BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Munculnya periode taqlid merupakan salah satu faktor
kemunduran umat Islam dalam pengembangan hukum Islam. Pada masa itu
ulama-ulama lebih cenderung mengikuti pendapat yang ada tanpa bersusah payah
untuk berijtihad kembali.
Mereka terpaku kepada teks yang sudah di tulis oleh ulama-ulama sebelumnya.
Keterpakuan pada teks-teks yang telah di tulis ulama sebelumnya mengakibatkan
hilangnya kebebasan berpikir dan keterbelengguan akal dan pikiran di samping
itu juga pemaksaan aliran mazhab tertentu oleh penguasa. Seperti yang terjadi
pada masa khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Wathiq.
Pada
periode taqlid ini juga muncul anggapan bahwa pendapat imam mazhab sepadan dan
sejalan dengan nash al-Qur'an dan Hadits, tidak dapat dirubah, digugat dan
diganti,
serta munculnya pendapat-pendapat ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup (
insidad al-ijtihad), yaitu pada abad ke IV. Hal ini berdasarkan kepada fakta sejarah yang
mengatakan bahwa Ibnu Jarir al- Tabari (wafat 310 H),
sebagai ulama yang terakhir, dan sesudah itu tidak ada lagi ulama yang memiliki kualifikasi
mujtahid mustaqil (
mujtahid mutlaq).
Tetapi vang ada hanyalah
mujtahid
muqayyah (
al-mutanasib). Terdapat
beberapa analisa yang mengatakan bahwa
munculnya pendapat pintu ijtihad itu telah
tertutup disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: munculnya
hubb
al-dunya (kecintaan kepada dunia)
di
kalangan ulama, adanya perpecahan politik karena pada periode ke III
Dinasti
Abbasiyah, khalifah menjadi boneka dan negara bagian yang saling
berselisih,
serta timbulnya perpecahan aliran-aliran mazhab.
Pembukuan
mazhab mengkultuskan imam mereka setinggi-tinnginya pada akhirnya mereka
memperluas dan memperjelas pendapat imam
mereka, dengan beberapa cara yaitu :
1. Menjelaskan
dan mencari `illat (alasan) hukum yang telah di istimbatkan oleh
imam-imam mujtahid.
2. Munculnya pentarjihan-pentarjihan antara pendapat
yang berbeda dalam mazhab mujtahid.
Adapun bentuk
pentarjihan yang mereka lakukan pada periode ini terdiri dari dua bentuk, yaitu
:
- Tarjih al-riwayah, yaitu tarjih di mana bila
terjadi perbedaan dalam penukilan-penukilan dari imam mereka terhadap
berbagai kasus dalam fiqh, ulama-ulama berikutnya mentarjih riwayat orang
terkenal kemasyhuran dan kecermatannya, seperti dikuatkan al-Rabi'i (w.
270 H), yang apabila bertentangan dengan riwayat al-Muzanni (w. 264 H)
dalam men-tarjih perbedaan pendapat imam al-Syafi’i.
- Tarjih
al-dirayah (tarjih pemikiran). Dalam melakukan pentarjihan pemikiran
ini, mereka mentarjih pendapat imam mereka sendiri apabila terjadi
perbedaan pendapat atau antara pendapat imamnya dengan pendapat para murid
dan pengikutnya. Mereka mentarjih pendapat yang lebih sesuai dengan usul
imamnya dan yang lebih dekat kepada al-Qur’an, Hadith dan qiyas.
Pentarjihan
ini muncul sesudah tidak ada lagi orang yang dianggap sanggup berijtihad secara
bebas, bahkan di waktu sebahagian ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
sudah tertutup, maka yang muncul kemudian
adalah orang berbondong-bondong
untuk melakukan tarjih bila tarjih perbedaan pendapat antara satu ulama dengan
ulama lainnya. Anggapan tidak ada lagi mujtahid mutlaq terus berkembang. Ini
terlihat dari komentar ulama terkenal seperti at-Ghazali “sesungguhnya tidak terisi
zaman ini dengan mujtahid mutlaq juga imam Abu Ishaq at-Syairazi mengatakan
“Tidak boleh kosong zaman harus ada seorang mujtahid” dan banyak lagi komentar
ulama yang lainnya.
Dari berbagai komentar ulama terdahulu tidak secara tegas mengatakan pintu ijtihad
telah tertutup, juga dalam sejarah tidak ditemukan data otentik tentang ulama
yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Imam
Mal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti salah seorang ulama Syafi’yyah yang
terkenal (w. 911 H) menolak wacana bahwa ijtihad sudah tertutup. Lebih lanjut
ia mengatakan bahwa ijtihad terus berkembang selamanya hingga akhir zaman
karena ulama-ulama mazhab mengemukakan dalil-dalil dan pendapat tentang
keharusan berijtihad dan mencela taqlid juga melarang bertaqlid pada mereka dan
menyuruh untuk berpikir
sebagaimana disebutkan dalam hadist, yaitu:
عن ابى
هريرة رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يبعث الله على راس كل
مائة سنة من يجد د لهذه الامة امردينها (رواه ابوداودالحاكم والبيهقى)
Artinya : “Dari
Abu Hurairah ra ia berkata: Bahwa Nabi SAW bersabda: Allah mengutus dalam tiap
seratus tahun dari orang-orang yang memperbaharui urusan agama”.
Sebagian
ulama memahami hadist di atas, bahwa
tajdid (pembaharu agama) dalam
pengertian menetap kembali syari’ah bukan sebagai suatu upaya munculnya kembali
mujtahid mutlaq, melainkan mujtahid mazhab (
mujtahid
tarjih).
Dari
beberapa komentar di atas sepertinya ulama mengatakan bahwa pintu ijtihad bisa
terus terbuka dengan memahami bahwa ijtihad itu dibutuhkan. Di sini persoalan
yang muncul kemudian adalah mungkinkah ada mujtahid mutlaq sekaliber imam
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dalam hal ini Sirajuddin Abbas salah
seorang yang berpegang teguh kepada mazhab Syafi’i mengatakan sampai saat ini
(abad ke-20 M) belum ada yang mampu mencapai tingkatan
mujtahid mutlaq.
Imam Nawawi
yang hidup pada abad Ke VII ini merupakan salah seorang tokoh pengikut mazhab
imam Syafi’i yang membela mazhab imamnya sama halnya dengan ulama sebelumnya
seperti imam a--Ghazali, al-Mawardi,
al-Juwaini, dan lainnya yang telah mengembangkan pendapat imam Syafi’i
dalam karyanya masing-masing serta mengemukakan dalil dan mencari
'illat
(alasan yang logis) serta mengulas dan menguraikan
furu' fiqh secara
lengkap sesuai kemampuannya. Imam Nawawi dinilai sangat ahli dalam bidang
Hadist, fiqh, bahasa dan lainnya. Karena keilmuannya ini ulama mutakhkhirin
menganggapnya sebagai
mujtahid tarjih
dalam mazhab Syafi'i sama halnya dengan imam al-Rafi' i.
Kitab
Minhaj al-Talibin
merupakan salah satu kitab karya imam Nawawi yang disyarah oleh Jalal al-Din
al-Mahalli (W.864 H) yang diberi namanya
Kanz
al-Raghibin dan dikomentari oleh Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad al-Qalyubi (W.
1069 H), ia secara tegas mengatakan bahwa Abu Qasim 'Abd al-Karim al- Rafi'i
(W. 623 H) merupakan orang yang mula-mula men-tarjih pendapat yang berbeda
dalam mazhab Syafi'i . Kemudian muncul al-Nawawi sebagai penerusnya.
Bahkan ada di antara ulama kemudian mengatakan, apabila terjadi pertentangan dalam mentarjih antar al-Nawawi
dengan al-Rafi'i, maka yang didahulukan adalah pendapat yang di-tarjih
al-Nawawi. Di samping mereka menentukan urutan pendapat yang kuat dalam mazhab
Syafi'i adalah hukum yang disepakati oleh Syaikhani (imam al-Nawawi dan
al-Rafi'i) kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi kemudian al-Rafi’i, kemudian
yang di-tarjih oleh ulama-ulama lain yang alim dan yang wara’, dan yang di
pastikan oleh para pen-tahqiq muta'akhirin seperti syekh Zakaria al-Ansari,
Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Ziyad dan lainnya.
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Beranjak dari pembahasan ini, yang menarik perhatian penulis adalah
mengenai imam al-Nawawi digolongkan ke dalam mujtahid tarjih dalam mazhab
Syafi'i. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah :
1.
Apa latar belakang ia men-tarjih pendapat pendapat yang berbeda dalam mazhab
al-Syafi`i.
2.
Langkah-langkah apa saja yang ditempuhnya dalam mentarjih salah pendapat
Al-Syafi`i.
3. Metode apa yang digunakan dalam men-tarjih pendapat tersebut, baik antara imam Syafi’i
maupun perbedaan antara pendapat Syafi'iyah.
2. Batasan
Masalah
Menurut anggapan sementara penulis bahwa, Nawawi
dalam kitab Minhaj al-Talibin
hanya menjelaskan pendapat dengan menggunakan tanda kata al-Azhar,
al-Masyhur, al-Jadid, al-Nash
sebagai pendapat yang kuat imam Syafi’i.
sedangkan kata al-Ashah dan al-Sahih, sebagai pendapat ashab
al-wujuh Syafi'i yang kuat. Dengan demikian yang ingin dikaji adalah
bagaimana menentukan kuat-tidaknya dalil menurut Nawawi dalam melakukan
pen-tarjihan.
Kitab Minhaj al-Talibin merupakan kitab
fiqh yang pembahasannya sangat luas
karena di dalamnya terdapat fiqh iftiradi (fiqh pengandaian-pengandaian)
dan kasus furu`nya yang banyak. Untuk membatasi permasalahan akan diambil
beberapa contoh kasus tarjih tentang ibadah, mu'amalah, dan munakahat.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk
menemukan metode yang dikembangkan Nawawi dalam menyelesaikan perbedaan
pendapat Syafi'i atau pendapat ulama Syafi'iyyah dan mencari langkah-langkah
yang digunakannya serta latar belakang melakukan pentarjih-an. Di samping itu
dapat memperluas wawasan tentang pen-tarjihan yang dilakukan oleh Nawawi,
terlebih lagi bagi orang awam yang tidak mampu berijtihad dan hanya berpegang
kepada pendapat yang kuat saja. Mengingat bahwa sampai saat ini masyarakat
Indonesia dan masyarakat Aceh pada khusus adalah orang yang masih kuat
berpegang kepada mazhab Syafi'i yang berbaur dengan apa yang telah ditarjih
oleh Nawawi. Dan banyaknya kitab-kitab yang
beredar di kalangan masyarakat seperti Tuhfat
al-Muhtai ala Syarh al- Minhaj karangan Ibnu Hajar al-Haitami (W. 974 H), Mughni
al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini (W. 977 H), Nihayat al-Muhtaj
karangan Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Syihab al-Din al-Ramli (W
1004 H). Juga banyak kitab dalam bahasa jawi yang rata-rata merupakan
pendapat Syafi'iyah yang sudah di-tarjih.
Sehingga dapat memberikan gambaran tentang pen-tarjihan yang dilakukan
Nawawi.
2. Kegunaan Penelitian
Dengan kajian ini dapatlah kiranya
bermanfaat yang ingin mendalami dan mengkaji ulang terhadap pendapat ulama
terdahulu dan dalil-dalilnya dalam mazhab Syafi'i khususnya bagi orang yang
masih ber-taqlid kepada ulama Syafi'iyyah, dan dapat mengetahui kenapa pendapat
itu kuat dan kenapa yang lainnya dhaif.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai rujukan dasar dalam pembahasan
ini adalah kitab Minhaj al Talibin
karangan imam Nawawi. Penulis melihat kitab ini lebih selektif dalam
menjelaskan persoalan dengan menggunakan istilah dalam pen-tarjihan pendapat,
terlebih lagi kitab yang disyarah oleh Jalal
al-Din al-Mahalli (W. 835 H) dalam kitabnya Kanz al-Raghibin bahkan
kitab ini dijadikan sebagai rujukan fiqh dalam mazhab Syafi'i bagi Mahasiswa SI
(strata satu) di Universitas al Azhar pada Fakultas Syari'ah. Juga kitab ini dipakai oleh kaum santri di
Pesanteran Tradisional di nusantara ini. Kitab ini sudah diberi syarah dan
komentar oleh Imam Qalyubi dan Umairah,
dari sisi ini ada beberapa metode yang digunakan Nawawi dalam melakukan tarjih.
E. Metode Penelitian
1. Sumber dan Tekhnik Pengumpulan Data
Penelitian
ini termasuk dalam katagori penelitian kepustakaan. Oleh Karena itu pengumpulan
data melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka sebagai sumber data.
Sumber data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berupa literatur yang
terkait langsung dengan subtansi penelitian ini.
Sumber data dibagi dalam dua
katagori, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan
sumber yang merujuk langsung kepada kitab Minhaj al-Talibin seperti Syarh JaIal al-Din al-Mahali, Nihayah
al-Muhtaj, Mugni al-Muhtaj dan Tuhfah al-Muhtaj sebagai sumber sekunder
juga digunakan beberapa kitab lain sebagai rujukan yang ada hubungannya dengan
pendapat Nawawi seperti Majmu' Syarh
al-Muhadhdhab, Rawdah al-Talibin, dan beberapa kitab yang lain seperti Syarh al-Wajiz atau lebih di kenal
dengan Syarh al-Kabir karangan
al-Rafi'i. Serta beberapa kitab lain yang ada relefansi dalam kajian ini
sebagai pendukung data primer di atas.
Tekhnik pengumpulan data primer
adalah mengumpulkan semaksimal mungkin kitab yang dianggap paling urgen yang
menyangkut dengan masalah penelitian ini, kemudian dikaji, dianalisa dan
memilah data-data terseleksi berdasarkan poin-poin permasalahan terkait.
Sedangkan tekhnik pengumpulan data sekunder adalah mengumpulkan
data dari berbagai tulisan, baik berupa kitab Arab dan buku-buku Indonesia.
Setelah mengumpulkan data tersebut langkah selanjutnya adalah mengkaji,
menganalisa, dan memilah-memilah data yang terseleksi untuk mendapatkan data
yang jelas, akurat dan benar yang mendukung data primer.
2. Analis Data
Setelah data terkumpul melalui
beberapa leteratur yang dijadikan sumber dalam penelitian ini, lalu dilakukan
pemahaman dan analisa contoh-contoh kasus pen-tarjih-annya dan hasil pengkajian
akan terungkap metode yang digunakan dalam men-tarjih-kan pendapat-pendapat
baik imam Syafi'i maupun ulama Syafi'iyah. Untuk kemudian mengambil kesimpulan
terhadap apa yang diteliti dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan Content
analisis, hasil itu akan menjadi j awaban terhadap masalah yang diteliti.
F. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini akan dijelaskan
beberapa hal yang berkenaan dengan judul: "Metode Tarjih Nawawi dalam
Menyelesaikan Perbedaan Pendapat dalam Mazhab Syafi'i"
dengan menempuh beberapa langkah yang dijadikan sebagai sistematika pembahasan
yaitu :
Bab Pertama berupa pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, kemudian rumusan masalah, lalu tujuan dan kegunaan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan..
Bab Kedua
akan dijelaskan sejarah ringkas imam Nawawi yang meliputi di dalamnya riwayat
hidupnya, karya-karya, setting sosial, kedudukan dan pengaruhnya dalam mazhab
Syafi'i.
Bab Ketiga
akan dijelaskan gambaran umum tentang tarjih berupa pengertian tarjih, sejarah,
rukun dan syarat tarjih, landasan tarjih
dan kedudukan tarjih dalam hukum Islam.
Bab keempat akan dijelaskan metode tarjih
Nawawi yang meliputi di dalamnya: Metode pen-tarjih-an perbedaan
pendapat-pendapat imam Syafi'i juga metode Pen-tarjih-an perbedaan pendapat
ulama-ulama pengikut Syafi'i atau yang lebih di kenal dengan ashab al-wujuh atau Syafi'iyyah. Pada
bab ini akan dijelaskan juga langkah-langkah pen-tarjih-an dan beberapa contoh
kasus Fiqh dari tarjih Nawawi.
Bab kelima akan dijelaskan berupa kesimpulan
dari penelitian ini dan saran-saran yang dapat membantu dalam penyempurnaan
penelitian dan perluasan.
BAB II
BIOGRAFI IMAM
AL-NAWAWI
A. Riwayat
Hidup Imam al-Nawawi
Imam al-Nawawi adalah ulama yang paling banyak mendapat cinta dan sanjungan
makhluk. Orang yang mempelajari biaografinya akan melihat adanya wira`i, zuhud,
kesungguhan dalam mencari ilmu yang bermanfaat, amal saleh, ketegasan dalam
membela kebenaran dan amar makruf, nahi munkar, takut dan cinta kepada Allah
dan kepada rasul Nya.
Ia telah melebihi ulama-ulama yang semasa dengannya. Menurut pendapat
yang rajih, ia meninggal dunia sermentara umurnya tidak lebih dari 45 tahun. Ia
meninggalkan berkas-berkas, ketetapan-ketetapan dan kitab-kitab ilmiyah yang
berbobot. Dengan peninggalan-peninggalan tersebut, ia telah menunjukkan bahwa ia melebihi ulama-ulama dan imam-imam
pada masanya.
Imam al-Nawawi adalah seorang ahli hukum
Islam ternama dan ahli hadith yang dipercaya. Nama lengkapnya ialah Yahya Ibnu
Syaraf Ibnu Muri Ibnu Hasan Ibnu Husein Ibnu Muhammad Ibnu Jum`ah Ibnu Hizam al-Hawrani al-Dimasyqi
al-Syafi`i, dengan sebutan Kuniyahnya yaitu, Abu Zakariya al-Nawawi
al-Dimasyqi.
Adapun Imam al-Nawawi dijuluki Abu
Zakariya
karena
namanya adalah Yahya. Orang Arab sudah terbiasa memberi julukan Abu Zakariya
kepada orang yang namanya Yahya karena ingin meniru Yahya Nabi Allah dan
ayahnya, Zakariya
Alaihima al-Salam sebagaimana juga seseorang yang
namanya Yusuf dijuluki Abu Ya`qub, orang yang namanya Ibrahim dijuluki Abu
Ishaq dan orang yang namanya Umar dijuluki Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti
di atas tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah
anak bukan ayah, namun gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar
dari orang-orang Arab.
Gelarnya adalah Muhyiddin.
Namun, ia sendiri tidak senang diberi gelar ini. Ketidaksukaannya itu
disebabkan rasa tawadhu` yang tumbuh pada diri Imam al-Nawawi, meskipun
sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dengan dia Allah
menghidupkan sunnah, mematikan bid`ah, menyuruh melakukan yang makruf, mencegah
perbuatan yang mungkar dan memberi manfaat kepada umat Islam lewat
karya-karyanya yang berbobot.
Ia dilahirkan di Nawa, yaitu sebuah desa sebelah barat daya Damaskus
Syiria pada bulan Muharram tahun 631 H atau bertepatan dengan Oktober tahun
1233 M,
sesuai dengan kesepakatan para sejarawan.
Sementara menurut K.H. Sirajuddin Abbas dalam bukunya
Sejarah
dan Keagungan mazhab Syafi`i, Imam al-Nawawi lahir pada tahun 630 H atau
bertepatan dengan tahun 1234 M.
Perbedaan tahun kelahiran al-Nawawi ini bukanlah suatu yang prinsip, di samping
perbedaan ini pula dengan angka yang tidak terpaut terlalu jauh, dan
kemungkinan besar perhitungan menurut Sirajuddin Abbas adalah akhir tahun 630
H.
Ayah Imam al-Nawawi bernama Syaraf Ibnu Muri adalah seorang yang
terkenal saleh dan taat. Dalam rumah tangga yang taat dan saleh itulah Imam
Nawawi dibesarkan. Diriwayatkan bahwa Nawawi yang terkenal pintar itu, di masa
kecilnya selalu menyendiri dari teman-temannya yang suka mengahabiskan waktu
hanya untuk bermain-main. Dalam kondisi yang demikian, Nawawi yang dari
kecilnya mendapat perhatian besar dari orang tuanya itu, banyak menggunakan
waktunya untuk membaca dan mempelajari al-Qur`an dan mempelajari ilmu-ilmu
agama.
Adapun mengenai sifat-sifat Imam al-Nawawi, sebagaimana yang dilukiskan
oleh al-Zahabi, adalah "Imam al-Nawawi berkulit sawo matang, berjenggot
tebal, berperawakan tegak, berwibawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan
terus bersungguh-sungguh dalam hidupnya, sselalu mengatakan yang benar
meskipunhal itu sangat pahit baginya dan tidak takut hinaan orang yang menghina
dalam membela agama Allah."
B. Perkembangan
pendidikan intelektual Nawawi
Saat Imam al-Nawawi sudah mencapai umur tamyiz (kurang lebih
delapan tahun), Allah membimbingnya agar nantinya mengemban syari`at Islam yang
suci. Pada saat berumur tujuh tahun, sudah memperlihatkan tanda-tanda
bimbingan-Nya kepadanya. Hal itu terjadi pada malam dua puluh tujuh Ramadhan,
yaitu ketika ia tidur di samping ayahnya, sebagaiman yang diriwayatakan oleh
Ibnu al-Aththar dari orang tua Imam al-Nawawi tersingkap rahasia Allah dalam
bulan Ramadhan yang diberkahi yang mana rahasia itu disembunyikan dari
kebanyakan orang. Rahasia tersebut tidak lain adalah Lailatul qadar.
Pada mulanya ia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama-ulama terkemuka
di desa kelahirannya, yaitu pada umur sembilan tahun. Dalam waktu empat bulan
setengah, ia sudah hafal kitab al-Tanbih kemudian dilanjutkan dengan
mengahafal seperempat kitab al-Muhazzab.
