kamal Sayyid Salim,  Fiqh al-Sunnah li al-Nisa`, (Arab Saudi: Dar al-Bayan          al-Hadithah, 1422), hal. 577.

[205]Hadith ini tersebut dalam kitab Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid. II…, hal. 265.

[206]Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim, Fiqh al-Sunnah li al-Nisa`…, hal. 577. Lihat pula.       Al-Syarqawi, Al-Syarqawi `ala al-Tahrir, juz. II, (Surabaya: Syirkah Bengkul Indah, t.t), hal. 317.

[207]Ibnu Ruysd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, Jilid.II, (Semarang: Toha Putra Semarang, t.t), hal. 79.

[208]Al-Nawawi, Minhaj al-Talibin…,  hal.101.

[209]Jalal al-Din al-Mahalli, Al-Mahalli, Jilid. IV..., hal. 14.

[210]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid.., hal. 79.