Ia terus bersama dengan Syaikh Kamaluddin Ishaq bin Ahmad, kemudian pergi haji bersama
ayahnya. Kemudian setelah umurnya menginjak dewasa, ayahnya merasa tidak cukup
kalau anaknya belajar di desa tempat kelahirannya itu. Maka pada tahun 649 H,
atau bertepatan dengan 1251 M, bersama ayahnya Nawawi berangkat ke Damaskus.
Damaskus di waktu itu tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, dan tempat
kunjungan orang-orang dari berbagai pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu
keislaman. Di kota itu juga terdapat beberapa sekolah agama, dan ada yang
menyatakan tidak kurang dari 300 buah sekolah tersebar di Damaskus waktu itu.
Begitu Nawawi sampai di Damaskus ia langsung berhubungan dengan seorang
alim terkenal, yaitu syech Abdul Kafi ibnu Abdul Malik al-Rabi (w. 698 H), dan
dengan syech Abdurrahman ibnu Ibrahim ibnu al-Farkah (w. 690 H),
dan dari mereka Nawawi banyak belajar. Beberapa waktu kemudian ia dikirim oleh
gurunya itu kesebuah lembaga pendidikan yang terkenal dengan al-Madrasah
al-Rawahiyah, dan di situlah ia tinggal dan banyak belajar.
Sejak kecil Nawawi telah menampakkan kecerdasan dan keseriusannya dalam
mendalami ilmu Islam. Terutama pada usia 19 (sembilan belas) tahun ia pernah
belajar di madrasah al-Rawahiyah
di Damaskus. Ia sangat tekun dalam mencari ilmu pengetahuan khususnya
lmu fiqih dan ilmu Hadith.
Dalam bidang fiqih ia belajar dari ulama-ulama terkemuka dari mazhab
Syafi`i. Di antara guru-guru fiqihnya yaitu: syekh Abu Ibrahin Ishaq ibnu Ahmad
ibnu Uthman al-Maghribi al-Dimasyqi (w. 650 H). Ia juga belajar dari mufti
Damaskus yaitu Abu Muhammad Abdurrahman ibnu Nuh ibnu Muhammad al-Dimasyqi (w.
654 H). Dan dari Abul Hasan Sallar ibnu al-Hasan al-Diamasyqi (w. 670 H), seorang ulama terkenal ahli dalam
seluk-beluk mazhab Syafi`i.
Selanjutnya ia belajar fiqih kepada Ridha bin Burhan, Zaid al-Khalid, Abdul Azis bin
Muhammad al-Anshari, Zainuddin bin Abdul Daim, Imamuddin Abdul Karim
al-Harastani, Zainuddin Khalaf bin Yusuf, Taqiyuddin bin Abi al-Yasar, Jamaluddin
bin al-Sirafi, dan Syamsuddin bin Amr.
Dalam bidang ilmu Hadith ia belajar antara lain kepada al-Hafidh
Ibrahim Isa al-Muradi al-Andalusi al-Dimasyqi (w. 668 H), juga kepada Abu ishaq
Ibrahim ibnu Abi Hafas Umar ibnu Mudar al-Wasiti, dan daripadanya Nawawi
menamatkan pelajaran kitab Sahih Muslim. Kemudian ia belajar Hadith pula kepada
syekh al-Hafiz al-Mutqin Zainuddin Abul Baqa Khalud ibnu Yusuf ibnu Sa`ad
al-Nabulisi (w. 663 H).
Mengenai periwayatan Hadith, banyak juga ulama-ulama yang meriwayatkan
Hadith dari Nawawi. Di antara orang-orang yang meriwayatkan Hadith darinya
ialah: `Alauddin `Ali ibnu Ibrahim al-`Athhar, Abul Hajjaj Yusuf ibnu
Abdurrahman al-Mizzy, `Abduurahman ibnu Ahmad ibnu `Abdul Hadi dan lain-lain. Nawawi menjadi pemimpin dari perguruan Darul
Hadith setelah Ibnu Abi Syamah.
Nawawi tidak hanya ahli dalam dua bidang ilmu pengetahuan tersebut di
atas, namun ia juga ahli dalam bidang ilmu ushul fiqh. Dalam bidang ini ia
belajar kepada Abu al-Fath Umar ibnu Bandar ibnu Umar al-Taflisi al-Syafi`i.
Dengan gurunya ini, ia mempelajari kitab al-Muntakhab merupakan buah karya
al-Fakhru al-Razi, dan sebagian dari kitab al-Mustahsfa hasil karya monumental
al-Gazali dalam bidang usul fiqh.
Selain dari beberapa bidang ilmu tersebut di atas, al-Nawawi juga
mempelajari ilmu Nahwu (gramatika Arab). Dalam ilmu ini ia berguru kepada Ahmad
bin Salim al-Mashri, Ibnu Malik dan al-Fakhr al-Maliki.
Dengan kepiawaian dan kemampuan intelektual Nawawi yang sangat luar
biasa sebagai seorang murid sekaligus sebagai guru, ia telah banyak memiliki
murid-murid yang terkenal lagi alim. Adapun murid-muridnya antara lain:
al-Khatib Sadar Sulaiman al-Ja`fari, Sadr al-Rais al-Fadhil Abu al-Abbas Ahmad
bin Ibrahim bin Mus`ab, Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Daud
al-Dimasyqi yang dikenal dengan Ibnu al-Athathar, Syihabuddin Ahmad bin Ja`wan,
Syihabuddin al-Arbadi, Alauddin bin Atar, Ibnu Abi al-Fath dan al-Mizzi.
Termasuk juga muridnya adalah: Al-Syamsy Muhamad bin Abi Bar bin
Ibrahim bin Abdurrahman bin al-Naqib, al-Nadr Muhammad bin Ibrahim bin
Sa`adillah bin Jama`ah, al-Syihab Muhammad bin Abd al-Khalid bin Utsman bin
Muzhir al-Anshari al-Dimasyqi al-Muqri, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin
Abbas bin Ja`wan, al-Faqih al-Muqri Abu al-`Abbas Ahmad al-Dharir al-Wasithi
yang mendapat julukan al-Jalal dan al-Najam Ismail bin Ibrahim bin salim bin
al-Khabaz.
Dari uraian di atas jelas bahwa, Nawawi kecil sampai menjadi dewasa
telah bergelut dengan berbagai ilmu pengetahuan dan berhadapan dengan
ulama-ulama terkemuka baik di desanya maupun di kota terkenal gudang ilmu
pengetahuan dan ulama pada masa itu yaitu kota Damaskus.
C. Karya-karya
Imam al-Nawawi
Pada tahun 670 H Imam al-Nawawi mulai menulis kitab-kitab yang sangat
bermanfaat. Sebagai salah seorang mujtahid besar dari kalangan mazhab syafi`iyyah,
bahkan ada ulama yang menamainya dengan Syafi`i kecil. Nawawi sejak berusia 25
(dua puluh lima) tahun hingga wafatnya, ia telah banyak menulis kitab baik
dalam kajian fiqih maupun Hadith, serta dalam beberapa kajian lainnya,
dan buah karya ilmiyahnya dapat kita saksikan sampai sekarang. Karya-karya
ilmiyahnya itu cukup menjadi bukti akan kealiman dan intelektualitasnya. Di
antara karya-karya yang ditinggalkannya adalah sebagai berikut:
- Dalam bidang fiqih, di
antaranya; al-Fatawa, al-`Iddah fi al-Manasik, al-Majmu`
al-Syarh al-Muhazzab, al-`Umdah fi Tashih al-Niyyah, al-Rawdhah,
al-Idhah, al-Tahqiq dan karya monumentalnya yaitu Minhaj
al-Talibin.
- Dalam bidang Hadith, antara
lain: Syarh Kitab Hadith Sunan al-Baghwy dan Daruquthni, al-Arba`in
(40 Hadith), al-Azkar, al-Irsyad, al-Isyarah ila
al-Mubhamat (tentang Hadith-hadith yang diragukan), Khulasah fi
al-Hadith, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim (tentang kitab
Hadith), Riyadh al-Shalihin, Syarh Shahih Muslim, Tahrir
al-Tawbih, al-Taqrib wa al-Taysir li Ma`rifah Sunan
al-Nasyir al-Nazir, al-Tibyan fi Adab Hamlah al-Qur`an (tentang
Ilmu Hadith), dan `Ulum al-Hadith.
- Bidang pendidikan, etika,
biografi, sejarah, dan bahasa
yaitu: Adab Hamalah al-Qur`an, Bustan al-`Arifin, Tahzib
al-Asma` wa al-Lughat, Thabaqat al-Fuqaha`, Tahzizb al-Asma`
wa al-Lughat (bagian kedua), dan Tahrir al-Tanbih.
Memperhatikan karya-karya besar Nawawi di atas baik dalam bidang fiqih,
Hadith, dan beberapa bidang ilmu pengetahuan lainnya, jelas bahwa ia merupakan
salah seorang ulama terkemuka di zamannya terutama dalam bidang Hadith, hal ini
dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab Hadith yang ia tulis. Semua karya-karya
Imam al-Nawawi telah diterima dan disukai semua orang dan semua kalangan ahli
ilmu. Apabila ada orang yang merujuk kepada karya-karyanya, maka dia telah
memberikan landasan pendapatnya dan memperkuat hujjahnnya.
D.
Pengaruh Imam al-Nawawi dalam Perkembangan Fiqih Syafi`iyyah
Nawawi adalah merupakan salah
seorang tokoh pemikir yang besar dari kalangan mazhab Syafi`iyyah dan telah
banyak berjasa dalam mengembangkan dan memperkenalkan mazhab Syafi`iyyah ke
hadapan masyarakat Islam di seluruh dunia. Hal ini dibuktikan dengan lahir dan
berkembangnya karya-karyanya yang amat besar sampai sekarang ini.
Ia adalah penuntun yang
berhasil bagi pemula dan belajar agama. Dalam kehidupan sehari-hari, ia
memiliki kebiasaan hidup sangat sederhana, seperti makan hanya satu kali
sehari, setelah shalat Isya. Dalam ibadah ia memperbanyak puasa, zikir dan
wirid. Dalam masalah dunia, ia berlaku zuhud, wara`, qanaah, dan ridha, dengan
tetap menjaga diri dari hal-hal duniawi.
Perhatiannya terhadap kondisi
sosial sangat besar. Ia menegakkan "amar ma`ruf dan nahi
mungkar" (al-amr bi al-ma`ruf wa al-nahi `an al-munkar), membimbing
para pemimpin dan orang-orang alim serta mungkar kepada agama. Ia melarang
masyarakat Syam (kini Suriah) memakan buah-buahan yang nilanya syubhat atau
hukumnya masih diragukan atau diperselisihkan ulama.
Dalam
masalah perkawinan ia menyatakan bahwa seseorang pemuda yang tidak/ belum mampu
secara lahir maupun batin tidak boleh
(haram) melangsungkan perkawinan. Pendapat ini didasarkan atas sabda
Rasulullah SAW dari Abdullah bin Mas`ud (Ibnu Mas`ud) yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari (al-Bukhari):
عن ابن مسعود رضي الله عنه . ان رسو ل الله صلى الله عليه وسلم قال: يا
معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فانه اغض للبصر واحصن للفرج ومن لم
يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء. (رواه الجماعة)
Artinya:
" Dari
Ibnu Mas`ud RA ia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda: Wahai kaum pemuda,
barangsiapa di antara kamu telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah karena
bahwasanya itu dapat memejamkan mata dan menjaga kehormatan (kemaluan), dan
barangsiapa yang belum mampu untuk menikah, maka hendaklah berpuasa karena ia
dapat membendung syahwat
".(
HR. Al-Jamaah)
Dalam
Hadith di atas terdapat kata "
al-ba-ah" Menurut Nawawi
pengertian kata tersebut adalah "kemampuan lahir dan batin".
Sementara Sayid Sabiq memberi arti kata tersebut adalah "
al-jima`",
dengan arti lengkapnya yaitu: "barang siapa yang sanggup berhubungan
(jima`) lantaran telah ada biaya nikah, maka nikahlah, dan barangsiapa belum
sanggup berhubungan karena tidak ada biaya nikah, maka berpuasalah…"
Dari ini
jelas terlihat bahwa pengertian hadits tersebut yang diutarakan al-Nawawi
adalah lebih luas cakupannya dari apa yang diungkapkan oleh Sayid Sabiq, yaitu
kemampuan lahir dan batin yang mencakup kemampuan fisik, belanja (nafkah) dan
jima`.
Nawawi adalah seorang ulama mazhab
Syafi`i yang kritis terhadap
perkembangan sosial. Sebagai contoh ketika Baybars Sultan Mamluk keempat
(1250-1277) memungut pajak untuk biaya perang melawan serangan bangsa Mongol ke
Suriah dan Mesir, ia menentangnya. Alasan yang diutarakan Nawawi adalah Baybars
tidak berhak memungut pajak dari rakyat karena Baybars sendiri adalah seorang
budak dan statusnya (merdeka atau belum) masih diragukan. Atas kritik Naawawi
ini, Imam Izzuddin bin Abdul al-Salam (tokoh fiqih mazhab Syafi`i di Mesir)
ketika itu menyatakan Baybars dan pejabat Muluk lainnya merdeka, dengan syarat
membayar uang tebusan untuk memerdekakan diri dari status budaknya.
Al-Isnawi dalam al-Tabaqat
mengatakan: "Imam al-Nawawi adalah pembersih, penjernih, dan penata
mazhab. Di mana-mana ia disebut sebagai orang yang sangat tinggi kapasitas dan
kadar keilmuannya."
Di Indonesia namanya sangat populer
dan dikenal, terutama di kalangan para santri dayah atau pesantren tradisional.
Hal ini disebabkan kitabnya yang berjudul Minhaj al-Talibin. Karya ini
telah melahirkan banyak syarahan, antara lain lima kitab yang paling penting,
yaitu: Kanz al-Ghqribin karya Al-Mahalli
(w.864 H), Minhaj al-Tullab karya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj
karya Ibnu Hajar (w. 973 H), Muhgni al-Muhtaj karya Imam Ramli (w. 1004
H). Kelima kitab tersebut diberi anotasi (syarah dan hasyiah) secara berurutan
oleh Qulyubi dan Umairah, al-Anshari, al-Syirwani, al-Syibramalisi, dan
al-Maghribi.
Kitab Minhaj al-Talibin itu telah
pernah disalin ke dalam bahasa Perancis oleh L.W.C Van De Berg, dengan judul
bukunya "Minhaj al-Talibin Manuel de Jurisprudence Musul Mane Selon Le
ritede Chi`il" 3 Jilid, dicetak di Jakartatahun 1882-1884 M. Kitab
Minhaj ini mendapat perhatian yang sangat besar di kalangan ulama Syafi`iyyah
sendiri, sehingga banyak sekali muncul syarahan terhadapnya.
Imam Nawawi mendapat kedudukan yang
tinggi dalam mazhab Syafi`i, karena ia diberi gelar dengan " Mujtahid
Mazhab".
Dalam hal ini Nawawi sederajat dengan Imam Rafi`i (w. 623 H). Nawawi juga salah
seorang ulama Hadith terkemuka di zamannya. Komentar-komentarnya terhadap Sahih
Muslim dalam bukunya Hidayat al-Salihin, tercatat mendapat sambutan
positif dari ulama-ulama di zamannya dan generasi sesudahnya. Dan itu
sebenarnya kelebihan Nawawi. Dia adalah pendekar dalam bidang Hadith, tetapi
juga ahli dalam fiqh.
Ibnu
Katsir
mengatakan, "Imam al-Nawawi adalah guru mazhab dan pembesar fuqaha pada
masanya." Al-Zahabi mengatakan, "Imam al-Nawawi adalah seorang ketua
ahli dalam mengetahui mazhab. Qadhi Safad Muhammad bin Abd al-Rahman al-Utsmani
dalam kitabnya,
Al-Tabaqat al-Kubra, menyebutkan, "Imam al-Nawawi
adalah syekh Islam, oaring yang mendatangkan barakah untuk kelompok Syafi`iyah,
penghidup dan penjernih mazhab, orang yang pendapatnya selalu dirajihkan
ulama."
Syihab
Abu al-Abbas bin Haim dalam mukaddimah al-Bahr al-Ajjaj Syarh al-Minhaj
mengomentari, "Imam al-Nawawi adalah imam, ulama besar, orang yang
mendapat predikat al-Hafiz, ahli fikih besar, penjernih mazhab dan pembaharu
metodologi."
Muridnya,
Ibnu al-Aththar mengatakan, "Imam al-Nawawi hafal mazhab al-Syafi`I,
kaidah-kaidahnya beserta dasarnya, cabangnya, mazhab-mazhab sahabat, tabi`in,
perselisihan dan kesepakatan ulama, pendapat yang masyhur dan yang tidak masyhur.
Dalam hal itu, ia mengikuti mazhab salaf."
Memperhatikan
beberapa uraian di atas dapatlah difahami bahwa Imam al-Nawawi adalah sosok
ulama dan mujtahid, pembaharu mazhab dan
metodologi, pembela mazhab Ia telah
banyak berbuat bagi kepentingan umat Islam terutama dalam mazhab Syafi`i, yaitu
dengan menghasilkan banyak karya-karya tulis yang populer dan melahirkan puluhan bahkan ratusan
murid-muridnya yang masyhur, seperti Ibnu
Katsir dan lain-lainnya.
D. Kedudukan Imam al-Nawawi dalam Ijtihad
Adapun mengenai kedudukan al-Nawawi dalam
derajat para imam mujtahid khususnya dalam mazhab Syafi`i, para ulama
mutaakhirin menganggapnya sebagai
Mujtahid Tarjih, sama halnya dengan
imam al-Rafi`i.
Al-Rafi`i
adalah Ulama pentarjih pertama dalam mazhab Syafi`i. Ia yang
mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam mazhab Syafi`i.
Selanjutnya muncul al-Nawawi untuk
mentarjihkan pendapat-pendapat yang pernah ditarjihkan oleh al-Rafi`i. Sehingga
terjadi perbedaan dalam pentarjihan antara kedua imam ini. Bahkan telah populer
di kalangan mazhab Syafi`iyyah yaitu apabila terjadi pertentangan dalam
pentarjihan antara al-Nawawi dan Rafi`i, maka didahulukan tarjih al-Nawawi.
Dalam menentukan urutan pendapat yang paling kuat (tarjih) di kalangan mazhab
Syafi`i, maka pendapat yang didahulukan adalah hukum yang telah disepakati oleh
al-Syaikhani yaitu al-Nawawi dan al-Rafi`i, kemudian tarjih al-Nawawi,
selanjutnya terjih al-Rafi`i, kemudian tarjih-tarjih ulama lain yang tahqiq
(sanggup mengemukakan sesuatu dengan dalil) dan tadqiq ( melebihi
kemampuannya dari tahqiq) di kalangan para ulama mutaakhirin. Misalnya
Abu Zakariya al-Anshari (W. 926 H), Ibnu Hajar al-Haitami (W.974 H), al-Ramli (W. 1004 H) dan lain-lain.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG TARJIH DAN IJTIHAD
A.
Pengertian Tarjih.
Secara leksikal perkataan tarjih ( تر جيح
) adalah masdar dari kata Arab "rajjaha" رجح ) ), " yurajjihu"
( يرجح ), " tarjihan" (ترجيحا ), yang secara etimologi sebagaimana dikutip
dalam kitab al-Ta`rifat karya `Ali bin Muhammad al-Jurjani yaitu:
الترجيح هو اثبات مرتبة فى
احدالدليلين على الاخر.
Artinya: "Tarjih adalah menetapkan
atau menguatkan salah satu dalil dengan lainnya."
Konsep tarjih muncul ketika terjadinya pertentangan secara lahir antara
satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa diselesaikan
dengan jalan (metode) al-jama` wa al-tawfiq ( الجمع والتوفيق ). Dalil yang dikuatkan disebut dengan rajih
( راجح ), sedangkan dalil yang dilemahkan disebut marjuh ( ( مرجوح .
Adapun Pengertian tarjih secara terminologi, terdapat dua definisi
tarjih yang dikemukakan para ahli Usul Fiqh. 1.
Definisi yang dikemukakan ulama Hanafiyah, yaitu: Tarjih adalah:
التر جيح هوا ظهار زيا دة لا حد
المتما ثلين على الا خر بما لا يستقل
Artinya:
"Tarjih adalah memunculkan tambahan bobot pada salah satu dari dua
dalil yang bersamaan (sederajat), di mana dalil tambahan tersebut tidak berdiri
sendiri".
Berdasarkan definisi di atas, dapat
dipahami bahwa tarjih adalah: dua dalil yang bertentangan itu mempunyai
kekuatan yang sama (sederajat). Untuk memilih mana yang akan diunggulkan atau
dimenangkan, diperlukan dalil lain sebagai pendukungnya.
2. Jumhur ulama mendefinikan tarjih,
sebagaimana diungkapkan oleh al-Amidi. Tarjih adalah:
التر جيح هوعبارة
عن اقتران احد الصا لحين للدلالة علي المطلوب, مع تعارضهما بما يوجب العمل به
واهمال الاخر.
Artinya:
"Tarjih adalah: ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil
yang pantas yang menunjukkan kepada apa yang dikehendaki, di samping keduanya berbenturan
yang mewajibkan untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya dan mengabaikan
yang lain".
Secara lebih ringkas, Nasrun Haroen dalam bukunya Ushul Fiqh I
mendefinikan tarjih, adalah:
التر جيح هو تقوية احد الاما رتين (
اى الدليلين الظنيين ) على الاخر ليعمل بها.
Artinya:
"Tarjih adalah: menguatkan salah satu indikator dalil yang dhanni atas
yang lain untuk diamalkan
(diterapkan)".
Berdasarkan definisi ini menunjukkan
bahwa golongan Jumhur ulama membatasi pengertian tarjih dalam dalil yang bersifat
dhanni (relatif), karena masalah tarjih tidak termasuk dalam ruang lingkup
pembahasan yang qath`i (pasti atau absolut), dan juga tidak tergolong ke dalam
wilayah antara dhanni dan qath`i.
Dari beberapa kutipan definisi tersebut
di atas, dapat di fahami bahwa yang dimaksud dengan tarjih adalah upaya untuk
memperoleh atau memberikan penilaian lebih kuat terhadap alasan-alasan atau
dalil-dalil yang dipilih atas dalil-dalil yang tidak terpilih. Hakikat dan
tujuan dari definisi tersebut adalah sama, yaitu menguatkan salah satu dari dua
dalil yang sama untuk diamalkan, dan kedua dalil yang bertentangan ini harus
mempunyai kedudukan yang sama, yakni dhanni.
Para ulama usul fiqh sepakat bahwa dalil
yang
rajih (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang
marjuh
( dilemahkan) tidak perlu diamalkan.
Alasan yang diajukan adalah kesepakatan dan amalan yang telah ditempuh para
sahabat Rasulullah dalam menguatkan suatu dalil dari dalil-dalil lainnya dalam
berbagai persoalan (kasus). Misalnya, dalam kasus perbuatan yang mewajibkan
mandi; para sahabat menguatkan hadith yang bersumber dari `Aisyah ra tentang
iltiqa`
al-khitanaini ( bertemunya alat vital laki-laki dan alat vital perempuan)
hadith riwayat Muslim dan al-Tirmidzi dari pada hadith Abu Hurairah yang mengatakan
bahwa:
عن ابى هريرة رضي اللهعنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
انما الماء من الماء. (رواه مسلم)
Artinya:
"Dari Abu Hurairah ra ia berkata : bahwa Nabi SAW bersabda: air itu
berasal dari air". (
HR. Muslim)
Maksud hadith ini bahwa, apabila keluar
mani, baru mandi wajib.
Namun bila tidak keluar mani sekalipun telah bertemu dua alat vital tetap tidak
diwajibkan mandi. Inti pemahaman hadith ini adalah keluar mani bukan bertemu
dua alat vital
Para sahabat juga menguatkan hadith
tentang seseorang berpuasa dalam keadaan berjunub (
H.R. al-Bukhari dan
Muslim, dari `Aisyah dan Ummi Salamah) dari pada hadith Abu Hurairah yang
mengatakan bahwa siapa yang berpuasa dalam keadaan junub pagi hari, maka
puasanya tidak sah (
H.R. Ibnu Hibban).
Oleh karena itu, para ulama usul fiqh
berpendapat bahwa apabila seorang mujtahid telah melakukan tarjih terhadap
salah satu dalil yang menurutnya bertentangan, maka dalil yang rajih itu wajib
diamalkan.
B. Syarat-syarat dan Cara-cara Tarjih
1. Syarat-syarat Tarjih
Adapun mengenai syarat-syarat tarjih itu
dapat disebutkan, sebagai berikut:
a.
Dua dalil tersebut harus ta`arudh
(kontradiksi) dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan keduanya dengan cara
apapun. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi tarjih dalam dua dalil yang qath`i
(pasti ) karena kedua dalil ini tidak mungkin bertentangan (kontradiksi).
b.
Kedua dalil yang bertentangan itu sama pantas
untuk petunjuk kepada yang dimaksud.
c.
Kedua dalil yang dimaksud ada petunjuk yang
mewajibkan beramal salah satu keduanya dan meninggalkan yang lainnya.
Berdasarkan persyaratan tarjih di atas, dapat dipahami bahwa, tidak
terjadi tarjih terhadap al-Qur`an (qath`i al-thubut) dengan hadith Ahad
(dhanni al-thubut) dikarenakan kedua dalil ini tidak sederajat
(setingkat). Lain halnya jika terjadi perbedaan dari segi dalalahnya. Seperti
kedua dalil-dalil itu sama-sama qath`i al-thubut (al-Qur`an dan Hadith
mutawatir), akan tetapi kandungan isinya (dalalah) yang satu qath`i
al-dalalah dan yang lain dhanni al-dalalah.
Demikian pula (tidak terjadi tarjih), jika yang satu dalil dari hadith
Mutawatir dan yang lain hadith Ahad, karena dalam hal semacam ini hadith
Mutawatir yang harus didahulukan dalam pengamalannya.
2. Cara-cara
Tarjih
Para ulama usul fiqh mengemukakan bahwa cukup banyak cara pentarjihan
yang bisa dilakukan apabila antara dua dalil secara dhahir (teks) terdapat
pertentangan (ta`arudh) dan tidak mungkin dilakukan al-jama` wa al-tawfiq
(penggabungan) atau al-nasakh (menghapuskan).
Adapun mengenai cara-cara pentarjihan pada dasarnya dapat dikelompokkan
dalam dua kelompok besar, yaitu: (1). Al-tarjih baina al-nusush,
artinya menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith) yang saling bertentangan.
(2).
Al-tarjih baina al-aqyisah, yaitu menguatkan salah satu
qiyas (analogi) yang saling bertentangan.
(1). Al-Tarjih Baina al-Nusush
Al-tarjih
baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith)yang
saling bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan,
ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu: (a). Dari segi sanad (para perawi
hadith). (b). dari segi matan (teks) hadith. (c). Dari segi hukum atan
kandungan hadith (madlul) . (d). Pentarjihan dengan menggunakan faktor (dalil)
lain di luar nash (amr al-kharij).
a.
Dari Segi Sanad ( Para Perawi Hadith)
Imam al-Syawkany ( 1172-1250 H/
1759-1828 M) berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan dengan 42 cara, yang
di antaranya dikelompokkan kepada:
(a).
Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
Cara ini antara lain dengan meneliti
kuantitas perawi hadith. Menurut Jumhur ulama hadith yang sanadnya lebih banyak
ditarjihkan dari hadith yang sanadnya lebih sedikit.
Karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalam suatu hadith yang diriwayatkan
oleh banyak perawi sangat kecil. Sedangkan Abu Hanifah (80-150 H/ 699-767 M),
Abu Yusuf (113- 182 H/ 731- 798 M) dan Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan
al-Karkhi (260-340 H/ 874-952 M) keduanya ahli fiqh mazhab Hanafi berpendapat
bahwa suatu dalil tidak bisa ditarjih hanya dengan banyaknya perawi semata,
kecuali jumlah perawi itu melebihi tiga orang (hadith Masyhur). Mereka
menganalogikan kepada kasus persaksian yang bertentangan, bahwa hakim tidak
boleh memutuskan suatu perkara atas dasar persaksian yang lebih banyak
orangnya.
Jumhur juga berpendapat bahwa pentarjihan boleh dilakukan berdasarkan
kualitas perawi, misalnya hadith yang perawi lebih tsiqah (terpercaya)
ditarjihkan dari pada hadith yang perawinya kurang tsiqah. Demikian pula hadith
yang perawinya lebih dhabit (kuat hafalan) ditarjihkan daripada hadith yang
kurang dhabitnya.
(b).
Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri.
Yaitu hadith Mutawatir dikuatkan
dari hadith Masyhur atau menguatkan hadith Masyhur daripada hadith Ahad. Bisa juga dilakukan
dengan cara melihat persambungan sanadnya, yaitu mentarjih hadith yang sanadnya
bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dari hadith yang sanadnya terputus.
(c).
Pentarjihan melalui cara menerima hadith dari Rasulullah SAW.
Yaitu menguatkan hadith yang
langsung didengar dari Nabi SAW dari pada hadith yang didengar melalui
perantaraan orang lain atau tulisan. Dirajihkan juga riwayat yang memakai lafal
langsung dari Nabi SAW yang menunjukkan kata kerja, seperti kata naha (melarang),
amara (memerintahkan), dan adzina (mengizinkan), daripada riwayat
yang lainnya. Begitu juga dalam kasus hadith Ahad dari segi muatannya, yaitu
hadith Ahad yang muatannya tidak menyangkut orang banyak lebih didahulukan dari
hadith Ahad yang muatannya menyangkut orang banyak. Pentarjihan ini dilakukan
karena kesaangsian mereka terhadap kebenaran hadith Ahad yang menyangkut orang
banyak. Sebab menurut ulama Hanafiyyah, hadith Ahad yang meyangkut orang banyak
tidak mungkin disampaikan Nabi SAW hanya kepada satu, dua, atau tiga orang
saja.
b.
Dari Segi Matan
Yang dimaksud dengan matan di sini
adalah teks ayat, hadith, atau ijma`. Imam al-Amidi ahli ushul fiqh mazhab
Syafi`i (551-631 H/ 1156-1233 M), mengemukakan 51 cara dalam pentarjihan dari
segi matan,
di antaranya adalah:
(a). Teks yang mengandung larangan
diutamakan daripada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemudharatan
lebih utama daripada mengambil manfaat.
(b). Teks yang mangandung perintah
didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan karena melaksanakan
perintah berarti sekaligus kebolehan sudah tercakup di dalamnya.
(c). Makna hakikat suatu lafaz
lebih didahulukan darpada makna majaz.
(d). Dalil Khusus lebih
didahulukan dari dalil umum.
(e). Teks umum yang belum
ditakhsis lebih didahulukan daripada teks umum yang telah ditakhsis.
(f). Teks yang berupa perkataan
lebih didahulukan daripada teks yang berupa perbuatan.
(g). Teks yang muhkam lebih
didahulukan dari teks mufassar.
(h). Teks yang sarih
(jelas) lebih didahulukan daripada teks yang berupa kinayah (sindiran).
c. Dari Segi Hukum atau Kandungan
Hukum
Cara pentarjihan melalui metode ini, Imam
al-Amidi mengemukakan ada 11 cara, sedangkan Muhammad ibn Ali al-Syawkani
menyederhanakannya menjadi 9 cara, di antaranya sebagai berikut:
(a). Teks yang mengandung bahaya menurut Jumhur lebih didahulukan dari
teks yang membolehkan. Alasannya hadith Rasulullah SAW:
ما اجتمع الحلا ل والحرام الا غلب الحرام. )رواه البيهقى)
Artinya:
"Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang haram lebih dominan". (
HR.
Al-Baihaqy).
Namun menurut Imam al-Gazaly (pakar
usul Fiqh mazhab Syafi`i) mengatakan kedua hukum itu digugurkan saja, karena
secara kualitas kedua dalil itu adalah sama. Menurutnya, teks yang membolehkan
itu didukung oleh hukum asal pada sesuatu, yaitu boleh, sedangkan hukum yang
dilarang itu menggiring seseorang untuk hati-hati maka kualitas keduamya adalah
sama. Dalam keadaan seperti ini sulit untuk mentarjih salah satu di antara
keduanya.
Oleh sebab itu
kedua hukum yang dikandung teks yang bertentangan itu digugurkan saja.
(b). Suatu teks yang mengandung hukum menetapkan, sedangkan yang lain
meniadakan, maka dalam hal seperti ini
terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya Ibn `Abbas meriwayatkan sebuah
hadith bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah dalam keadaan ihram sebagaimana
hadith berikut ini:
انه صلى الله عليه وسلم تزوج ميمو نة
بنت الحارث وهو محرم ) رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
" Sesungguhnya Nabi SAW mengawini Maimunah binti al-Harith sewaktu beliau
sedang ihram". (
HR.Bukhari dan Muslim).
Hadith ini berlawanan dengan
hadith Abu Rafi` yang mengabarkan berikut ini:
انه صلى الله عليه وسلم تزوجها وهو حلال. (رواه مالك)
Artinya:
"Bahwasanya Nabi SAW mengawini maimunah binti al-Harith pada beliau sudah
bertahallul". (
HR. Malik)
Dalam
kasus seperti ini, menurut ulama Syafi`iyyah teks yang sifatnya meniadakan
lebih didahulukan dari teks yang sifatnya menetapkan. Kasus perkawinan
Rasulullah SAW di atas, riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW tidak dalam
keadaan ihram lebih didahulukan dari riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW
sedang ihram. Alasannya bahwa Abu Rafi` pada waktu itu bersama-sama beliau,
maka sudah barang tentu ia lebih tahu atas peristiwa itu daripada Ibnu `Abbas
yang saat itu tidak ikut pergi bersama Rasulullah SAW.
Imam
al-Gazaly berpendapat kedua hukum tersebut digugurkan, karena kemungkinan
keduanya benar dan kemungkinan salah. Oleh sebab itu, menurutnya harus dicari
indikasi lain dalam pentarjihan tersebut.
(c).
Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang lain
mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka didahulukan yang pertama yaitu
menghindarkan terpidana dari hukuman. Sesuai dengan sabda Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
عن عائشة رضى الله عنها قالت:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ادرؤالحدود عن المسلمين ماا ستطعتم ... (رواه
الترمذى).
Artinya:
"Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudud terhadap muslim selama kamu
mampu". (
HR. Al-Turmudzi).
(d). Teks yang mengandung hukuman
ringan lebih didahulukan dari pada teks yang di dalamya mengandung hukuman
berat. Karena Syari`at Islam mengandung azas
keringanan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah(2):185.
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم
العسر.
Artinya: "Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran".
d. Pentarjihan dengan Menggunakan
Faktor (dalil) Lain di Luar Nash (amr al-Kharij).
Al-Amidi mengemukakan lima belas cara
pentarjihan dengan menggunakan faktor di luar nash.
Dan Imam al-Syawkani meringkasnya menjadi sepuluh cara,
di antaranya:
(a). Mendahulukan salah satu dalil
yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik dalil itu al-Qur`an, Sunnah,
ijma`, maupun logika.
(b). Mendahulukan salah satu dalil
yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui
persoalan turunnya al-Qur`an dan penafsirannya serta adanya anjuran Rasulullah
SAW untuk mengikuti mereka.
(c). Mendahulukan nash yang
menyebutkan `illat (motivasi) hukumnya daripada nash yang tidak menyebutkan
`illatnya.
(d). Mendahulukan dalil yang
mengandung kehati-hatian (ihtiyath) daripada dalil yang tidak
menyebutkan demikian.
(e). Mendahulukan dalil yang
dibarengi dengan perbuatan atau perkataan perawinya dari dalil yang tidak
demikian halnya.
2.
Tarjih Bain al-Aqyisah
Ta`arudh dengan segala macam cara
penyelesaiannya tersebut di atas adalah bertentangan antara dua dalil syara`
yang berupa nash. Di samping itu ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil
syara` yang bukan nash yaitu ta`arudh
antara qiyas dengan qiyas. Muhammad bin `Ali al-Syawkani mengemukakan tujuh
belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan
(ta`arudh).
Ketujuh belas macam pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah al-Zuhaily
(guru besar fikih Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah) menjadi
empat kelompok,
yaitu: 1). Tarjih dari segi hukum asal. 2). Tarjih dari segi hukum furu`. 3)
Tarjih dari segi `illat. 4) Tarjih melalui faktor luar.
1).
Tarjih dari Segi Hukum Asal.
Pentarjihan qiyas dari segi hukum
asal, menurut Imam al-Syawkani bisa menggunakan enam belas cara, di antaranya:
a). Menguatkan qiyas yang hukum asalnya
bersifat qath`i dari qiyas yang hukum
asalnya zanni, karena yang qath`i lebih kuat dari yang zanni.
b). Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya
ijma` dari qiyas yang landasan dalilnya nash. Sebab nash itu bisa di-takhsis,
di takwil, dan di-nasakh, sedangkan ijma` tidak. Cara seperti ini
dibantah dan ditolak oleh Imam Haramain al-Juwaini (419- 478 H/ 1028- 1085 M. /
ahli usul fiqh Syafi`i). Menurutnya, ada kemungkinan qiyas yang di tetapkan
berdasarkan al-Qur`an atau hadith lebih kuat dari qiyas yang di dasarkan kepada
ijma`, karena ijma` itu sendiri harus di landaskan kepada nash. Dengan
demikian, ijma` itu merupakan cabang dari nash, yang sifatnya tidak boleh di
dahulukan dari asal. Pendapat ini di dukung oleh ulama usul fiqh Syafi`iyyah
lainnya, Imam Baidhawy (w. 685 H/ 1287 M).
c). Menguatkan qiyas yang `illatnya di dukung
oleh dalil khusus dari qiyas yang `illatnya tidak didukung oleh dalil khusus.
d). Menguatkan qiyas yang sesuai dengan
kaedah-kaedah qiyas dari qiyas yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah qiyas.
e). Menguatkan qiyas yang disepakati ulama
tidak dinasakhkan dari qiyas yang tidak disepakati kemudian dinasakhkan.
f). Menguatkan qiyas yang hukum
asalnya bersifat khusus dari qiyas yang hukum asalnya bersifat umum.
2). Tarjih dari Segi Hukum Furu`
Di
antaranya adalah dengan cara:
a). Menguatkan hukum furu` yang datang
kemudian dari asalnya yang hukum furu`nya lebih dahulu dari hukum asal.
b). Menguatkan hukum furu` yang `illatnya
diketahui secara qath`i dari hukum furu` yang `illatnya bersifat dhanni.
c). Menguatkan hukum furu` yang ditetapkan
berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum furu` yang hanya didasarkan kepada
logika nash secara tafsil (rinci).
3).
Tarjih dari Segi `Illat.
Pentarjihan berdasarkan `illat dapat
dibagi dua, yaitu dari segi cara penetapan `illat dan dari segi sifat `illat
itu sendiri.
Adapun pentarjihan dari segi cara penetapan `illat, antara lain:
a). Menguatkan `illat yang
disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai `illat dari yang tidak demikian.
b). Menguatkan `illat yang
dilakukan dengan metode al-sabru wa al-taqsim (pengujian, analisis, dan
pemilahan `illat) yang dilakukan oleh para mujtahid dari `illat yang hanya
menggunakan metode munasabah (keserasian) antara `illat dengan hukum.
c). Menguatkan `illat yang di
dalamnya terdapat isyarat nash dari `illat yang ditetapkan melalui munasabah
karena isyarat dari nash lebih kuat dari `illat yang ditetapkan berdasarkan
dugaan mujtahid.
Sementara pentarjihan dari segi
sifat `illat, antara lain:
a). Menguatkan `illat yang bisa diukur
dengan `illat yang bersifat relatif dan tidak bisa diukur.
b). Menguatkan `illat yang
sifatnya bisa dikembangkan pada kasus lain dari `illat yang sifatnya terbatas
pada suatu kasus saja.
c). Menguatkan `illat yang
berkaitan dengan kemaslahatan pokok (dharuriyyah) dari `illat yang hanya
berkaitan dengan kemaslahatan penunjang (hajiyyah). Demikian pula menguatkan
`illat yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyyah dari `illat yang terkait
dengan kemaslahatan pelengkap (tahsiniyyah).
d). Menguatkan `illat yang jelas
melatarbelakangi suatu hukum,dari `illat yang bersifat indikator saja terhadap
latar belakang hukum.
4)
Tarjih Qiyas Melalui Faktor Luar.
Pentarjihan qiyas melalui
faktor-faktor di luar qiyas dapat dilakukan antara lain dengan hal sebagai
berikut:
a). Menguatkan qiyas yang didukung oleh
sejumlah `illat dari qiyas yang hanya didukung oleh satu `illat.
b). Menguatkan qiyas yang didukung oleh fatwa
sahabat (bagi yang menjadikan fatwa sahabat sebagai salah satu dalil syara`)
dari qiyas yang tidak demikian.
c). Menguatkan qiyas yang `illat berlaku pada
seluruh furu` dari`illat yang hanya berlaku pada sebagian furu` saja.
d). Menguatkan
qiyas yang `illatnya didukung oleh sejumlah dalil dari qiyas yang hanya
`illatnya hanya didukung oleh satu dalil saja.
C. Tingkatan Ijtihad.
Aktifitas ulama pada masa imam al-Nawawi masih
sekitar hasil ijtihad para imam-imam mujtahid sebelumnya. Yaitu dengan
menghasilkan karya-karya yang berbentuk ikhtisar-ikhtisar yang disebut matan.
Kemudian matan ini diberi penjelasan-penjelasan yang disebut syarah. Dan
syarahan-syarahan ini diberi penjelasan yang dinamakan hasyiah. Terkadang
mengumpulkan pendapat-pendapat yang ada dalam satu mazhab lalu memisah-misahkan
antara pendapat yang rajih (kuat) dari pendapat yang tidak rajih. Atas dasar
ini kemudian muncul istilah-istilah dalam mengklasifikasikan mujtahid.
Pengklasifikasian mujtahid
berkembang menjadi lima tingkatan, terjadi pada abad ketujuh hijriyah.
Pengklasifikasian tersebut dapat dijumpai , misalnya, dalam karya al-Nawawi (W.
631 H). Bahkan al-Nawawi memberikan ciri-ciri dan syarat-syarat dari
masing-masing tingkatan mujtahid tersebut. Tingkatan-tingkatan mujtahid yang
dimaksud ialah mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid muqayyad dan satu
tingkatan lain tidak disebutkan istilahnya.
Oleh ulama-ulama usul yang datang kemudian, tingkatan yang terakhir tadi
disebut mujtahid fatwa dan ada juga yang menyebutnya sebagai mujtahid takhrij.
Al-Nawawi memang tidak menggunakan istilah mujtahid atau ijtihad, tetapi
istilah yang digunakannya ialah mufti. Namun dapat diduga bahwa klasifikasi
yang dibuatnya adalah klasifikasi
ijtihad.
Dilihat dari luas atau sempitnya
cakupan bidang ilmu yang dijtihadkan mujtahid itu terbagi ke dalam beberapa
tingkatan, yaitu:
- Mujtahid Mutlak atau Mujtahid
Mustaqil atau Mujtahid fi al-Syar`i ialah: mujtahid yang mempunyai
metodologi yang mandiri dalam mengistinbatkan hukum syar`i. Dengan kata
lain mereka yang berijtihad secara bebas baik dalam usul maupun furu`
tanpa terikat dengan pendapat orang lain. Mereka itu antara lain: Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal (para pendiri
mazhab empat), Imam al-Auza`i, Imam Daud al-Dhahiry, dan Ja`far al-Shadiq.
- Mujtahid Muntasib atau Mujtahid
fi al-Mazhab atau Mujtahid Ghairu al-Mustaqil yaitu para
mujtahid yang megikuti imam mazhabnya dalam baik dalam usul atau metode
ijtihad dan furu`nya akan tetapi dalam penerapannya bisa terjadi perbedaan
(memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazhab).
Misalnya Imam Abu Yusuf , Muhammad ibnu Hasan dan Zufar dalam mazhab
Hanafiyah, Asyhab dan Ibnu Abd al-Hakam dalam mazhab Maliki, Imam al-Muzanni dan Buwaithi mazhab
Syafi`i, dan Abu Hamid dalam mazhab
Hanbali.
- Mujtahid fi al-Masa-il yaitu
para mujtahid yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang
belum diijtihadi oleh imamnya, namun tidak terlepas dari metode imamnya.
Seperti al-Karkhi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Arabiya di kalangan
mazhab Maliki, Imam al-Ghazali dari mazhab Syafi`i.
- Mujtahid Tarjih atau Mujtahid
Fatwa atau Mujtahid Muqayyad yaitu Para mujtahid yang kegiatannya
mentarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam
mazhabnya. Para mujtahid pada tingkatan ini tidak lagi melakukan istinbath
hukum terhadap masalah-masalah yang
sudah maupun yang belum diijtihadkan oleh ulama-ulama terdahulu, mereka
hanya memilih pendapat yang dianggap kuat. Mereka itu antara lain:
Al-Karakhi dan al-Qaduri dalam mazhab Hanafi, Al-Rafi`i dan Imam al-Nawawi
dalam mazhab Syafi`i.
BAB IV
METODE TARJIH AL-NAWAWI
A. Sistematika
Penulisan Kitab Minhaj al-Talibin
Sebelum beranjak kepada pembahasan metode yang
digunakan al-Nawawi dalam mentarjih pendapat-pendapat mazhab Syafi`i. Peneliti
menjelaskan tentang sistematika pembahasan yang digunakan al-Nawawi dalam kitab
Minhaj al-Talibin, di mana
sistematika ini sangat penting untuk diketahui dan dipahami bagi mereka yang
mempelajari dan meneliti kitab tersebut, sebagaimana tertera dalam muqaddimah
khutbah-nya (kata pengantar). Adapun sistematika penulisannya dapat
disebutkan sebagai berikut:
1.
Membuat Ringkasan (ikhtisar).
Langkah pertama yang ditempuh oleh
al-Nawawi adalah meringkaskan (ikhtisar) terhadap uraian-uraian dalam
setiap permasalahan yang dibahas dengan tujuan mudah dihafal dan difahami.
Ringkasan yang dilakukan oleh al-Nawawi adalah tidak mengurangi maksud-maksud
yang tertera di dalam kitab al-Muharrar yang merupakan buah karya al-Rafi`i.
Di samping itu al-Nawawi memasukkan atau melakukan penambahan-penambahan dalam
bentuk pemahaman ke dalam pembahasannya yang dianggap nafa-is al-mustajadat
(masalah-masalah yang urgen). Penambahan ini lebih kurang ada tiga perempat
dari kitab dasarnya (al-Muharrar).
2.
Penjelasan dan Komentar pada Sebagian Permasalahan.
Dalam kitab al-Muharrar yang
merupakan kitab dasar bahwa penjelasan dan komentar terhadap teks yang
disampaikan tidak ditulis. Hal ini karena penjelasan tersebut dicantumkan dalam
kitab-kitab yang besar dan luas uraiannya (al-mabsutat). Sementara dalam
Minhaj al-Talibin, al-Nawawi menyebutkan berupa komentar dan
penjelasannya dalam sebagian masalah.
3.
Penjelasan Masalah yang Berbeda dengan Al-Muharrar.
Al-Nawawi melalui kitabnya Minhaj
al-Talibin memberitahukan bahwa ada lima puluh tempat atau masalah yang
berbeda dengan al-Muharrar. Di mana al-Muharrar menganggap bahwa
pendapat-pendapat tersebut merupakan pendapat yang rajih atau terpilih (al-mukhtar)
dalam mazhab Syafi`i. Sementara al-Nawawi mentarjihkan kebalikannya. Perbedaan
tarjih antar kedua mujtahid ini dikarenakan perbedaan pandangan ijtihad dan
analisa yang mereka gunakan dalam memahami ungkapan-ungkapan Imam syafi`i dan ashab-nya
(sahabat-sahabat).
4.
Mengubah Teks-teks yang Sulit dalam al-Muharrar.
Dalam Minhaj al-Talibin,
al-Nawawi mengemukakan bahwa mengubah lafaz-lafaz (teks) yang sulit (gharib)
atau sukar difahami (muwahhaman).
yang terdapat dalam kitab al-Muharrar. Yaitu menukarkannya dengan
ungkapan-ungkapam yang mudah difahami. Sehingga lafaz-lafaz itu dapat difahami
maknanya dengan mudah oleh kalangan awam pada umumnya, dan kalangan penganut
mazhab Syafi`i pada khususnya yaitu bagi mereka yang baru belajar (mubtadi`).
5. Istilah-istilah yang dikenal
dalam Kitab Minhaj al-Talibin.
Sistematika selanjutnya yang
ditempuh dalam pembahasan ini adalah memakai istilah-istilah (kode-kode)
terhadap pendapat Imam Syafi`i dan sahabat-sahabatnya. Hal ini dilakukan untuk
membedakan antara pendapat keduanya. Sehingga tidak terjadi percampur-adukan
antara pendapat al-Syafi`i dengan sahabat-sahabatnya. Sementara dalam al-Muharrar
istilah dan sistematika seperti ini tidak dilakukan.
a. Qawlayni
(Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat Al-Syafi`i).
Pengertian Qawlayni di sini
adalah Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat dari Al-Syafi`i yang diucapkan secara
langsung tanpa ada intervensi pendapat para sahabat Syafi`i. Al-Nawawi memakai istilah ini untuk perkataan
atau pendapat Imam Syafi`i selaku mujtahid mutlaq. Istilah ini terbagi kepada
dua macam yaitu: al-Azhar dan al-Masyhur.
1). Al-Azhar
Yang dimaksud dengan al-azhar
adalah Pendapat yang kuat khilaf-nya
(lawan yang kuat) dikarenakan lawannya memiliki dalil-dalil dan
argumentasi yang kuat.
Sementara lawannya disebut dengan Muqabil
al-azhar atau Khilaf al-azhar al-marjuh (lemah) yakni pendapat yang hampir
tidak dapat dibedakan dengan pendapat al-azhar. Karena dalil-dalil dan
argumentasi keduanya hampir seimbang, hanya orang berkapasitas tertentu yang
mampu membedakan kedua pendapat tersebut yakni rajih (kuat) dan marjuh
(lemah). Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat al-zhar adalah pendapat
yang terkuat dalil-dalil dan hujjahnya (argumentasi). Sementara muqabil-nya
(lawan) adalah dalil-dalil dan hujjahnya sedikit lebih rendah kuantitas atau
kualitas di bawah pendapat al-azhar.
2). Al-Masyhur
Yang dikatakan dengan al-Masyhur
adalah Pendapat yang lemah khilaf-nya (lawan yang lemah) disebabkan lawannya
memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang lemah (da`if mudrak).
Untuk membedakan pendapat al-azhar dengan al-masyhur adalah
memperhatikan kepada lawan-lawannya (muqabil). Jika lawannya memiliki
dalil-dalil dan argumentasi yang kuat maka dikategorikan ke dalam pendapat al-azhar
dan sebaliknya jika lawannya memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang lemah (da`if)
maka dinamakan pendapat al-masyhur.
b. Al-Wajhayni (Dua Pendapat atau Beberapa Pendapat
Sahabat-sahabat al-Syafi`i).
Al-Wajhaini adalah Dua
pendapat atau beberapa pendapat hasil ijtihad sahabat-sahabat al-Syafi`i yang
mereka pahami dari ucapan al-Syafi`i. Istilah ini di kategorikan ke dalam dua bagian yaitu: al-asah dan
al-Sahih.
1). Al-Asah
Al-Asah adalah Pendapat
sahabat-sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari ucapan sang imam serta kuat khilaf-nya (lawan yang kuat) dikarenakan lawannya
memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat. Sementara lawannya (
muqabil)
disebut
muqabil al-Asah atau
Khilaf al-Asah.
Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat
al-asah adalah pendapat para
sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari ucapan imamnya yang memiliki
dalil-dalil dan argumentasi yang sangat kuat. Sedangkan lawan
al-asah (
muqabil)-nya
memiliki dalil-dalil dan argumentasi yang kuat tetapi di bawah mutu
al-asah
2). Al-Sahih
Al-Sahih
adalah Pendapat para sahabat al-Syafi`i yang mereka fahami dari
kaidah-kaidah sang imamnya hanya saja lemah
khilaf-nya (lawan yang
lemah) disebabkan lawannya memiliki hujjah dan dalil-dalil yang lemah.
Dalam hal ini al-Nawawi membedakan ungkapan
qawlayni dengan
wajhayni sebagai
kehormatan dan kemuliaan bagi imam al-Syafi`i.
c. Al-Tariqayni
Al-Tariqayni
atau al-Turuq adalah perbedaan pendapat (
ikhtilaf) para
sahabat al-Syafi`i dalam menetapkan atau menentukan
al-madhhab (pendapat
terkuat).
Sebagian para sahabat menetapkan dalam suatu kasus bahwa itu adalah pendapat
al-Syafi`i atau pendapat para sahabatnya yang terdahulu (senior). Sementara
para sahabatnya yang lain memutuskan (
qata`)
sebagai
al-madhhab adalah hanya pada salah satu keduanya yakni dalam
suatu kasus adalah pendapat al-Syafi`i bukan pendapat para sahabatnya. Atau
dalam suatu masalah adalah pendapat para sahabat al-Syafi`i bukan pendapat
imamnya. (n al-Syafi`i. Pendapat Imam Syafi`i atau pendapat sahabat-sahabatnya.
Kemudian ditetapkan sebagai pendapat terkuat (
al-rajih) di sisi
al-Nawawi adalah pendapat yang diberi nama (kode) dengan
al-Madhhab.
d. Al-Nas
Yang dimaksud dengan al-Nas
adalah Nas al-Syafi`i yang merupakan pendapat rajih (terkuat). Sementara
lawannya (muqabil) diistilahkan
dengan wajhun da`if (pendapat
lemah) atau qawlun Mukharraj (pendapat yang keluar) dari kaidah-kaidah
al-Syafi`i.
Kedua lawan ini dianggap oleh al-Nawawi sebagai pendapat lemah yang tidak boleh
diamalkan.
e. Al-Jadid
(Pendapat Baru Imam al-Syafi`i)
Al-jadid adalah
pendapat atau hasil ijtihad Imam al-Syafi`i yang difatwakannya di Mesir. Sementara lawannya (
muqabil)
disebut dengan
al-qadim, yaitu Pendapat atau hasil ijtihad Imam
al-Syafi`i yang dicetuskannya di Iraq.
Dalam hal ini yang rajih menurut al-Nawawi adalah pendapat Imam
al-Syafi`i yang Jadid. Kecuali pada kasus-kasus tertentu, sehingga pendapat al-qadim
yang rajih. Seperti kasus waktu shalat maghrib, menurut pendapat qadim
waktunya yaitu mulai terbenam sampai hilang syafaq merah. Sementara pendapat al-jadid
waktunya adalah mulai terbenam matahari sampai
kira-kira cukup waktu untuk berwudhu` yaitu dengan jalan menutup aurat, azan,
dan qamat serta mengerjakan shalat lima rakaat (maghrib dan sunat ba`diyah)
yang dikerjakan secara wajar dan tidak tergesa-gesa.
Di samping kasus di atas ada beberapa kasus lainnya oleh al-Nawawi mentarjih
pendapat qawl al-qadim dengan jalan memenangkan pendapat al-qadim
sebagaimana akan penulis rincikan kasus-kasus yang dimaksud dalam lampiran
setelah Bab Empat.
f. Qila
Kadha atau Qawlun Kadha
Bila al-Nawawi mengungkapkan qila
kadha (dikatakan demikian) maka itu adalah pendapat da`if (lemah). Dan
lawannya disebut dengan al-sahih atau al-asah (pendapat terkuat).
Sementara itu bila al-Nawawi mengungkapkan kata fi qawlin kadha (pada
pendapat demikian), maka lawannya adalah al-rajih (pendapat terkuat).
6. Masalah-masalah Urgen (nafisah) dalam Minhaj
al-Talibin
Sistematika
selanjutnya yang ditempuh al-Nawawi dalam penulisan kitab
Minhaj al-Talibin
adalah
mencantumkan masalah-masalah yang halus atau urgen
(nafisah) ke
dalam kitabnya. Di mana menurut al-Nawawi pencantuman itu harus dilakukan,
karena bila tidak dilakukan akan menimbulkan kekurangan dalam susunan redaksi
dan pemahamannya.
7. Ungkapan Qultu dan Wallahu `A`lam
Al-Nawawi dalam kitab
Minhaj-nya
terkadang ketika membahas dan menuntaskan sesuatu masalah mengawali dengan
ungkapan
Qultu (saya katakan) dan mengakhirinya dengan ungkapan
Wallahu
`A`lam.
Sementara dalam al-Muharrar,
al-Rafi`i tidak menggunakan ungkapan tersebut. Hal dilakukan untuk membedakan
pembahasan antara kitab keduanya.
Memperhatikan beberapa sistematika yang disampaikan oleh al-Nawawi
sebagaimana tersebut di atas, dapat penulis simpulkan ada beberapa
prinsip-prinsip pokok yang digunakannya dalam mentarjihkan pendapat-pendapat
Imam Syafi`i dan ashab (sahabat-sahabat) nya. Adapun prinsip-prinsip
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Menggunakan Istilah-istilah tertentu dalam
mengungkapkan Pendapat-pendapat Imam Mazhabnya.
- Untuk menetapkan rajih
tidaknya sesuatu pendapat, al-Nawawi memperhatikan kuatnya `illat yang
dikemukakan oleh masing-masing pendapat.
- Untuk mengukur rajih tidak
nya sesuatu pendapat harus mempertimbangkan sisi lain yaitu tujuan dan
manfaat (maslahat).
B. Metode Istinbat dalam
Usul Fiqih
Pengertian Metode
Kata Metode berasal dari
bahasa Yunani yang berarti cara yang teratur untuk memahami sesuatu maksud.
Dengan kata lain Metode adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu.
Bila dikaitkan dengan dunia ilmiyah, maka metode merupakan cara bagaimana
memahami objek yang menjadi kajian ilmu pengetahuan. Dalam menerapkan suatu
metode harus disesuaikan dan dipertimbangkan dengan lapangan studi,
artinya memilih metode mana yang sesuai dengan ilmu yang dibahas.
Metode dalam kaitannya dengan Tarjih
Al-Nawawi dalam Menyelesaikan Perbedaan Pendapat-pendapat Mazhab al-Syafi`i
sesuai dengan pokok bahasan penulis yaitu cara bagaimana Imam al-Nawawi
memperoleh atau menetapkan pendapat-pendapat yang rajih di kalangan mazhab
Syafi`i dengan meneliti dalil-dalil naqli maupun aqli serta argumentasinya dari
masing-masing pendapat tersebut dan memperhatikan kamaslahatan.
Dalam kajian ini perlu dijelaskan
tentang metode istinbat atau ijtihad ushul fiqih, hal ini karena
pembahasan tersebut berhubungan dengan metode yang digunakan al-Nawawi dalam
mentarjih pendapat-pendapat al-Syafi`i. Sehingga diketahui metode apa yang
digunannya dalam pertarjihan.
Pengertian Istinbat. Secara
leksikal kata istinbat berarti mendapatkan (keputusan) hukum dengan
penelitian yang sungguh-sungguh. Istinbat berasal dari kata nabata
yang berarti air yang keluar dari mata air. Apabila kata nabata itu
dikaitkan dengan hukum, maka artinya berubah menjadi “menggali dan mengeluarkan
hukum”. Di bawah ini akan dipaparkan
mengenai beberapa pendapat ulama tentang pengertian istinbat adalah
sebagai berikut:
`Ali al- Jurjani
mengemukakan, istinbat secara
etimologi adalah:
الاستنباط هو استخراج
الماء من العين , من قولهم: نبط الماء اذا خرج.
Artinya: “Mengeluarkan air dari sumber mata
air, dengan ungkapan: telah terpancarlah
air itu jika ia telah keluar.”
Dalam
kamus Munjid disebutkan, istinbat adalah:
استنبط: واستنبط الفقيه:
استخراج الفقه الباطن بفهمه واجتهاده . يقال: استنبط رأيا حسنا او معنى صائبا.
Artinya: ”Istinbat ialah telah beristinbat
seorang faqih, ia telah mengeluarkan suatu hukum yang tersembunyi dengan
pemahaman dan dengan ijtihadnya. sebagaimana ungkapan; ia telah mengeluarkan
pendapat yang bagus dan makna yang benar.”
Dari kedua definisi istinbat
di atas, dapat difahami bahwa istinbat secara etimologi adalah
mengeluarkan air dari sumbernya. Adapun pengertian istinbat secara terminologi adalah, sebagai
berikut:
.`Ali al-Jurjani mendefinisikan istinbat,
yaitu:
الاستنباط هو استخراج
المعاني من النصوص بفرط الذ هن وقوة القريحة.
Artinya;” mengeluarkan makna-makna yang
terkandung dalam al-Qur`an dan Hadith dengan menggunakan kemampuan intelektual
disertai kekuatan akal budi.”
Imam al-Ghazali mendefinisikan istinbat
sebagai berikut:
الاستنباط هو سعي
المجتهدين في اقتياس الاحكام من اصولها واجتنائها من اغصانها.
Artinya: ”Upaya para mujtahid dalam menggali
hukum dari akar (asal) dan memetik hukum dari dahan-dahannya.”
Dari beberapa definisi di atas dapat
dipahami bahwa istinbat secara terminologi adalah pengerahan segenap
kemampuan ruhaniyyah yang berwujud kecerdasan tinggi terhadap dalil-dalil untuk
memperoleh kepastian hukum.
Pengertian Ijtihad.
Secara etimologi,
ijtihad
diambil dari kata
al-jahd atau
al- juhd dengan wazannya
ifti`al
(
افتعال ), yang berarti
al-masyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan
al-taqat (kesanggupan dan kemampuan). Kata
al-jahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan
lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Ijtihad
ketika
itlaq (tidak diberi qayyid) bermakna yaitu berijtihad pada
cabang-cabangnya. Adapun pengertian
ijtihad
secara terminologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para
ulama, yaitu sebagai berikut:
Al-Amidi mendefinisikan ijtihad,
yaitu:
الاجتهادهواستفراغ الوسع
فى طلب الظن بشيء من الاحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد عليه.
Artinya: "Mengerahkan segenap kemampuan
untuk memperoleh suatu hukum syari`at
dari dalil-dalil zanni, sampai orang yang mengusahakan itu merasa tidak
mempunyai kemampuan dalam meneruskan usahanya.”
Imam Taj al-Din Abd al-Wahhab
al-Subki mengemukakan pengertian ijtihad, yaitu:
الاجتهادهواستفراغ الفقيه
الوسع لتحصيل ظن بحكم.
Artinya: "Seorang faqih atau mujtahid
yang mengerahkan segenap kemampuannya untuk memperoleh hukum-hukum zanni."
Imam al-Syawkani mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
الاجتهادهوبذل الوسع في
نيل حكم شرعي عملي بطريقة الاستنباط.
Artinya: “Pengerahan segala usaha dalam
mencapai hukum syara` yang `amali (praktis) dengan metode istinbat.”
Dari
beberapa definisi ijtihad di atas dapat difahami bahwa ijtihad ialah Pengerahan
segenap kemampuan mujtahid atau faqih untuk menggali hukum-hukum syara` dari
dalil-dalil zanni.
Pengertian istinbat dan ijtihad yang
telah dikemukakan oleh para ulama dapat dipahami bahwa antara keduanya
mempunyai hubungan yang sangat erat sekali dan tidak dapat dipisahkan, karena
seorang mujtahid yang mengerahkan segenap kemampuan yang ada (ijtihad) tidak
akan mendapatkan hasil tanpa melalui tahapan-tahapan metode istinbat
Ulama
usul fiqih mengemukakan
bahwa kata
ijtihad identik dengan
istinbat, hal ini karena di
mana terdapat ijtihad di dalamnya ada istinbat atau sebaliknya. Dengan demikian
arti istinbat dan ijtihad ialah menggali hukum-hukum syara` yang belum
ditegaskan secara langsung oleh nas al-Qur`an dan Hadith. Bila dianalisis dapat
disimpulkan bahwa istinbat dan ijtihad mempunyai persamaan dalam pengertian
yaitu menggali hukum-hukum dari dalil-dalil
syara` untuk mendapatkan ketentuan hukum.
Metode-metode istinbat dalam
ushul fiqih umumnya dikelompokkan pembahasannya bersama–sama dengan al-Qur`an
dan al-Sunnah yang dinamakan dengan al-adillat al-syar`iyyat (dalil-dalil syara`).
Pengelompokan ini sebenarnya kurang tepat, karena ada perbedaan antara
al-Qur`an dan al-Sunnah di satu pihak dengan metode–metode istinbat
hukum di pihak lain. Al-Qur`an dan al-Sunnah merupakan sumber hukum, sedangkan qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain merupakan metode yang
digunakan para mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum guna mendapatkan hukum yang sesuai dengan maksud
dan kehendak dari syara`
Secara garis besar, metode istinbat
yang telah berkembang dalam khazanah pemikiran hukum Islam dapat dikategorikan
dalam tiga metode istinbat, yaitu metode bayani,Ta`lili, dan
Istislahi.
a.
Metode Bayani (Penalaran Kebahasaan).
Metode
bayani adalah pola penalaran yang tertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan
atau pada makna-makna lafaz.
Biasanya pembahasan ini diletakkan dalam pembahasan al-qawa``id al-usuliyyat
al-lughawiyyat. Ulama ushul membagi penalaran
bayani kepada empat pembahasan, yaitu:
Pertama, pembahasan lafaz dari segi
cakupan maknanya (isi). Pembahasan ini terdiri
dari: `am, khas, mutlaq, muqayyad, dan musytarak.
Kedua,
pembahasan lafaz dari segi haqiqi atau tidaknya arti yang dimaksud,
pembahasan ini mencakup: haqiqat, majaz, sarih, dan kinayah.
Ketiga, Pembahasan lafaz dari segi
kejelasan dan tidak kejelasan artinya, terdiri dari wadih, dan mubham.
Keempat, Pembahasan lafaz dari segi cara
memahaminya ketika terletak dalam teks, pembahasan ini terdiri dari: dalalah
`ibarah, dalalah isyarah, dalalah nas, dan dalalah iqtida`.
a. Pembahasan Lafaz dari Segi
Cakupan Maknanya (isi)
Lafaz `am
Lafaz `am adalah suatu
lafaz yang menunjukan kepada suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang
tidak dibatasi oleh jumlah tertentu.
Termasuk dalam lafaz `am adalah lafaz "كل“ (setiap), “جميع“ (semua), isim
istifham (kata tanya) seperti lafaz “ ما " (apa), "من“ (siapa), "اين “ (dimana), isim mausul (kata ganti penghubung), isim
mufrad yang dita`rifkan dengan al-jinsiyyat, dan kata jama` yang
dita`rifkan dengan al atau idafah.
Ulama
usul sepakat bahwa
`am mencakup atas semua satuan-satuannya, tanpa
adanya batasan dan pengecualian. Namun mereka berbeda pendapat tentang
dalalah
`am atas satuan-satuannya, apakah
zanni atau
qat`i. Jumhur
ulama berpendapat bahwa
dalalah `am atas kemencakupan kepada
satuan-satuannya adalah
zanni (tidak memerlukan dalil-dalil lain sebagai
pembatasnya). Sementara kalangan mazhab Hanafi mengemukakan
bahwa
dalalah `am tersebut adalah
qat`i kecuali jika ada
pentakhsisnya, dan pentakhsis itu lebih kuat dalilnya.
Lafaz
Khas.
Lafaz
khas adalah
lafaz yang menunjukan kepada suatu satuan, individu tertentu, atau sesuatu yang
terbatas dan diketahui jumlahnya. Seperti nama orang ;(Muhammad, Ismail, Ibrahim,
dan sebagainya), nama benda atau species tertentu ; (kambing, lembu, dan
sebagainya), kata bilangan; (dua, tiga, tujuh seratus, dan seterusnya), kata
perintah (al-amr), dan kata larangan (al-nahy). Menurut ulama usul
lafaz khas dari sudut
dalalah
kepada satuan-satuannya menunjukan
qat`i terhadap makna khusus yang
dikehendakinya. Hukum yang dikandungnya pun bersifat
qat`i selama tidak
ada qarinat (indikasi) yang memalingkan maknanya kepada makna yang lain.
Mutlaq dan
Muqayyad.
Lafaz mutlaq adalah
lafaz
khas yang tidak diberi qayyid (pembatas) yang mempersempit keluasan artinya.
Sebagai contoh, firman Allah SWT QS. Al-Mujadalah/58: 3
...فتحرير رقبة من قبل ان
يتماسا... (المجادلة: )
Artinya: “...Maka merdekakanlah seorang hamba
sahaya, sebelum keduanya (suami isteri) bercampur…”
Lafaz “ رقبة“ dalam ayat di atas adalah lafaz khas mutlaq yang mencakup segala jenis
hamba sahaya, sehingga memberi pengertian boleh memerdekakan hamba sahaya
mukmin dan yang kafir.
Sedangkan
lafaz muqayyad
adalah
lafaz
khas yang telah diberi qayyid (pembatas) dengan suatu sifat yang mempersempit
keluasan artinya. Sehingga cakupannya hanya terbatas apa yang disebutkan oleh
lafaz tersebut. Misalnya kata
“رقبة“ disifati dengan kata “
مؤ منة“,
sebagaimana terdapat dalam firman Allah, QS. Al-Nisa`/4: 92.
...ومن قتل مؤمناخطئا فتحرير رقبة
مؤمنة... (النساء: )
Artinya: “…Barangsiapa membunuh seorang mukmin
karena tersalah (tidak sengaja), maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya perempuan mukmin…”
Lafaz raqabah dalam ayat tersebut adalah
lafaz khas yang diberi qayyid dengan sifat tertentu, yaitu lafaz mukminah sehingga memberikan pengertian
harus memerdekakan seorang hamba sahaya perempuan yang beriman tidak memadai yang selainnya.
Amr dan
Nahy Amr
atau kalimat perintah
adalah lafaz yang berisi perintah untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Sighat
amr yang digunakan
dalam nas, antara lain:
fi`il amr,
fi`il mudari` yang didahului
oleh
lam al-amr, jumlah khabariyyah (kalimat berita) yang mengandung
perintah, lafaz yang memberi pengertian kepada wajib, seperti lafaz
kutiba,
furida, dan sebagainya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa semua lafad
amr mengandung pengertian
wajib, kecuali ada indikasi (qarinah)
yang memalingkan maknanya kepada makna yang lain. Seperti, sunat, mubah
dan sebagainya.
Adapun
nahy
adalah suatu lafaz yang mengandung tuntutan (perintah) untuk meninggalkan
sesuatu dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Sighat
nahy
yang digunakan dalam nas antara lain,
fi`il
al-mudari` yang didahului oleh
la nahiyah, perintah untuk
meninggalkan, kalimat berita yang mengandung pengertian larangan, seperti lafaz
hurrima,
la yahillu atau kata lain yang sejenis.
Sebagaimana halnya
amr yang
memberikan pengertian wajib, maka
nahy menunjukan kepada haram, tidak
dibedakan antara
nahy yang menyangkut dengan bidang `ibadah dan bidang
mu`amalah, keduanya menghendaki haram dan batal perbuatan yang dilarang sesuai dengan maksud syara` kecuali
ada qarinah yang menghendaki makna lain.
Musytarak
(al-Mustarak)
Musytarak adalah lafaz yang
mempunyai arti lebih dari satu, sedang antara satu dengan lainnya mempunyai
pengertian yang berbeda atau berlawanan.
Misalnya lafaz
quru` mempunyai
arti suci dan haid, sebagimana firman
Allah SWT, QS.Al-Baqarah/ 2:228
والمطلقات
يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء...(البقرة:
)
Artinya: "Dan
wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru`…"
Abu Hanifah, al-Thauri, al-Auza`i,
Ibnu Abi Laila, dan juga di antara sahabat, seperti `Umar Ibnu al-Khattab,
`Ali, Ibnu Mas`ud, dan lain-lain mengartikan “quru`” dengan makna haid.
Al-Syafi`i, Malik, jumhur ulama Madinah, Abu Thur, dan di antara sahabat, seperti Ibnu `Umar, Zaid
bin Thabit, dan `Aisyah memilih makna quru`dengan suci.
b. Pembahasan
Lafaz dari Segi Hakiki atau Tidaknya Arti yang Dimaksud.
Pembahasan
lafaz ini dikategorikan kepada haqiqat, majaz, sarih dan kinayah
(sindiran).
Haqiqat dan
Majaz
Haqiqat
Haqiqat adalah suatu lafaz yang
digunakan menurut maksud yang dikandungnya, baik
haqiqat secara
lughawi,
`urf,
syar`i.
Haqiqat lughawi adalah lafaz yang digunakan
menurut makna bahasa, seperti lafaz
insan (manusia) yang arti hakikinya menurut bahasa adalah
hayawan
al-natiq (binatang yang berakal). Sementara
haqiqat `uruf terbagi kepada dua macam, yaitu
`urf `am dan
`urf khas.
Adapun haqiqat `urf `am
adalah lafaz yang digunakan untuk makna yang sesuai dengan `urf `umum,
seperti lafaz al-dabbah untuk binatang yang berkaki empat. Haqiqat
`urf khusus yaitu lafaz yang digunakan untuk makna yang sesuai dengan `urf
khusus. Seperti, lafaz rafa`, nasab, dan jar yang
dipakai oleh para ahli nahu (grametika) dalam perihal perubahan bunyi akhir
kata.
Haqiqat syar`i adalah lafaz yang digunakan menurut makna
syara`. Contoh lafaz “salat” yang arti hakikinya menurut syar`i adalah segala
ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam berdasarkan syarat-syarat dan
rukun-rukun yang telah ditetapkan.
Majaz
Majaz
adalah lafaz yang digunakan bukan menurut makna hakikinya. Sebagaimana lafaz
hakikat, lafaz majaz terbagi empat,
yaitu: majaz lughawi, majaz `urf; `urf `am dan `urf
khas, majaz syar`i. Adapun majaz lughawi, contohnya lafaz asad
untuk julukan bagi pemberani. Majaz `urf `am,seperti lafaz dabbah untuk manusia bodoh, majaz
`urf khas, contohnya: lafaz al-hal untuk menunjukan manusia berada
dalam kebaikan atau kejahatan. Majaz syar`i, seperti lafaz salat
untuk makna do`a.
Menurut
ulama usul bahwa semua lafaz dikembalikan menurut arti hakikinya, selama tidak
ada indikasi yang menunjukan kepada makna majaz. Golongan Syafi`iyyah
berpendapat bahwa lafaz majaz semuanya dipandang khas, tidak ada yang `am,
karena pengalihan suatu lafaz kepada majaz itu dalam keadaan terpaksa
(daruriyyah) maka harus pada cakupan yang minimal.
Sarih dan Kinayah
Selanjutnya
lafaz haqiqat dan majaz ini terbagi kepada sarih dan kinayah. Sarih adalah
lafaz yang sudah jelas artinya, lantaran sudah jelas pemakaiannya baik secara
hakiki maupun majazi. Contoh lafaz sarih hakiki “perkataan menjual dan
membeli”, perkataan menjual berarti melepaskan barang dari penjual, dan
perkataan membeli berarti memilikkan barang kepada pembeli. Contoh lafaz sarih
majazi, yaitu ucapan seseorang “saya memasak nasi” maksud perkataannya adalah "saya memasak
beras", yang dalam istilah ilmu Bayan disebut i`tibar maya`ul,
tergolong ke dalam majaz mursal (beras akan menjadi nasi bila dimasak).
Kinayah
adalah lafaz yang berupa sindiran dan terselubung artinya, sangat tergantung
dengan pembicara (mutakallim). Sebagaimana lafaz sarih, lafaz kinayah
pun dibagi kepada haqiqi dan majazi. Kinayah haqiqi,
seperti ucapan seseorang
"temanmu menemui saya”, kata “teman” belum jelas di sisi pendengar
(sami`), namun yang dimaksud pembicara merupakan makna hakiki. Contoh kinayah
majazi adalah ucapan “beriddahlah kamu”, adalah kalimat sindiran sang suami
kepada isterinya untuk perceraian.
c. Pembahasan Lafaz dari Segi
Kejelasan dan Ketidakjelasan Artinya.
Wadih al-Dilalah dan Khafi al-Dilalah
Wadih al-Dilalah
Wadih al-dilalah ialah lafaz yang
langsung dipahami maknanya tanpa menunggu dalil lain sebagai penjelasannya.
Lafaz ini dibagi kepada empat macam, yaitu: zahir, nas, mufassar,
dan muhkam.
Lafaz
Zahir Lafaz zahir adalah suatu lafaz
yang jelas artinya, tetapi bukan arti itu yang dimaksud dalam konteks (siyaq
al-kalam), contoh untuk ini, yaitu firman Allah QS.Al-Baqarah/ 2:275.
...واحل الله البيع وحرم الربا... (البقرة: )
Arti lahirnya
ialah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Adapun arti menurut konteksnya
adalah perbedaan jual beli dengan riba, hal ini untuk menolak pemahaman orang
musyrik bahwa jual beli sama dengan riba. Lafaz zahir wajib diamalkan selama
tidak ada dalil yang menafsirkan, mentakwilkan dan menasakhkannya.
Lafaz Nas,
Lafaz
nas yaitu lafaz yang jelas artinya dan memang itulah arti yang dimaksud
oleh konteksnya (siyaq al-kalam). Sebagai contoh firman Allah
QS.Al-Nisa`/4:3
...فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنىوثلاث ورباع... (النساء: )
Artinya:
”…Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu cintai, dua, tiga dan empat…”
Makna nas dalam
ayat di atas adalah pembatasan jumlah wanita yang boleh dikawini (poligami)
Lafaz
Mufassar.
Lafaz mufassar yaitu lafaz yang sangat jelas
artinya dan sesuai dengan maksud konteks. Tetapi tidak dapat ditakwilkan atau
ditafsirkan selain oleh syari` (pembuat hukum) sendiri. Seperti firman Allah tentang ayat had
qazaf, QS.Al-Nur/ 24:4
...فاجلدوهم ثمانين جلدة... (النور: )
Artinya: "…maka deralah mereka
sebanyak delapan puluh kali…"
Lafaz
tsamanina
(delapan puluh) adalah lafaz mufassar karena jumlahnya pasti, tidak boleh
dikurangi apalagi ditambah.
Lafaz
Muhkam.
Lafaz
muhkam yaitu
lafaz yang jelas artinya sesuai dengan teks dan konteksnya. Lafaz ini tidak
dapat ditakwilkan, ditafsirkan, atau dinasakhkan. Ia harus berlaku untuk
selama-selamanya, hal ini karena mencakup persoalan-persoalan yang asasi dan
prinsip dalam agama, seperti dasar-dasar keimanan, keutamaan akhlak, persamaan
hak dan kewajiban.
Khafi al-Dalalah.
Khafi al-dalalah adalah lafaz yang tersembunyi
maknanya sehingga perlu penjelasan . Lafaz ini dibagi kepada empat tingkatan
yang berbeda, yaitu khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabbih.
Khafi. Lafaz khafi yaitu, lafaz yang
mempunyai makna yang jelas namun mengalami kekaburan dalam penerapan maknanya. Sebagai
contoh lafaz sariq dalam firman Allah QS. Al-A`raf/5:38
والسارق والسارقة فاقطعوا
ايديهما... ( الاعراف: )
Artinya:
"Dan pencuri laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan
keduanya."
Makna
lafad sariq (pencuri) sebenarnya cukup jelas, yaitu orang yang mengambil
harta orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanannya secara wajar. Akan tetapi dalam menerapkan
maknanya terhadap satuan-satuannya terjadi kekaburan. Misalnya lafaz nasyal (pencopet)
dan lafaz nubasy (pencuri kain kafan atau barang berharga lainnya dalam
kubur), demikian pula pelaku korupsi. Untuk menggolongkan perbuatan-perbuatan
tersebut ke dalam lafaz sariq memerlukan penelitian.
Musykil. Lafaz musykil yaitu lafaz yang
tidak jelas artinya karena lafaz itu sendiri tidak akan diketahui maknanya
sebelum diadakan penelitian atau mencari qarinah yang menjelaskan maksudnya. Terkadang kemusykilan itu terjadi
dalam nas yang terdapat lafaz musytarak, seperti lafaz quru`
dalam firman Allah yang telah tersebut sebelum
ini.
Mujmal.
Lafaz mujmal adalah lafaz yang sulit diketahui artinya kecuali adanya
penjelasan dari syara`. Wahbah Zuhaili menyebutkan, bahwa kemujmalan sebuah
lafaz disebabkan, yaitu: musytarak tanpa
qarinah, penggunaan bahasa yang jarang sekali pemakaiannya yaitu lafaz gharib
(lafaz yang jarang sekali pemakaiannya) menurut istilah yang diberikan oleh
Jalal al-Din al-Mahalli, perubahan makna lughawi menjadi
makna istilahi. Sebagai contoh lafaz
al-qari`ah dalam firman Allah, QS.
Al-Qari`ah/101:1-2.
ألقارعة . مالقارعة... (القارعة: )
Artinya: "Hari Kiamat, apakah hari
kiamat itu…?
lafaz al-qari`ah menurut bahasa berarti
pengetuk, tetapi oleh syara` diartikan dengan hari kiamat.
Al-Mutasyabbih. Lafaz mutasyabih adalah suatu lafaz yang maknanya
tidak jelas dan tidak ada penjelasan dari syara`. Lafaz ini memiliki tingkat kesukaran yang paling
tinggi. Menurut penelitian ulama usul,
lafaz mutasyabih tidak terdapat dalam ayat-ayat dan hadith hukum, tetapi hanya
semata-mata berkaitan dengan akidah.
d.
Pembahasan Lafaz dari Segi Cara Memahaminya Ketika Terletak dalam Teks.
Pembahasan
lafaz ini terbagi menjadi empat cara, yaitu: dalalah al-`ibarah, dalalah
al-isyarah, dalalah al-dalalah, dan dalalah al-iqtida.
Dalalah al-`Ibarah.
Dalalah al-`ibarah disebut juga `ibarah nas
adalah petunjuk yang diperoleh dari apa yang tersurat dalam nas. Dengan dalalah
ini penunjukan lafaz kepada makna akan dapat dipahami sesuai dengan konteks. Seperti firman Allah, QS.
Al-Baqarah/ 2: 275, yaitu: "Penghalalan jual beli dan pengharaman
riba." Dalalah `ibarah dalam ayat tersebut adalah: jual beli tidak sama
dengan riba, yakni hukum jual beli adalah mubah, dan hukum riba adalah haram.
Dalalah al-Isyarah.
Dalalah isyarah disebut juga isyarah nas
ialah penunjukan suatu lafaz kepada makna yang tersirat, dan tidak bisa
dipisahkan dari makna yang dimaksud dalam teks. Contoh firman Allah, QS.
Al-Baqarah/2: 187
احل لكم ليلة الصيام الرفث
الي نساءكم ... (البقرة: )
Artinya:
"…Dihalalkan bagimu para suami mencampuri dengan isteri-isterimu pada
malam Ramadhan..."
Dalalah
isyarah dalam ayat ini adalah ; sahnya puasa seseorang yang berjunub,
karena kebolehan bersetubuh sepanjang malam sampai terbit fajar dalam bulan
ramadan, sehingga mandi junub bisa dilakukan setelah terbit fajar.
Dalalah
al-Dalalah
Dalalah
al-dalalah atau disebut juga
dalalah nas ialah penunjukan suatu
lafaz bahwa hukum yang diambil dari nas (mantuq) berlaku pula bagi perbuatan
yang tidak tertera dalam nas (mafhum muwafaqah),
karena ada persamaan `illat hukum bagi keduanya. Misalnya firman Allah, QS.
Al-Isra`/17: 23
...فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما...( الاسراء: )
Artinya:"…maka jangan sekali-kali
kamu mengatakan " ah" dan membentak keduanya..."
Dalalah nas dalam ayat di atas adalah
larangan memukul, mencaci, dan sebagainya kepada kedua orang tua, karena diduga
perbuatan ini lebih besar menyakiti dari sekedar ucapan “ah".
Dalalah
al-Iqtida`.
Dalalah
al-iqtida ` atau dinamakan dengan
iqtida ` al-nas yaitu penambahan
suatu lafaz dalam kalimat agar mendapatkan makna lebih sempurna.
Contoh firman Allah, QS. Al-Nisa`/4: 23
حرمت عليكم امهاتكم
وبناتكم... (النساء: )
Artinya:
"…Diharamkan bagimu mengawini ibu-ibu dan anak-anak perempuanmu…"
Dalam ayat
tersebut dapat difahami maknanya dengan sempurna manakala ditambah lafad nikah
atau zawaj, dengan demikian bermakna: "Diharamkan menikahi ibu-ibu
kamu…”
2.
Metode Ta`lili (Penalaran Qiyasi )
Metode
ta`lili adalah pola penalaran yang tertumpu pada `illat (rasio logis). Pola penalaran ini didasarkan
pada suatu anggapan bahwa segala ketentuan yang diturunkan Allah guna mengatur
perilaku manusia mempunyai alasan logis (`illat) atau hikmah yang ingin
dicapai. Mengenai `illat dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: `illat tasyri`i, `illat qiyasi, dan `illat
istihsani.
Penggunaan
`illat sebagai dasar metode ijtihad diterima oleh semua fuqaha, kecuali kalangan mazhab
Zahiriyyah dalam hal ini Ibnu Hazm, menurutnya mencari `illat yang tidak
disebutkan secara tegas di dalam nas al-Qur`an maupun Hadith serta
mengistinbatkan hukum berdasarkan `illat adalah mengada-ada dan batal.
Dalam
hal cara menemukan `illat, para ulama usul mengemukakan beberapa cara yang pada
prinsipnya mengacu kepada dua cara, yaitu melalui nas al-Qur`an dan Hadith (`illat
mansusah) dan melalui penalaran logis (`illat ghair mansusah).
Penemuan
`illat melalui nas al-`Qur`an dan Hadith yaitu dengan menggunakan lafaz-lafaz
tertentu, seperti lafaz: la`alla, kay, hikmah, min ajl,
li ajl, idhan, lam, ba, in, idh, `ala,
fi, dan min. Juga dapat diperoleh melalui
isyarat (al-ima`), dan dapat ditemukan dengan ketentuan ijma`. Adapun penemuan `illat melalui
penalaran logis (ghair al-mansusah)
yang dalam pelaksanaannya ulama usul menyebutkan dengan beberapa istilah, yaitu
al-munasabah, al-sabr wa al-taqsim,dan tahqiq al-manat.
3. Metode Istislahi
Metode
istislahi adalah pola penalaran yang tertumpu pada dalil-dalil umum, karena
ketiadaan dalil-dalil khusus mengenai suatu permasalahan dengan azas
kemaslahatan. Penalaran ini dilakukan untuk mendukung atau menguatkan dua
penalaran terdahulu yakni bayani dan ta`lili. Metode ini berusaha mendeduksi
tujuan-tujuan umum syariat serta menyusun kategori guna menentukan skala
prioritas. Ketentuan hukum untuk masalah baru akan dibuat berdasarkan kedudukan
dalam kategori dan skala prioritas itu. Dalam hal ini ada tiga skala prioritas,
yaitu: Pertama, yang penting dan harus terpenuhi untuk kelangsungan
hidup manusia; contoh demi memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan
(disebut daruriyyat). Kedua, yang dibutuhkan manusia untuk
melindungi kebutuhan primer (disebut hajiyyat). Ketiga,
yang melindungi kebutuhan komplementer (disebut tahsiniyyat).
Dalam pola penalaran istislahi ada
beberapa persyaratan pada aplikasi hukum yang didasarkan padanya, bukan sekedar
anggapan yang bersifat setereotip. Dengan kata lain, aplikasi hukum tersebut
dapat menjamin terealisasinya kemaslahatan umat. Kemaslahatan hendaknya
menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak, bukan semata-mata didasarkan
pada kepentingan individu atau komunitas tertentu. Hukum yang dihasilkan dari
penalaran istislahi tidak berujung pada terabaikannya suatu prinsip yang
ditetapkan oleh al-Qur`an maupun Hadith.
C. Metode Tarjih Imam al-Nawawi
Setelah pembahasan sistematika
penulisan kitab Minhaj al-Talibin dan
uraian tentang metode istinbat dalam ushul fiqih sebagaimana
tercantum dalam poin A dan B. Selanjutnya penelitian dalam skripsi ini adalah
metode yang digunakan al-Nawawi dalam mentarjihkan pendapat-pendapat mazhab
al-Syafi`i.
Adapun
metode-metode yang digunakannya dalam men-tarjih pendapat-pendapat tersebut
adalah metode bayani (penalaran kebahasaan) atau kaidah-kaidah
kebahasaan. Dalam penalaran ini al-Nawawi menitik beratkan pada makna setiap
lafadh yang terdapat dalam al-Qur`an maupun Hadith. Sebagaimana terdapat pada
kasus muwalah (beriring-iring)
dalam berwudhuk.
Dalam
kasus ini al-Nawawi men-tarjih pendapat al-Jadid (pendapat baru)
al-Syafi`i yang menyebutkan bahwa muwalah hukumnya sunat,
sebagaimana terdapat dalam al-Qur`an surat al-Maidah ayat 6 dan beberapa Hadith
Nabi SAW. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan dalam poin D mengenai
contoh-contoh tarjih.
Dari
segi pemahaman terhadap teks al-Qur`an maupun Hadith, al-Nawawi menggunakan
beberapa kaidah kebahasaan seperti dalam kasus muwalah ini. Di mana ia beragumentasi bahwa ayat tersebut
tidak menyebutkan adanya perintah muwalah secara langsung dan tegas
sekalipun dengan menggunakan huruf "waw" tidak berarti harus
beriring-iring atau berturut-turut.
Demikian juga al-Nawawi menggunakan
beberapa Hadith tentang tidak wajibnya muwalah dalam wudhu`. Di
mana secara teks Hadith-hadith tersebut jelas tidak menunjukkan adanya perintah
tegas
muwalah. Sebagaimana Hadith yang diriwayatkan oleh Jarir ibnu
Hazim dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada
Nabi SAW sedang orang itu sudah berwudhu` dan tertinggal (tidak terbasuh) di
belakang kakinya sebesar kuku ketika Nabi SAW melihat itu beliau tidak
memerintahkan orang tersebut untuk mengulangi wudhu` dari awal tetapi beliau
memerintahkan untuk memperbaiki wudhuknya.
Ini
menunjukkan bahwa
muwalah dalam wudhuk bukan suatu perintah wajib
melainkan sunat.
Di samping metode bayani
yang digunakan al-Nawawi dalam mentarjihkan pendapat al-Jadid al-Syafi`i
ini, ia juga memakai metode ta`lili atau penalaran ta`lili.
Penalaran ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa segala ketentuan yang
diturunkan Allah SWT guna mengatur perilaku manusia mempunyai alasan logis atau
tujuan yang ingin dicapai. Tugas mujtahid di sini adalah mencari `illat
yang tersembunyi di dalam nas, sehingga dapat dikeluarkan produk hukum.
Al-Nawawi dalam masalah ini melihat
kepada `illat diperintahkan wudhu` ketika hendak mendirikan shalat oleh
Allah adalah untuk bersuci sehingga dapat melakukan perbuatan atau pekerjaan
yang diwajibkan oleh syari`at di mana perbuatan tersebut tidak sah tanpa
bersuci. Bersuci atau berwudhu dapat terealisasi dengan melakukan pekerjaan
yang telah diperintahkan oleh al-Qur`an dan Hadith untuk melakukannya yakni:
berniat, membasuh muka, membasuh tangan hingga siku-siku, menyapu kepala,
membasuh kaki dan tertib. Selain dari pekerjaan tersebut maka dianggap itu
bukan pekerjaan pokok dalam wuduk.
Sementara ada dalil nas yang tidak
secara tegas memerintahkan untuk dikerjakan atau perbuatan Nabi SAW yang
sekali-kali ditinggalkannya maka hal itu masuk ke dalam kategori sunat, seperti
halnya membasuh pergelangan tangan, berkumur-kumur, memasukkan air ke hidung,
dan muwalah.
Alasan lain yang digunakan al-Nawawi
untuk mentarjihkan pendapat salah mazhab Syafi`i adalah dengan menggunakan metode
istislahi atau penalaran istislahi. Yaitu pola penalaran dengan
mendeduksi tujuan-tujuan umum dari pensyari`atan wudhuk untuk ibadah atau
shalat. Metode ini tidak langsung merujuk kepada al-Qur`an dan Hadith,
melainkan berdasarkan pertimbangan kemasalahatan yang diambil dari
prinsip-prinsip dasar kedua sumber tersebut. Tugas mujtahid pada metode ini
adalah mencari prinsip-prinsip dasar dalil untuk kemudian diterapkan dalam
hukum Islam agar umat Islam dapat memperoleh kemaslahatan berdasarkan hukum
tersebut.
Al-Nawawi sangat sependapat yang
menyebutkan bahwa hukum-hukum yang disyari`atkan termasuk pensyari`atan wudhuk
di samping sebagai ibadah mahdah atau al-amr al-ta`abudi (ibadah
vertikal) juga berfungsi sebagai kemaslahatan hamba atau al-amr al-ta`aqquli
(ibadah horizontal). Maslahah yang ingin dicapai dalam tasyri`i hanyalah
yang bersifat umum (maslahah al-`ammah). Kemaslahatan dalam berwudhuk
misalnya adalah bersih lahiriah atau bersih anggota tubuh. Untuk mewujudkan
kebersihan yang dimaksud tidak mesti harus berwudhuk secara muwalah.
D. Contoh-contoh Tarjih
1.
Bersambung (Muwalah) dalam Wudhu`
Muwalah adalah mengiringi atau berturut-turut
membasuh anggota demi anggota pada saat bersuci yaitu dengan cara: sebelum
kering anggota yang pertama dilanjutkan dengan anggota berikutnya, sesuai
dengan kondisi udara dan badan. Demikian disebutkan al-Nawawi dalam kitab al-Kifayat.
Hal yang sama didefinisikan oleh Al-Sayyid Sabiq Dalam kitabnya Fiqh Sunnah,
Muwalah adalah berturut-turut membasuh anggota demi anggota, jangan
sampai orang yang berwudhuk itu menyela wudhuknya dengan pekerjaan lain yang
menurut kebiasaan dianggap telah menyimpang darinya.
Lebih ringkasnya muwalah adalah berturut-turut membasuh dari satu
anggota kepada anggota lainnya, sehingga tidak ada waktu untuk menyela dengan
pekerjaan lain.
Pendapat Qadim Imam al-Syafi`i
menyebutkan bahwa muwalah itu hukumnya wajib.
Demikian pula pendapat selain mazhab Syafi`i yaitu pendapat ulama
Malikiyah dan Hanabilah.
Pendapat Qadim mengemukakan dalil tentang kefardhuannya adalah Hadith yang
diriwayatkan oleh Abu Daud bersumber dari Chalid bin Ma`dan dari sebagian
isteri Nabi SAW, yaitu sebagai berikut:
عن خالد ابن معدن عن بعض ازواجه صلى
الله عليه وسلم انه صلى الله عليه وسلم راى رجلا يصلى وفى ظهر قدميه لمعة قدر
الدرهم لم يصب الماء فامره ان يعيد الوضوء والصلاة. (رواه ابو داود)
Artinya: "Dari
Khalid bin Ma`dan dari sebagian Isteri Nabi SAW, bahwa Rasulullah SAW melihat
seorang laki-laki salat, sedang pada belakang kakinya ada lapang sebesar dirham
yang tidak kena air, maka Nabi SAW memerintahkannya kembali berwudhuk dan salat."
(HR. Abu Daud).
Sementara
pendapat Jadid Imam al-Syafi`i menyebutkan bahwa muwalah hukumnya adalah
sunat. Pendapat ini mengemukan hujjahnya
sebagai berikut:
a. Al-Qur`an .
Dalam
surat al-Maidah ayat 6 Allah berfirman:
يا ايها الذين امنوا اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى
المرافق فامسحوا برؤوسكم وارجلكم الى الكعبين... (المائدة: )
Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan salat, maka
basuhlah muka dan telapak tanganmu hingga siku-siku, dan sapulah kepala dan kakimu
hingga mata kaki".(QS.Al-Maidah(5):6)
Secara
lahiriyah (teks) ayat ini tidak menyebutkan adanya perintah
muwalah. Di
samping ayat tersebut menggunakan huruf
"
waw" sebagai
`ataf-nya, dan itu dimungkinkan
dibasuh dan disapu beriring-iring atau
tidak beriring-iring.
b. Al-Hadith.
عن ابن عمر رضى الله عنهما انه توضا فى السوق الا رجليه ثم دعى لجنازة
فدخل المسجد ثم مسح على خفيه بعد ماجف وضوؤه وصلى. (رواه مسلم)
Artinya:
"Dari Ibnu `Umar RA, bahwasanya ia berwudhuk di pasar kecuali dua
kakinya, kemudian ia diundang untuk salat jenazah maka ia masuk ke dalam mesjid
membasuh sepatunya setelah kering air wudhuknya dan sembahyang ia".
Wajah
istidlal (cara memahami dan beragumentasi) hadith tersebut di atas, menurut
pengarang kitab
al-Syarqawi, adalah jika
damir hadith di atas
muraja`ah
(kembali) kepada Nabi SAW, maka hal itu jelas. Tetapi jika
damir-nya
kembali kepada perawi hadith pertama yakni Ibnu `Umar maka hal itu tidak bisa
menjadi hujjah karena perbuatan sahabat, namun dapat menjadi hujjah manakala dikerjakan
perbuatan tersebut di hadapan para sahabat lainnya, serta salah seorang dari
mereka tidak membantah atau mengingkari, dan ini disebut
ijma` Sukuti.
c. Al-Hadith.
Hadith
yang diriwayatkan oleh Jarir ibnu Hazim dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa
seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW sedang orang itu sudah berwudhu` dan
tertinggal (tidak terbasuh) di belakang kakinya sebesar kuku, maka Nabi SAW
bersabda kepadanya:
عن انس ابن مالك رضى الله عنه قال: (راى النبى صلى الله عليه وسلم رجلا وفى قدمه مثل
الظفر لم يصبه الماء فقال:ارجع فا حسن وضوءك ( رواه احمد
وابوا داود والدار قطنى ).
Artinya: "Dari Anas bin Malik RA berkata: Nabi SAW
melihat seorang laki-laki berwudhuk, sementara pada tumitnya ada sebesar kuku
yang tidak terbasuh Nabi SAW bersabda: Kembali dan perbaikilah wudhu`mu."
(HR. Ahmad, Abu Daud dan Dar al-Quthni).
Jalan memahami dalil dengan hadith ini ialah,
bahwa Nabi SAW tidak memerintahkan orang itu kecuali menyempurnakan atau
memperbaiki wudhuknya. Penyempurnaan wudhuk terlaksana dengan jalan membasuh
kembali anggota yang sebagiannya tertinggal yaitu kaki.
Adapun mengenai hadith yang diajukan
oleh pendapat Qadim di atas, menurut Ibnu Munzir bahwa hadith itu cacat karena
Ibnu al-Walid, ia memakai `an dan
ia berkata `an Bujair, sedang ia da`if apabila memakai `an. Ibnu
Qaththan dan Baihaqy berpendapat bahwa hadith tersebut Mursal, karena ada
sahabat yang tidak di sebut namanya, dan mengambil hujah dengan hadith itu
perlu peninjauan kembali. Sementara Imam al-Nawawi
menyebutkan di dalam kitab Syarh al-Muhazzab bahwa hadith Chalid bin
Ma`dan sanadnya da`if.
Menindak lanjuti pendapat
Qadim dan Jadid serta dalil-dalil dan argumentasi mengenai muwalah dalam
berwudhu`, Imam al-Nawawi dalam hal ini
mentarjihkan pendapat Jadid. Karena menurut penelitiannya bahwa, dalil-dalil
dan argumentasinya yang diajukan oleh qawl al-jadid sangat kuat.
Sementara qawl al-qadim lemah, terutama mengenai hadith Chalid bin
Ma`dan itu dianggap mahmul (takwil) perlu penafsiran yaitu hadith
tersebut merupakan suatu teguran Nabi SAW terhadap seorang laki-laki yang tidak
teliti pada saat berwudhu`.
2. Waktu Salat Maghrib
Adapun
mengenai waktu-waktu salat fardhu disebutkan dalam beberapa hadith Nabi SAW. Di
antaranya adalah hadith yang diriwayatkan oleh Muslim dari `Abdullah bin `Umar,
sebagai berikut:
عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: وقت الظهر اذا زالة الشمس وكان ظل الرجل كطوله مالم يحضرالعصر. و وقت
العصر مالم تصفر الشمس. و وقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق. و وقت صلاة العشاء الى
نصف الليل الاوسط. و وقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس فاذا طلعت
الشمس فامسك عن الصلاة فانها تطلع بين قرنين شيطان. (رواه مسلم).
Artinya: "Dari
Ibnu `Umar RA ia berkata: Bahwa Nabi SAW bersabda: Waktu dhuhur ialah bila
matahari telah tergelincir sampai bayang-bayang seseorang itu sama panjang
dengan badannya, yakni sebelum datang waktu Ashar. Dan waktu Ashar ialah sampai
matahari belum lagi kuning cahayanya. Waktu shalat Maghrib ialah selama syafaq atau awan merah belum
lagi senyap. Waktu Isya` sampai tengah malam kedua, sedang waktu shalat subuh
mulai terbit fajar sampai terbitnya matahari. Jika matahari telah terbit, maka berhentilah
shalat, karena ia terbit di antara kedua tanduk syetan." (HR. Muslim).
Dari Hadith tersebut di atas
ternyatalah bahwa salat lima waktu mempunyai waktu tertentu yang telah
ditetapkan oleh syari`at. Ketentuan waktu ini tidak boleh diubah, karena
merupakan sebagai ma`lum min al-din bi al-darurah atau diketahui
secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.
Di samping hadith di atas, banyak hadith-hadith lain yang menjelaskan
tentang ketentuan waktu-waktu salat, namun penulis hanya membatasi pada satu
hadith saja.
Hadith tersebut menjelaskan pula
tentang ketentuan awal waktu dan akhir waktu bagi salat lima waktu. Tetapi
mengenai salat maghrib hanya menyebutkan awal waktu yaitu terbenamnya matahari,
dan waktu ini tidak terjadi khilaf (beda pendapat) antara qadim
dan jadid serta pendapat-pendapat ulama lainnya di luar mazhab
Syafi`i. Mengenai hal ini Imam
al-Syafi`i mempunyai dua pendapat tentang waktu salat maghrib, yaitu pendapat
qadim dan pendapat jadid.
Pendapat qadim Imam Syafi`i menyatakan
bahwa waktu salat maghrib adalah mulai terbenam matahari sampai hilang syafaq
(mega) merah di langit.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsur, dan Daud
al-Zahiri.
Adapun Pendapat jadid menyebutkan bahwa waktu salat maghrib adalah mulai
terbenam matahari sampai kira-kira cukup waktu untuk berwudhu` yaitu dengan
jalan menutup aurat, azan, dan qamat serta mengerjakan shalat lima rakaat
(maghrib dan sunat ba`diyah) yang dikerjakan secara wajar dan tidak
tergesa-gesa.
Untuk mendukung pendapatnya, qadim
mengemukakan beberapa argumentasi di antaranya:
a. Hadith. Diriwayatkan oleh Ibnu `Umar.
عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: وقت صلاة المغرب اذا غابت الشمس مالم يسقط الشفق. (رواه مسلم)
Artinya: "Dari Ibnu `Umar Ra, ia berkata:
Bahwa nabi SAW bersabda: Waktu salat Maghrib ialah bila matahari terbenam
syafaq belum lenyap." (HR. Muslim).
b. Hadith
yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-`Asy`ari
عن ابى موسى الاشعرى قال:
ان سائلا سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن مواقت الصلاة, فذكر
الحديث, وفيه فامره فاقام المغرب حين وجبت الشمس, فلما كان اليوم الثانى قال: ثم
اخر حتى كان عند سقوط الشفق ثم قال الوقت ما بين هذين.(رواه مسلم)
Artinya: " Dari
Abi Musa al-Asy`ari ia berkata: Bahwa seseorang menanyakan kepada Nabi SAW
tentang waktu-waktu salat, maka Nabi SAW membacakan hadith (waktu-waktu
shalat). Di sana juga disebutkan: " maka disuruhnya orang itu salat, lalu
salat maghriblah ia ketika matahari terbenam. Dan pada hari berikutnya,
katanya: Kemudian diundurkan oleh Nabi SAW sampai dekat hilangnya Syafaq serta
sabdanya: " Waktunya terdapat di antara kedua waktu ini!." (HR. Muslim).
c. Hadith yang diriwayatkan oleh al-Nasa`i
dari Sulaiman bin Buraidah.
عن سليمان بن بريدة عن ابيه قال: جاء
رجل الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فسائله
عن وقت الصلاة,
فقال: ... ثم صلى المغرب قبل ان يغيب الشفق ... (رواه
النسائ).
Artinya:
" dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata: telah datang
kepada Nabi SAW menanyakan tentang waktu-waktu salat, Nabi SAW menjawab…:
kemudian salat Maghrib adalah sebelum hilang syafaq." (HR. Al-Nasa`i).
Dari
ketiga hadith tersebut di atas serta beberapa hadith lainnya yang tidak penulis
sebutkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa waktu salat maghrib adalah mulai
terbenam matahari sampai hilangnya syafaq merah di langit.
Sementara
pendapat jadid al-Syafi`i mengemukakan argumentasinya untuk menetapkan
waktu salat Maghrib yaitu Hadith mengenai Jibril ketika menjadi imam salat, sebagaimana
berikut ini:
عن ابن عباس قال: انه صلى المغرب
با النبى عليه الصلاة
والسلام فىاليومين في وقت واحد...( رواه مسلم)
Artinya:
" Dari Ibnu `Abbas RA ia berkata: Bahwasanya malaikat Jibril salat Maghrib
bersama Nabi SAW selama dua hari hanya satu waktu saja." (HR. Muslim)
Dari
hadith di atas dapat dipahami bahwa waktu maghrib hanya terdiri dari satu waktu
saja atau waktu sempit (al-waqt al-mudayyaq). Berbeda dengan hadith yang
dikemukakan oleh qawl qadim yang menyebutkan waktu maghrib sampai hilang
syafaq merah atau memiliki waktu yang luas (al-waqt al-muwassa`).
Memperhatikan
argumentasi dan dalil-dalil dari masing-masing pendapat di atas, Imam al-Nawawi
mentarjihkan pendapat
qawl qadim,
dengan ungkapannya:
قلت القديم اظهر والله اعلم.
Artinya:
"saya katakan pendapat qadim yang lebih jelas (kuat) Wallahu
`A`lam."
Sekalipun
dalam kebanyakan pendapat Syafi`i, selalu dimenangkan oleh pendapat jadid
al-Syafi`i. Kecuali ada beberapa masalah yang dimenangkan pendapat qadim
al-Syafi`i. termasuk salah satunya adalah masalah waktu salat maghrib.
Imam
al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim: "Para penyelidik atau pentahqiq
di kalangan sahabat-sahabat kita mentarjihkan (menguatkan) pendapat boleh
menunda shalat maghrib hingga sebelum terbenam syafaq, pendapat tersebut adalah
sahih dan betul tidak lainnya. Adapun
mengenai hadith Jibril AS menjadi imam shalat selama dua hari dalam waktu yang
satu ketika terbenam matahari, itu menunjukkan sunat menyegerakan shalat
maghrib pada awal waktunya.
Bahkan
dalam kitabnya yang lain al-Nawawi mengatakan bahwa dalil-dalil yang diajukan
oleh
qawl al-qadim adalah dalil-dalil atau hadith Sahih, dan bila ada
pentakwilan atau penafsiran terhadap hadith-hadith ini, maka dianggap lemah
(mencari-cari alasan). Pendapat inilah yang dipilih oleh sahabat-sahabat
Syafi`iyah, seperti: Ibnu Khuzaimah, al-Khaththabi, al-Baihaqy (w. 458 H),
al-Ghazaly (w. 505 H) dalam
Ihya` nya, al-Baghwy (w.510 H) dalam
al-Tahzib
nya, dan lain-lain.
Demikian
pula bahwa hadith Jibril menjadi imam
asbab al-wurud-nya adalah di
Makkah, sementara hadith Buraidah tentang pertanyaan seorang laki-laki kepada
Nabi SAW mengenai waktu-waktu salat
asbab al-wurud adalah di Madinah.
Maka mendahulukan hadith Buraidah di Madinah lebih utama.
Karena hadith yang muncul di Madinah adalah hadith-hadith hukum, sementara
hadith yang timbul di Mekkah lebih banyak tentang akidah atau iman.
3. Zakat Perdagangan (`Urudh al-Tijarah)
Berdagang
menurut pengertian sebagian ulama fiqih, adalah mencari kekayaan dengan
tukarannya kekayaan. Sedangkan kekayaan dagang adalah segala yang diperuntukkan
untuk diperjual-belikan dengan maksud untuk mencari kekayaan tersebut. Menurut
sebagian lain, kekayaan dagang adalah segala yang dimaksudkan untuk diperjual
belikan dengan maksud untuk mencari keuntungan.
Adapun
landasan kewajiban zakat perdagangan adalah, sebagai berikut:
- Landasan al-Qur`an. Firman Allah SWT, QS. Al-Baqarah/2:267:
يا ايها الذين امنوا
انفقوا من طيبات ما كسبتم ومما اخرجنا لكم من الارض... (البقرة: )
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang kamu keluarkan dari bumi untukmu…”
Imam
Tabari menafsirkan ayat tersebut, yaitu pada kalimat ”
ما كسبتم"
dengan usaha dagang. Demikian pula pendapat Hasan dan Mujahid. Imam Zarkasyi
dalam kitabnya
Ahkam al-Qur`an menyebutkan bahwa maksud dengan kalimat
“sebagian dari usahamu yang baik-baik” adalah hasil perdagangan.
Ayat
di atas secara umum memberlakukan zakat pada semua jenis kekayaan, oleh karena
pengertian ma kasabtum menjangkau semua kekayaan tanpa membatasi
atau mengecualikannya termasuk di dalamnya kekayaan hasil usaha dagang.
b. Landasan
al-Sunnah. Sebagian
besar para sahabat dan tabi`in begitupun para fuqaha setelah mereka berpendapat
tentang wajibnya zakat pada harta perniagaan, karena berdasarkan hadith berikut
ini, yaitu:
عن سمرة بن جند ب قال :((
اما بعد, فان رسول الله كان يأمرنا ان
نخرج الصدقة من الذي نعده للبيع. (رواه ابو داود)
Artinya: ”Dari Samurah bin Jundub, ia
berkata: "…Amma ba`du, sesungguhnya Nabi SAW menyuruh kami mengeluarkan
zakat dari barang-barang yang kami persiapkan untuk perdagangan
.”
(HR,
Abu Daud)
Persyaratan Zakat Harta Perdagangan
Adapun mengenai Syarat-syarat
wajib zakat pada harta kekayaan dagang adalah
al-hawl (setahun) dan
al-nisab (ukuran atau
kadar wajib zakat).
Semua mazhab sepakat bahwa syaratnya harus mencapai satu tahun. Untuk
menghitungkannya pertama-tama harta tersebut diniatkan untuk berdagang. Apabila
telah mencapai satu tahun penuh dan memperoleh keuntungan, maka wajib ia
dizakati.
Perkiraan satu tahun menurut salah
satu pendapat mazhab Syafi`i adalah pada akhir tahun
bukan dari awal, pertengahan atau awal dan akhir tahun atau dari pertengahan
dan akhir tahun. Pendapat yang senada dikemukakan oleh mazhab Hanbali. Maka
kalau seseorang tidak memiliki modal dan laba yang mencapai nisab pada awal tahun,
juga pertengahannya, tetapi pada akhir tahun sudah mencapai nisab, maka ia
wajib zakat.
Sementara
qawl (pendapat)
lain dalam mazhab Syafi`i bahwa perkiraan satu tahun adalah awal dan akhir
tahun bukan pertengahannya.
Demikian pula pendapat di kalangan mazhab Hanafi.
Maka jika seseorang memperoleh laba yang mencapai nisab hanya pada awal, atau
akhir atau pertengahan tahun saja, maka tidak dikenai zakat. Jadi harus
mencapai nisab pada awal dan akhir tahun. Dalam
qawl yang lain pula dari
mazhab syafi`i berpendapat bahwa perhitungan nisab harta dagang adalah pada
sekalian tahun yakni awal, pertengahan dan akhir tahun.
Alasan dari pendapat yang pertama
(perkiraan nisab di akhir tahun) adalah nisab erat sekali kaitannya dengan
harga barang tersebut, sedangkan menilai harga barang dagang setiap waktu
adalah suatu pekerjaan yang amat sulit. Oleh karena itu masa wajibnya adalah
pada akhir tahun yang berlainan dengan masa wajib zakat objek-objek zakat lain
karena nisabnya dihitung dari bendanya yang tidak sulit menghitungnya.
Jalal al-Din al-Mahalli menambahkan bahwa nisab zakat perdagangan diperkirakan
pada akhir tahun, hal ini untuk mempermudah perhitungan dibandingkan bila
perhitungan dilakukan pada awal tahun atau setiap waktu karena harga sering
terjadi perubahan dan sangat sulit.
Dan akhir tahun adalah merupakan waktu wajib zakat.
Adapun alasan pendapat yang kedua
(perkiraan nisab awal dan akhir tahun) adalah sama dengan alasan pendapat yang
pertama, yaitu bahwa penilaian harga barang pada setiap saat sangat sulit,
karena harus diketahui berapa harga setiap barang pada setiap waktu untuk
mengetahui apakah nilai harga seluruh barang sudah sampai senisab atau belum.
Oleh karena sulitnya, maka perhitungannya dilakukan di awal dan di akhir tahun
saja.
Sementara alasan pendapat ketiga
yakni perhitungan nisab pada setiap waktu adalah di mana kekayaan dagang adalah
kekayaan yang memerlukan perhitungan nisab dan waktu. Oleh karena itu jumlah
senisab penuh harus konstan pada setiap waktu, begitu juga ketentuan-ketentuan
lainnya yang juga harus konstan setiap waktu tersebut. Ini adalah pendapat
Tsawri, Ahmad, Ishaq, Abu `Ubaid, Abu Tsaur, dan Ibnu Munzir.
Imam al-Nawawi dalam hal ini
mentarjihkan pendapat pertama yaitu pendapat yang menyebutkan bahwa perkiraan zakat
harta perdagangan adalah pada akhir tahun saja. Alasannya karena perhitungan
akhir tahun sangat memudahkan, bila dibandingkan dengan perhitungan pada awal
dan akhir tahun, apalagi bila perhitungan dilakukan setiap saat. Al-Nawawi
menggunakan ungkapan terhadap pendapat rajih ini dengan al-Rajih,
sementara dua pendapat yang merupakan lawan (muqabil)-nya distilahkan
dengan fi qawl kaza aw aqwal (dalam suatu pendapat atau beberapa
pendapat).
4. Zihar
Zihar
di ambil dari kata "al-zahr" yang bermakna punggung atau
belakang. Dikhususkan dengan al-zahru (punggung) karena ia adalah tempat
berkenderaan, dan isteri adalah kenderaan suami.
Sedangkan zhihar menurut syara` adalah perkataan seorang suami kepada
isterinya: "anti `alayya ka zahri ummi" (engkau tampak olehku
seperti punggung ibuku). Para ulama mazhab sepakat bahwa,
apabila seorang laki-laki mengatakan hal seperti itu kepada isterinya, maka
laki-laki itu tidak halal lagi mencampuri isterinya sampai ia memerdekakan
seorang budak.Zihar
ini pada zaman jahiliyah dianggap menjadi talak, kemudian diharamkan oleh Islam
serta diwajibkan membayar kafarat.
Adapun hukum zihar adalah al-Qur`an,
Hadith dan Ijma` ulama. Keharaman zihar menurut al-Qur`an yaitu berdasarkan
firman Allah SWT surat al-Mujadalah: 2 yaitu sebagai berikut:
الذين يظاهرون منكم من
نساءهم ما هن امهاتهم ان امهاتهم الا الئ ولدن نهم وانهم ليقولون منكرا من القول
وزورا... (المجادلة: )
Artinya: "Orang-orang yang men-zihar
isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal)
tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta". (al-Mujadalah (58): 2).
Dalam
ayat ini zihar diharamkan, karena Allah menyebutkan dan menamakan pelakunya
sebagai orang yang munkar dan dusta.
Sementara dasar hukum zihar menurut Hadith adalah hadith Khawlah Binti Malik
bin Tha`labah yaitu sebagai berikut:
عن خولة بنت مالك بن ثعلبة
قالت: ظاهر منى زوجى اويس بن الصامت, فجئت رسول الله صلى الله عليه وسلم اشكوا اليه,ورسول الله يجادلنى فيه ويقول: اتقى الله فانه ابن عمك, فما خرجت حتى
انزل الله ( قد سمع الله قول التى تجادلك فى زوجها ... الا ية ((المجادلة: 1). فقال: ليعتق رقبة , قالت: لا يجد, قال: فيصوم شهرين متتابعين ,
قالت: يا رسول الله انه شيخ كبير مابه من صيام , قال: فليطعم ستين
مسكينا, قالت : ما عنده من شئ يتصدق به... الحديث. ((رواه
ابو داود)
Artinya: Dari Khawlah binti Malik bin
Tsa`labah ia berkata: Suamiku Uwais bin Samit men-zihar diriku, maka aku
mengadu kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW mendakwa diriku sambil berkata:
bertakwalah kepada Allah, karena ia (Samit) adalah anak pemanmu, lalu aku tidak
keluar rumah sehingga turunlah ayat:... (al-Mujadalah:1). Nabi SAW berkata:
hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya, Khawlah menjawab: ia tidak sanggup.
Nabi SAW berkata: handaklah berpuasa dua bulan berturut-turut, Khawlah
menjawab: ia lelaki yang sangat tua tidak sanggup untuk berpuasa, Nabi SAW
berkata: hendaklah memberi makanan enam puluh orang fakir miskin, Khawlah
menjawab: tidak ada sesuatu apapun yang dapat ia bersedekah... Al-hadith.
(HR. Abu Daud).
Adapun
yang menjadikan dasar hukum zihar adalah ijma` ulama di samping ayat dan hadith
yang telah tersebut di atas.
Telah sepakat para ulama bahwa zihar diharamkan oleh Allah karena telah
mengharamkan sesuatu di mana Allah SWT telah menghalalkannya. Hal ini seperti menggantikan
hukum atau syari`at dari halal menjadi haram atau sebaliknya, dan itu sangat di
cela dalam Islam.
Dalam
masalah zihar ini yang menjadi titik pembahasan penulis adalah mengenai
ucapan-ucapan (lafaz) yang digunakan sehingga dikategorikan ke dalam
makna zihar. Sebab ayat al-Qur`an hanya menyebutkan secara umum, sementara
Hadith Nabi SAW menyebutkan zihar terbatas pada kata "punggung" (zahru).
Para ulama sepakat bahwa seseorang yang mengatakan kepada isterinya dengan
ucapan " anti `alayya ka zahri ummi" (engkau tampak olehku
seperti punggung ibuku) maka itu adalah zihar.
Tetapi para ulama khususnya dalam mazhab (qawl) al-Syafi`i berbeda
pendapat mengenai kata selain dari "punggung" seperti badan, kaki dan tangan, apakah
dianggap zihar atau bukan.
Pendapat
pertama al- Azhar al-Syafi`i menyebutkan bahwa ucapan seorang suami
kepada isterinya " anti `alayya ka yadiha aw batniha aw sadriha"
(engkau tampak olehku seperti tangan, atau perut, atau dada ibuku) maka itu
termasuk zihar. Demikian pula ucapan "anti `alyya ka `aini ummi"
(engkau tampak olehku seperti mata ibuku) dianggap zihar bila diniatkan zihar.
Tetapi bila diniatkan sebagai kemuliaan maka tidak termasuk zihar.
Sementara pendapat kedua (al-thany) al-Syafi`i mengenai ucapan tersebut
itu tidak dianggap zihar, karena semua anggota tubuh tersebut bukan makna zihar
yang dimaksudkan oleh para ahli hukum masa jahiliyyah yakni talak. Maka
dibatalkan oleh Allah SWT hukumnya tidak surahnya (zihar), sebagaimana firman
Allah tersebut di atas.
Perbedaan
pendapat tersebut karena perbedaan makna zihar yang terdapat dalam ayat
al-Qur`an maupun Hadith Nabi SAW. Dimana satu pendapat melihat secara tekstual
nas atau makna lahiriah, sehingga cakupan makna zihar hanya terbatas pada lafaz
yang terdapat dalam nas yaitu makna khas (khusus) yakni
"punggung". Sementara pendapat lain makna zihar adalah mencakup
seumpama badan, tangan, perut, dada dan lain-lain. Sehingga apapun yang terucap
dari suami kepada isterinya seperti ucapan tersebut di atas dikategorikan ke dalam
makna zihar.
Dalam
pembahasan ucapan zihar, al-Nawawi menggunakan beberapa istilah untuk pendapat rajih
(kuat) dalam mazhab al-Syafi`i, seperti al-azhar dan lawannya, al-asah
beserta lawannya. Mengenai masalah zihar, al-Nawawi mentarjihkan pendapat
mazhab al-Syafi`i yang menyebutkan bahwa: seumpama tubuh, tangan, perut, dada
dan sebagainya adalah zihar. Menurut
analisa penulis al-Nawawi dalam mentarjihkan pendapatnya mengenai zihar ini ia
telah menggunakan metode bayani untuk melihat makna zihar yaitu bahwa cakupan
makna zihar tidak hanya terbatas pada pengertian lughawiyah (makna majaz) yaitu
pungggung, tetapi nencakup seluruh anggota badan isteri sebagaimana pembahasan di atas.
Di
samping metode bayani, al-Nawawi menggunakan metode ta`lili yaitu metode
`illat. Adapun `illat yang digunakan al-Nawawi untuk keharaman zihar adalah
menyerupakan isteri dengan lainnya. Hal ini mencakup penyerupaan isteri dengan
ibu kandung suami atau orang yang haram dinikahi. Dan mencakup pula penyerupaan
punggung isteri atau anggota tubuh lainnya.
Adapun
metode istislahi yang digunakan al-Nawawi dalam kasus ini adalah untuk
menghindari para suami agar tidak terjebak dalam ruang lingkup perkara yang
telah diharamkan seperti zihar ini. Memang zihar pada masa jahiliyah dilakukan
oleh suami untuk menceraikan isterinya (talaq) atau rasa tidak suka kepada
isteri. Dalam konteks sekarang ini, zihar banyak dilakukan oleh suami kepada
isterinya sebagai rasa sayang dan cinta kepada isteri, sehingga menyerupai
isterinya dengan ibu kandung atau orang yang haram dinikahi. Walaupun dalam
konteks yang berbeda namun untuk menghindari dari hal syubhat, para ulama
tradisional (klasik) tetap memberlakukan keharaman zihar ini. Apakah para suami
mengucapkan lafaz zihar dalam konteks mencintai isterinya atau tidak suka
kepada isterinya.
Dari
beberapa contoh tarjih Imam al-Nawawi di atas dapat dipahami bahwa ia telah
menggunakan beberapa metode dalam pen-tarjih-annya. Yaitu metode bayani
(metode kebahasaan), metode ta`lili (metode `illat atau metode qiyasi),
dan metode istislahi (kemaslahatan). Melalui metode bayani,
al-Nawawi melihat makna-makna nas al-Qur`an atau Hadith yang bersifat umum atau
lainnya sehingga perlu dilakukan pentakwilan atau tidak. Demikian pula
al-Nawawi menggunakan metode ta`lili, yakni dengan memperhatikan
`illat-`illat yang digunakan oleh masing-masing pendapat. Di sini al-Nawawi
memilih dan memilah mana `illat yang terkuat untuk dijadikan pendapat yang
rajih dalam mazhab al-Syafi`i. Di samping itu al-Nawawi menggunakan metode istislahi
yaitu memperhatikan kemaslahat umum (maslahah al`ammah) dengan jalan
memilih pendapat yang sesuai dan mendekati dengan kepentingan umum.
Lampiran : Contoh-contoh
kasus yang di sebutkan al-Nawawi untuk Memenangkan (rajih) Pendapat qawl al-Qadim terhadap qawl
al-jadid sebagaimana yang dikutip dari kitab Minhaj al-Talibin
A.
Bidang Fiqh Ibadah
1. Air musta`mal pada taharah fardu
2.
Kesucian air mengalir yang terkena najis
3. Batal wudhu` dengan sebab menyentuh halqah
dubur
4. Batal wudhu` dengan sebab menyentuh kemaluan
binatang
5. Muwalat dalam wudhu`
6. Muwalat pada tayammum
7. Kewajiban mengqada shalat yang dilakukan
karena menghormati waktu
8. Kesunnahan azan bagi yang shalat sendirian
9. Kesunnahan azan bagi yang mengqadha shalatnya
10. Memulai kembali shalat yang batal karena
berhadats tanpa sengaja
11. Kewajiban mengulangi shalat yang dikerjakan
dalam kondisi bernajis dan diketahuinya
setelah selesai shalat
12. Batas akhir waktu shalat zuhur
13. Letak sujud
dalam shalat
14 jumlah tempat sujud tilawah dalam shalat
15 Status shalat fardhu yang diulangi secara
berjamaah
16 Permasalahan sah shalat orang qari
yang mengikut[ orangb ummi
17 Melakukan sujud sahwi setelah salam
18. Yang diutamakan menjadi imam shalat antara
orang yang telah lama memeluk islam dengan orang yang mulia silsilah
keturunannya
19 Mendahului imam pada tempat berdiri dalam
shalat
20 Permasalahan shalat jama' ta'khir
karena hujan
21 Hukum bepergian pada hari jum'at sebelum
zawal matahari
22 Hukum berbicara saat khatib membaca khutbah
jum'at
23 Yang lebih afdhal diantara mandi sunat
24 Kebolehan membaca kembali
takbir dalam shslat hari raya sebelum ruku' jika ditinggalkan secara lupa
25 Batas berakhirnya waktu shalat
gerhana
26 Permasalahan memutar rida'
bagi khatib dalam khutbah shalat istisqa'
27 Hukum mengambil bulu dan kuku mayat yang
meninggal dalam ihram
28 Yang paling berhak mengimami
shalat jenazah diantara wali 'am dan wali khas bagi mayat
29 Ukuran hewan yang dikeluarkan
sebagai zakat dari hewan-hewan kecil yang wajib dizakati
30 Jenis buah-buhan dan
tumbuh-tumbuhan yang wajib dizakati
31 Menggabungkan sebahagian zakat
benda hasil tambang kepada sebahagian yang lain
32 Kewajiban diantara zakat benda
('ain) dan perniagaan(tijarah) pada hewan yang menjadi barang
dagangan.
33 Kewajiban mengeluarkan zakat benda dan
naqd (emas dan perak) yang dipiutangkan kepada orang lain.
34 Kewajiban mengqadha puasa ramadhan yang
dilakukan diluar bulan ramadhan dan diketahui setelah bulan ramadhan berakhir.
35 Hukum berpuasa pada hari tasyrik.
36 Menggantikan puasa atas nama orang meninggal
yang tiada halangan untuk mengqadhakannya.
37 Hukum i'tiqaf bagi perempuan di mesjid dalam
rumahnya.
38 Hukum membaca talbiah pada
thawaf qudum dan sa'I sesudahnya.
39 Hukum berihram untuk haji dalam
bulan haji, kemudian berihram untuk umrah sebelum thawaf qudum.
40 Kewajiban membayar binatang
buruan, pepohonan, dan rerumputan ditanah haram Madinah.
B. Bidang Fiqh Mu'amalah
1. Hukum
penjualan benda tanpa izin pemilik
2. Meminta ganti
barang yang ada dalam zimmah (tanggungan) pembeli
3. Menjual
biji-bijian yang tidak nampak dalam tangkainya
4. Membayar
ganti rugi buah-buahan yang membusuk dalam kekuasaan pembeli setelah diserahkan
oleh penjual.
5. Menambah
hutang tanpa menambah benda menambah benda jaminan hutang (marhun).
6. Mengambil
kembali budak yang masih hidup dari tangan pembeli yang disita hartanya oleh
hakim, sedangkan sebahagian harganya telah duluan diambil dan budak yang satu
lagi telah meninggal.
7. Hukum meletak
kayu diatas dinding yang terjadi perkongsian.
8. Hukum meletak
kayu diatas dinding bangunan yang tidak ada perkongsian.
9. Kebolehan
memaksa mitra perkongsian untuk membangun dinding.
10.Z aman (menanggung
pembayaran) sesuatu yang belum wajib bayar.
11. Mensyaratkan mengetahui bagi
barang yang akan ditanggung.
12. Membebaskan hutang yang tidak
diketahui bentuk dan jumlahnya.
13. Ketentuan pembayaran pada
budak yang dianiaya setelah dirampas
dari pemiliknya.
14. Pepohonan yang dibolehkan untuk aqad musaqah.
15. Hukum hibbah dengan
lafadh" saya berikan ini kepadamu selama
hidup kamu
16.Hukum hibbah dengan lafadh" jika saya
lebih dulu meninggal, maka benda ini jadi
milikmu, dan jika kamu meninggal duluan, maka benda ini kembali kepada saya.
17. Harta warisan dari hamba yang merdeka setengah jiwanya(al-mub'adh)
18. Pensyaratan orang fakir yang berhak menerima zakat.
C.
Bidang Fiqh Munakahat
1. Menerima
pengakuan gadis yang 'aqil baligh tentang pernikahannya.
2. Nafkah isteri
yang menyusul suami kedalam islam pada masa 'iddah.
3. Khiyar fasakh
bagi bagi suami yang mendapat 'aib isterinya kemudian dari nikah.
4. Meminta ganti
rugi mahar bila calon isterin ternyata murtad ketika akad nikah.
5. Yang
menanggung mahar dan nafkah pada pernikahan budak yang direstui oleh budaknya.
6. Penetapan
mahar karena terjadi khalwat antara suami isteri.
7. Wali isteri
membebaskan mahar yang wajib atas suami.
8. Menggantikan
giliran bermalam untuk isteri yang berpergian karna keperluan sendiri.
9. Status thalak
yang diserahkan wewenangnya kepada isteri( tafwidh thalak).
10. Mempersaksikan
ruju'.
11.
Lafadh sumpah pada masalah ila' (suami
bersumpah tidak akan menyetubuhi isterinya).
12. Bentuk lafadh sharih dan kinayah pada ila'.
13. Ketentuan
kafarat pada zihar terhadap empat isteri secara bersamaan.
14. Terputus
tatabu' (kesinambungan) Puasa untuk Kafarat zihar disebabkan sakit.
15. Kewajiban
menyegerakan nafi anak pada li'an.
16. Kewajiban
'iddah karna khalwat antara suami isteri.
17. Lama masa
'iddah bagi wanita yang tidak haid karena suatu penyakit.
18. Ketentuan
'iddah bagi wanita yang tidak mengalami haid setelah monophose.
19. Ketentuan
'iddah bagi wanita yang diruju' dalam keadaan tidak hamil, kemudian diceraikan
lagi.
20. Ketentuan
untuk sah nikah bagi isteri orang yang mafquq (hilang dan tidak ada
berita).
21. Pengertian
quru' pada masalah istibra' (menahan diri semacam 'iddah) pada budak
perempuan.
22. Penyebab wajib nafkah atas suami.
23. Kewajiban nafkah untuk isteri yang tidak melayani suami,
sedangkan suami tidak meminta untuk dilayani.
24. Orang yang
diutamakan untuk mengasuh anak setelah ibu.
D.
Bidang Fiqh Jinayat
1. Pengganti
unta untuk diyat jika tidak ada unta
2.
Kewajiban membayar terhadap
kecelakaan yang disebabkan pancuran yang dikeluarkan kepada lorong.
3.
Keluarga pembunuh yang dibebankan
membayar diyat.
4. Ketentuan
menebus budak yang melakukan jinayat.
5. Ketentuan
menebus budak yang melakukan jinayat sebelum penebusan terhadap jinayah pada
kali pertama.
6. Sanksi
terhadap pembunuh secara sengaja pada masalah qasamah (bukti didapatkan
melalui sumpah wali korban).
7. Status jual
beli, pergadaian,dan hibbah yang dilakukan orang murtad.
8. Bersumpah
tidak berbicara dengan seseorang, lantas mengirim surat kepadanya.
9.
Aqad kitabah orang murtad terhadap
hambanya.
10. Hukum menjual hamba mukatab.
BAB
V
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas ada
beberapa kesimpulan yang dapat peneliti sampaikan sebagai penutup penulisan
skripsi yang berjudul "Metode Tarjih Imam al-Nawawi dalam Menyelesaikan
Perbedaan Pendapat Mazhab al-Syafi`I (kajian terhadap Kitab Minhaj
al-Talibin)". Adapun sebagai kesimpulan yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1. Al-Nawawi sebagai salah seorang tokoh
besar yang telah berjasa dalam menghidupkan al-sunnah dan mengembangkan mazhab
Syafi`i serta telah banyak melahirkan karya-karya besar dan agung di dunia
Islam terutama dalam bidang fiqih dan hadith. Ia mendapat kedudukan dan bergelar sebagai mujtahid
tarjih di kalangan mazhab al-Syafi`i yaitu mujtahid yang sanggup
men-tarjih-kan (menguatkan) pendapat-pendapat yang berbeda dalam mazhabnya.
2. Kitab
Minhaj al-Talibin adalah merupakan buah karya monumental al-Nawawi dalam bidang fiqih
yang membahas tentang perbedaan pendapat dalam mazhab Syafi`i serta
pentarjihanya.
3. Penulisan
kitab Minhaj al-Talibin tidak terlepas dari sistematika penulisan yang
digunakan al-Nawawi. Di antara sistematika yang dimaksud adalah: sebagai
berikut: (1). Ikhtisar, yaitu memperpendek uraian dalam setiap
pembahasan agar mudah dipahami dan dihafal. (2). Pengklasifikasian Istilah
yakni dalam setiap uraian pendapat mazhab Syafi`i, al-Nawawi memberikan istilah
atau nama untuk masing-masing pendapat tersebut. Misalnya al-azhar
adalah salah satu pendapat imam al-Syafi`i yang dianggap kuat (rajih),
sementara lawan (muqabil)-nya dianggap lemah (da`if). Demikian
juga pendapat imam al-Syafi`i lainnya: qawl al-jadid yaitu pendapat
Syafi`i di Mesir, dan (muqabil)-nya disebut dengan qawl qadim
yaitu pendapat Syafi`i di Iraq. Pemberian istilah untuk masing-masing pendapat
dalam mazhab Syafi`i adalah untuk membedakan mana yang tergolong ke dalam
pendapat al-Syafi`i sendiri dan pendapat para sahabat Syafi`i,
4. Pentarjihan
yang dilakukan al-Nawawi dalam kitab tersebut tidak terlepas dari metode
istinbat atau ijtihad yang digunakannya dalam membahas dan mentarjih berbagai
pendapat mazhab al-Syafi`i. Adapun metode yang digunakannya adalah metode bayani
atau pola penalaran bayani yakni
pola penalaran yang tertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan atau pada
makna-makna lafaz.
5. Metode
selanjutnya adalah metode ta`lili atau penalaran ta`lili
yaitu pola penalaran yang tertumpu pada `illat
(rasio logis). Pola penalaran ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa segala
ketentuan yang di turunkan Allah SWT guna mengatur perilaku manusia mempunyai
alasan logis (`illat. Melalui penalaran ini al-Nawawi berusaha
mengungkapkan `illat masing-masing pendapat mazhab al-Syafi`i, kemudian
al-Nawawi menyaring dan meneliti `illat-`illat tersebut selanjutnya ditetapkan
pendapat yang rajih berdasarkan kuat tidaknya `illat yang diajukan oleh
masing-masing pendapat.
6. Disamping
kedua metode penalaran di atas al-Nawawi melengkapi penelitiannya dengan metode
selanjutnya yaitu metode istislahi yakni pola penalaran yang tertumpu
pada dalil-dalil umum, karena ketiadaan dalil-dalil khusus mengenai suatu
permasalahan dengan pertimbangan kemaslahatan. Berdasarkan ketiga metode inilah
al-Nawawi mentarjihkan pendapat-pendapat dalam mazhab Syafi`i.
B.
Saran-saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang
diperoleh di atas, dapat peneliti ajukan beberapa saran guna memperluas
pengembangan dan pemahaman kita terhadap kitab-kitab fiqih khususnya kitab-kitab fiqih mengenai persoalan
yang berkenaan dengan perbandingan mazhab dan perbedaan pendapat para ulama
dalam satu mazhab. Adapun saran-saran yang diajukan penulis adalah sebagai
berikut:
2.
Untuk memperluas wawasan para dosen dan
mahasiswa dalam kajian ilmu-ilmu keislaman terutama kajian fiqih, sebaiknya
kita mempelajari dan mengkaji kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih yang membahas
persoalan perbandingan mazhab, atau perbandingan dalam satu mazhab. Seperti
kitab Minhaj al-Talibin yang menjadi topik pembahasan peneliti.
3.
Dalam mempelajari kitab-kitab tersebut tidak
akan tercapai manakala upaya pengadaan referensi kitab dan buku-buku di pustaka
yang sangat terbatas, untuk itu diharapkan adanya kepedulian berbagai pihak
terutama pihak akademisi untuk memeperbanyak kitab-kitab atau buku-buku dalam
bidang yang dimaksud.
4.
Semoga kiranya kajian peneliti tentang tarjih
ini dapat dilanjutkan dan diperluas pembahasannya oleh siapa saja yang
mempunyai keahlian di bidang ini, terutama mereka yang mempelajari kajian fiqih
dan usul fiqih.
5.
Saran dan kritikan dari berbagai pihak
terutama para pakar fiqih sangat peneliti harapkan, guna pengembangan pemahaman
fiqih dan usul fiqih dalam rangka melahirkan tokoh-tokoh fiqih yang
berkualitas. Demikian penulisan karya ilmiah ini semoga bermanfaat bagi kita
semua. Wassalam!
DAFTAR PUSTAKA
`Abd al-Hamid al-Hakim, Al- Sullam, Jakarta: Sa`adah Putra, t.t.
`Abdurrahman Asnawi Jamal al-Din, Tabaqat al-Syafi`iyyah,
Juz.II, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1987.
Abdul Azis Dahlan, (ed.), Ensikolpedi Hukum Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 997.
Abu Bark Muhammad Ibnu Muhammad al-Sarakhsi, Usul al-Sarakhsi,
Tahqiq Abu al-Wafa al-Afghani, jilid I, (Beirut: Dar al- Kutub al-`Ilmiyyah,
1993).
Abu Hamid al-Gazaly, Al-Mustasfa fi `Ilm al-Usul, Jilid.I, Bairut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1983.
Abu Zakaria bin Yahya al-Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu` Syarh
al-Muhazzab, Juz. I, Beirut: Dar al-Fikr al-`Arabiyyi, t.t.
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqh, t.tp: Muassasah
Qurtubah, 1987.
Ahmad bin Muhammad al-Sawi, Al-Sawi,
t.tp: t.p, t.t.
Al-San`ani, Subul al-Salam
Juz. II, Mesir: Tijariyah Kubra, t.t.
Al-Rafi`i, Muqaddimah al-`Aziz
ala Syarh al-Wajiz, Bairut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1997.
Al-Qarafi, Tanqih al-Fusul,
Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
--------------------------, Diktat Usul Fiqh,
Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, 1987.
--------------------------, "Teori
`Illat dan Penalaran Ta`lili," dalam Hukum Islam di Indonesia,
Bandung: Rosda Karya, 1994.
`Ali Hasballah, Usul al-Tasyri` al-Islamy,
Al-Qahirah: Dar al-Ma`arif, 1964.
Badran Abu `Ainain, Bayan
al-Nusus al-Tasyri`iyyah, Misra: al-Ma`arif, 1969.
Cik Hasan Basri, Model Penelitian
Fiqh (Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian), Jilid. I,
Bogor: Kencana, 2003.
Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian,
Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2005.
Fati al-Durayni, Al-Manahij
al-Usuliyyat fi al-Ijtihad bi al-Ra`yi fi al-Tasyri` al-Islamy, Damaskus:
Dar al-Kitab al-Hadith, 1975.
Hasan Ahmad Khatib, Al-Fiqh
al-Muqaran, t.t.p: Matba`ah Dar al-Ta`lif, 1957.
Hasbi Ash
Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, jilid 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
--------------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadith,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa
al-Nihayah, jilid VII, Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah 1994.
Mahmud Syaltut dan Ali al-Sayis, Perbandingan
Mazhab dalam Masalah Fiqih,
Terj. Ismuha, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Manna` Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, Terj. Mudzakir
AS, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1992.
Mustafa Sa`id al- Khin, Athar Al-Ikhtilaf fi al-Qawa`id al-Usuliyyat
fi Ikhtilaf al-Fuqaha`, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1972.
Muhammad Abdul Aziz Al-Halawy, Fatwa dan Ijtihad Umar Khaththab
(Ensiklopedi Berbagai Persoalan Fiqih), Terj. Zubeir Suryadi Abdullah,
Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad
al-Syawkani, Irsyad al-Fuhul, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
Muhktar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, Bandung: Al-Ma`arif, 1997.
M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Muhammd Abu Zahrah, Usul
Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Mua`sir, 1989.
Muhammad Adib Salih, Masadir al-Taysri` al-Islamy wa Manahij
al-Istinbat, (Damsyiq: al-Matba`ah al-Ta`awuniyah, 1968).
Muhammad Ali Sayyis, Sejarah Fiqih Islam, Jakarta, Pustaka al-Kausar, 2003.
Muhammad Khudari Beyk, Tarikh Tasyri' al-Islami, Cairo:
Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1970.
Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad
al-Sawkani, Irsyad al-Fuhul, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Muhammad Wafa, Metode Tarjih
atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’ Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995.
Mustafa Syalabi, Ta`lil al-Ahkam, Beirut: Dar al-Nahdah
al-`Arabiyah, 1981.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana, 2001.
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Peunoh Dali, "Menelusuri Pemikiran Maslahat dalam Hukum
Islam", Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Penyunting: Iqbal
Abdurrauf Saimin, Jakarta: Panji Mas, 1988.
Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Rafi`i Nazari, `Illat dan Dinamika Hukum Islam, Disertasi,
Jakarta: IAIN Sahid, 1991.
Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Jilid. III,
Bairut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1983.
Syihab
al-Din al-Qulyubi, Hasyiah Qaliyubi, Surabaya: Syirkah Nur Asia,
t.t.
Taj al-Din bin `Abd al-Wahhab bin `Ali al-Subki, Jam`u al-Jawami`,
juz. II, Indonesia: Dar al-Ihya`
al-Kutub al-`Arabiyyah, t.t.
Taj
al-Din 'Abd al-Wahh ib al-Subki, Tabaqat Syafi’iyyah al-Kubra, jilid
VIII, Bairut: Dar al-Fikr, t.t.
`Umairah, Hasyiah `Umairah, Surabaya: Syirkah Nur
Asia, t.t.
Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islami wa Adillatuhu, jilid I,
Bairut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1989.
-----------------------, Usul
al-Fiqh al-Islamiyyi, Juz.2, Bairut: Dar al-Fikr, 1998.
GLOSSARY
Taqlid secara bahasa adalah mengikuti atau
ikut-ikutan. Secara terminologi taqlid adalah mengikuti perkataan dan perbuatan orang lain dan
menyakini kebenarannya tanpa melihat dan memikirkan kepada dalilnya. Dengan kata
lain, taqlid ialah menerima perkataan orang lain tanpa alasan dan dalilnya. Lihat
Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, (Cairo:
Dar Rayyan, t.th). hal. 90. Masa taqlid adalah masa dimana orang menerima
pendapat seorang ulama tanpa melihat dan
memperhatikan kepada dalil dan alasannya yang dipergunakannya.
Nama lengkap Ibnu Jarir adalah Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Bin Yazid bin Kathir bin Ghalib al-Tabari. Dilahirkan di Tubristan tahun
223 H. Pendapat lain ia lahir pada tahun 225 H. Selanjutnya pindah ke Baghdad
dan wafat pada tahun 310 H. Ia merupakan ulama yang; sangat alim pada masanya,
menguasai al-Qur'an, sunnah dan ilmu turuq al-istinbat fi al-fiqh
(metode-metode istinbat dalam fiqih) serta mengetahui mana hadith sahih dan
da’if, mengetahui nasakh dan mansukh, pakar sejarah dan mengetahui usul al-fiqh.
Karyanya yang terkenal adalah Tafsir al-
Tabari, Jami' al-Bayan an Tawil Ayati al-Qur’an,
Tarikh al-Umam wa al-Muhik Dalam
bidang fiqh; Ikhtilaf al-Fuqaha’ dan lain-lainnya. la dianggap sebagai
mujtahid mutlaq pada masanya dan sebagai mujtahid mutlaq yang terakhir. Lihat Ibnu
Jarir a]-Tabari, Muqaddimah Kitab Ikhtilaf al-Fuqaha, (Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), hal 5.
Muhammad Ali
Sayyis, Sejarah Fiqih Islam,
(Jakarta, Pustaka al-Kausar, 2003), hal.169.
Muhammad Khudari Beyk, Tarikh Tasyri' al-Islami, (Cairo: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1970),
hal. 140-142
Secara etimologi kata al-tarjih adalah bentuk masdar
(sumber) dari kata dasar rajjaha,
artinya mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong kepadanya. Ada juga
dikatakan sesuatu barang dikatakan unggul bila. timbangannya bertambah atau
lebih berat dari pada yang lainnya. Sedangkan menurut istilah, tarjih
sebagaimana yang dikemukakan oleh Fakhru al-Din al-Razi adalah:
الترجيح: تقوية احد الطرفين على الاخر ليعلم الاقوى
فيعمل به ويطرح الاخر
Artinya: “Menguatkan
salah satu dalil atas yang lainnya agar dapat diketahui mana yang lebih kuat
untuk diamankan dan ditinggalkan dalil yang lainnya”.
Lihat Muhammad Wafa, Metode
Tarjih atas Kontradiksi Dalil-dalil Syara’ (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
1995), hal. 56.
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah
al-Bajuri ‘ala Abi Qasim, (Bairut: Dar al-'Ihniyah, 1999),hal. 36.
Nama lengkapnya adalah Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya
bin Syarf al-Nawawi. Lahir tahun 630 H Nawa, salah satu daerah dekat Darnaskus
(Syria).
la hidup dalam lingkungan ahli ibadah dan ilmu hingga ia mempunyai sifat wara',
zuhud dan ahli ibadah ia menghabiskan waktu dengan mengarang kitab yang masih
tinggal sampai sekarang di antara karyanya adalah. Syarh Sahih Muslim, Riyadh al-Salihim, al-Azkar. Dalam bidang fiqh
ia mengarang kitab Rawdah al-Talibin,
Minhaj al-Talibin, al-Majmi'Syarh al-Muhadhdhab. Dalam bidang bahasa Tahdhib alAsma' wa al-lughah dan lain
lainnya. la wafat pada hari rabu 14 Rajab tahun 676 H di desa kelahirannya
dalam usia 45 tahun. 'Abd al-Rahim
al-Asnawi, Tabaqat al-Stafi`yyah, jilid 11, (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1987), hal, 266. Ibnu Kasir, al-Bidayah wa al-Nihoyah,
jilid VII, (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah 1994), hal. 231. Taj al-Din 'Abd
al-Wahh ib al-Subki, Tabaqat Syafi’iyyah al-Kubra, jilid VIII, (Bairut:
Dar al-Fikr, t.th), hal, 3 95.
Ulama abad ke XX seperti Kandahlawi, Muhammad Abu
Zahrah, Wahbah al-Zuhaili, Yusuf al-Qaradawi dan lain lainnya membagikan
kelompok ulama mujtahid itu menjadi beberapa tingkatan di antaranya adalah mujtahid
mutlaq dinamakan juga dengan mujtahid mustaqil yaitu mujtahid yang
ijtihadnya tidak terkait atau mengikat dengan qawa'id (kaida-kaidah) orang
lain. Mujtahid yang terikat dengan qa'idah imamnya dalam memahami dan
mengistibat hukum dinamakan dengan mujtahid mazhab. Seterusnya mujtabid
al-tarjih yaitu mujtahid yang mengeluar fatwa tetapi ia mengetahui dalil
yang ditetapkan imamnya, sanggup menguraikannya dan sanggup mentarjih perkataan
imamnya dan perkataan muridnya seperti imam al-Qaduri dan al-Marghinani dari
golongan ulama Hanafi dan imam al-Raft'i dan Nawawi dalam mazhab Syafi'i.
kemudian mujtahid fatwa yaitu ulama yang menguasai mazhab imamnya memahaminya
secara detail dan jelas tetapi ia tidak sanggup menetapkan dalil dan
menguraikan perbandingannya dengan lainnya. Ulama yang digolongkan dalam kategori
ini seperti Ibnu Hajar al Haitami, dan al-Ramli dalam mazhab Syafi'i. Muhammad
Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Cairo: Dar al-Fikr al-Mu'asir, 1989), hal, 47-48
dan Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, jilid 1, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994). Hal. 118.
Kitab Minhaj al-Talibin merupakan kitab
ringkasan dari kitab al-Muharrar karya imam al-Rafi’i dan merupakan
ringkasan dari kitab al-Wajiz karya
imam al-Ghazali.
Imam al-Rafi'i
nama lengkapnya Abd al-Karim bin Muhammad Abd al-Karim bin al-Fadl bin
at-Husaini bin al-Hasan, lahir tahun 555 H di daerah Rafa' salah satu wilayah
di Quzwaini. la sangat mementingkan dalam ilmu Syari'ah, i1mu tafsir, hadith,
usul al-fiqh dan sangat alim pada zamannya, kitab fiqh nya menjadi panutan umat
yang selalu beribadah. la berguru pada ayahya yang merupakan seorang ulama
terkenal di Quzwaini, di antara karyanya yang terkenal al-Aziz Syarh al-Wajiz, Syarh
al Saghir, Syark Musnad Syafi'i, al-Muharrar fi Furu' Syafi`iyyah,
dan lain lain. Ia wafat tahun 623 H dalam usia 66 tahun. AI-Rafi'i, Muqadimah
al-`Aziz ala Syarh al-Wajiz, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hal.
407-412.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tariqah, (Bandung: Mizan1995), hal. 114 - 115.